MEMBACA artikel di website Pengurus Besar Al Washliyah, saya terpikir mengenai nasib organisasi milik umat Islam ini. Betapa tidak, dengan segala kebesarannya, sampai saat ini kita masih belum memiliki adanya suatu koordinasi yang berkelanjutan dalam masalah ekonomi. Padahal masalah ekonomi merupakan salah satu dari Amal Ittifaq Al Washliyah, yang diwujudkan dengan adanya majelis ekonomi mulai dari Pengurus Besar sampai Pengurus Cabang di Kecamatan.
Jika kita melihat kepada organisasi Islam lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, maka bisa dikatakan langkah kita telah tertinggal. Kedua organisasi ini masing-masing telah memiliki BUMNU dan BUMM. Bahkan lebih lanjut lagi, Muhammadiyah memiliki Serikat Usaha Muhammdiyah (SUMU) yang menghimpun usaha kecil dan menengah. SUMU juga telah merambah kepada bisnis startup yang sedang sangat digandrungi belakangan ini.
Sebenarnya bukan tidak ada lembaga bisnis yang bernaung di bawah organisasi Al Washliyah. Salah satu yang terkenal adalah BPRS Al Washliyah, yang merupakan langkah maju dibandingkan dengan Muhammadiyah dan NU. Karena sejak tahun 1994 Al Washliyah telah mendirikan Bank ketika kedua organisasi tersebut belum memilikinya. Selain itu di tingkat Pengurus Besar (PB), juga memiliki koperasi dan LP3H. Bahkan teranyar Al Washliyah memiliki Al-Washliyah Muallaf Center, yang salah satu harapannya dapat memanfaatkan keahlian para muallaf di bidang ekonomi. Pengurus Wilayah (PW) Sumut juga memiliki usaha air minum AWQUA dan catering Salwah yang dikelola oleh Muslimat Al Washliyah.
Oleh karena itu dalam paparan yang singkat ini, saya akan melakukan analisis sederhana menggunakan metode analisi SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats). Metode analisis ini meskipun cukup sederhana namun ampuh untuk menghimpun dan memetakan berbagai masalah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi, apabila Al Washliyah mendirikan suatu Lembaga khusus yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan ekonominya. Sehingga apa yang kita cita-citakan kelak bukan hanya suatu rencana semata, namun dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata dan bertahan zaman berzaman.
A. Strenght (Kekuatan)
Dalam hal ini, sebenarnya Al Washliyah telah memiliki banyak sekali potensi yang cukup untuk mengembangkan suatu holding yang akan mengembangkan sayap-sayap bisnis. Potensi itu antara lain:
- Jumlah warga yang besar dan pengurus yang merata di seluruh Indonesia.
Menurut Karel A Steenbrink, Al Washliyah merupakan organisasi Islam terbesar ketiga di Indonesia. Taksiran warga Al Washliyah saat ini mencapai lebih dari 20 juta jiwa. Meskipun berbasis di Sumatera Utara (Sumut), namun Al Washliyah tidak lagi dapat dikategorikan sebagai organisasi lokal. Hal ini karena Al Washliyah telah memiliki kantor PB yang permanen di Jakarta beserta seluruh kelengkapan organisasinya. Keberadaan kantor PB bukan hanya sebagai perwakilan namun menjadi pusat komando Al Washliyah. Di samping itu, Al Washliyah telah memiliki PW di 35 provinsi. Keberadaan PW ini juga cukup permanen, karena diiringi dengan pendirian lembaga pendidikan Al Washliyah di wilayah tersebut.
- Jumlah lembaga pendidikan yang banyak.
Menurut data dari PB Al Washliyah, jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Al Washliyah sebanyak 727 unit, di antaranya terdapat 10 perguruan tinggi. Meskipun data ini bisa saja masih kurang, karena banyak sekolah Al Washliyah di penjuru tanah air yang masih belum disurvei langsung oleh PB Al Washliyah. Jumlah ini menjadi potensi yang menarik untuk dikembangkan, mengingat di satu sisi dapat dijadikan sebagai konsumen, dan di sisi lain sebagai penyuplai tenaga sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan.
- Nama besar Al Washliyah.
Tidak dapat dipungkiri, nama Al Washliyah cukup besar dan diperhitungkan. Ada beberapa kasus sekolah yang mencoba mengganti nama dari Al Washliyah ke nama lain, dengan motif untuk mengambil alih sekolah tersebut dari tangan organisasi. Namun yang terjadi malah mereka kekurangan siswa karena ternyata para wali siswa selama ini memilih sekolah tersebut karena memiliki nama Al Washliyah sehingga mereka yakin menitipkan anaknya.
Selain itu, Al Washliyah adalah nama yang unik jika dibandingkan dengan nama organisasi Islam yang lain. Nahdlatul Ulama sendiri memiliki kemiripan nama dengan Nadwatul Ulama di India, dan akar kata “nahdhah” telah digunakan secara luas di kawasan Timur Tengah sebagai nama gerakan pada zaman perlawanan terhadap kolonialisme. Sedangkan nama Al Washliyah adalah nama yang benar-benar spesifik dan khusus. Jika ada yang menggunakan nama tersebut, berarti setidak-tidaknya terinsipirasi dengan gerakan Al Washliyah. Oleh karena itu langkah strategis yang diambil oleh Al Washliyah untuk mematenkan nama dan
logonya adalah hal yang sangat tepat. Apalagi jika kelak dapat digunakan untuk produk-produk Badan Usaha Washliyah.
- Kader militan Al Washliyah.
Saya belum pernah menjumpai ada yang lebih ikhlas daripada guru-guru yang mengajar di sekolah dan madrasah Al Washliyah. Bahkan ketika kader-kader Washliyah ditawari jabatan tapi harus melepas baju Washliyah, ternyata banyak yang tetap teguh dan lebih memilih Washliyah ketimbang jabatannya. Demikian pula sejak berdirinya, Al Washliyah tanpa ada yang mensponsori, melakukan dakwah ke daerah-daerah minoritas Islam, bahkan sampai ke pedalaman yang belum terjangkau oleh dakwah sebelumnya. Ini menunjukkan kader kader Washliyah memiliki militansi yang cukup kuat. Hal ini karena memang telah ditanamkan semangat jihad di hati para kader Washliyah untuk menegakkan tauhid yang benar dan memperjuangkan tujuan Al Washliyah. Maka jika kelak Al Washliyah memiliki suatu produk,
saya yakin para Washliyin akan loyal terhadap produk tersebut.
- Kultur yang egaliter – progresif dan tidak bergantung pada ketokohan perorangan.
Washliyah acapkali diasosiasikan sebagai organisasi kaum tua atau tradisionalis. Padahal klasifikasi model zaman Belanda seperti ini tidak cocok untuk menggambarkan Al Washliyah.
Dari 6 shibgah Washliyah (Istiqomah, Kesalehan, Shilah, Akhlaq al-Karimah, Mujahadah, Madaniah) justru menunjukkan Washliyah sebagai organisasi yang modern dan progresif.
Sebenarnya Al Washliyah lebih dekat kepada konsep Islam perkotaan (hadharah/hadhari). Alasannya karena Washliyah lahir dan tumbuh di tengah muslimin kota Medan, yang pada masa itu merupakan kota paling kosmopolitan di Hindia Belanda sampai-sampai dijuluki het dollar land atau tanah dollar. Bahkan lebih dari itu, Al Washliyah mempertahankan kultur egaliter dan terbuka, sehingga tidak ada kasta di Al Washliyah. Tidak ada kasta santri dan kyai, tidak ada pengkhususan suku atau bangsa tertentu, serta tidak ada pembedaan karena status jabatan dan harta.
Implikasinya adalah model pengelolaan organisasi yang bersifat otonomi dan tidak sentralistik. Hal ini adalah suatu potensi yang besar, karena roda organisasi tidak akan mandeg walaupun ada permasalahan di tingkat pusat.
Selain itu, Al Washliyah juga tidak menyandarkan organisasinya pada ketokohan perorangan atau kultus individu. Tidak ada taqlid buta terhadap satu orang atau satu pendapat. Harus dipahami bahwa mazhab bukanlah pendapat satu orang secara mutlak. Mazhab Syafi’i sendiri merupakan tempat berkumpulnya berbagai pendapat-pendapat para Ulama. Imam Syafi’i mewariskan suatu metode yang dapat menjembatani antara dua kutub yang dianut oleh para Sahabat, Tabi’in dan tabi’it Tabbi’in. Dua kutub ini, yaitu ahl ra’yi (‘aqli) dan ahl hadits (atsari) kemudian dikompromikan dalam metode yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i.
Al Washliyah sendiri berpegang teguh pada sunnah wal jama’ah, karena Imam Syafi’i merupakan Nashir as-Sunnah, Ulama yang konsisten dan teguh membela sunnah. Maka tak heran sejak awal berdirinya, banyak Ulama Ulama Al Washliyah yang getol menghantam dan memberantas khurafat-khurafat yang beredar di masyarakat.
B. Weakness (Kelemahan)
Meskipun Al Washliyah memiliki potensi, namun di sisi lain juga terdapat berbagai kendala-kendala yang perlu diperhitungkan dan diatasi, yaitu :
- Ketimpangan peran majelis.
Di antara majelis-majelis yang ada, Al Washliyah masih menitikberatkan perhatiannya pada Majelis Pendidikan saja. Hal ini wajar mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang harus diurus. Namun ini juga menyebabkan tersendatnya peran Al Washliyah di bidang lain.
Memang, permasalahan seperti ini bukan hanya terjadi di Al Washliyah. Dalam catatan sejarah, Muhammadiyah juga pernah mengalami hal ini pada tahun 1937. Ketika itu kader-kader muda Muhammadiyah merasa bahwa pengurus organisasi hanya mementingkan urusan pendidikan saja. Akhirnya kader-kader muda yang progresif diberikan kesempatan untuk mengurus organisasi, salah satunya Mas Mansoer yang kemudian menerbitkan Langkah Muhammadiyah 1938-1949, untuk meluaskan peran Muhammadiyah tidak hanya di bidang pendidikan saja.
- Kepengurusan yang tidak simetris.
Meskipun Al Washliyah telah menjadi organisasi nasional, namun sebagian besar warga dan lembaga pendidikannya berada di Sumatera Utara, khususnya eks Keresidenan Sumatera Timur. Hal ini perlu menjadi perhatian agar umat Washliyah tidak surut. Sebagai contoh, saya pernah mencari sekolah Al Washliyah di Pademawu – Pamekasan – Madura. Tapi apakah ada di sana Pengurus Daerah, Cabang, bahkan Rantingnya? Tidak usah jauh-jauh, di wilayah Sumatera Bagian Selatan, kiprah Al Washliyah masih belum massif. Padahal kalau misalnya PW Sumut dan PW Riau berperan mengembangkan Washliyah di Jambi dan Bengkulu, PB beserta PW Jawa Barat dan PW Banten mengembangkan Washliyah di Sumatera Selatan dan Lampung, maka Al Washliyah menjadi tuan rumah di Pulau Sumatera.
- Kaderisasi yang belum terintegrasi dengan Sistem Manajemen Personalia.
Program dan kegiatan pengkaderan yang dilakukan oleh Al Washliyah sebenarnya cukup bagus. Hanya saja masih sebatas pada pengkaderan tingkat dasar dan menengah di jenjang bangku sekolah dan perkuliahan. Namun masih belum menjawab kemana arah kader tersebut selepas ia mengenyam pendidikannya. Tentu saja kita mengharapkan adanya kader-kader unggul yang telah digembleng sedemikian rupa, lalu mengabdikan dirinya di Al Washliyah dan berperan aktif memajukannya.
Sebagai contoh, lulusan sekolah dan madrasah Al Washliyah, didayagunakan sebagai dai-dai Al Washliyah yang disebar di seluruh nusantara. Atau jika kelak kita memilki Badan Usaha Al Washliyah, maka merekalah yang bekerja sebagai profesional di sana. Sehingga lulusan sekolah Al Washliyah akan memiliki
nilai tambah baik secara keagamaan, keilmuan, dan juga peluang di dunia kerja.
- Belum memiliki lembaga think tank.
Memang Al Washliyah telah mendirikan Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah (LKSA). Namun peran yang signifikan masih terbatas di bidang Studi Kealwashliyahan melalui organisasi riset CAS (Centre for Al Washliyah Studies). Harapannya agar dikuatkan peran lembaga pemikir seperti ini, entah dengan menambah organisasi riset dalam LKSA, ataupun dengan meningkatkan peran LKSA menjadi majelis afkar agar menyebar hingga ke tingkat kecamatan.
C. Opportunity (Peluang)
Selain potensi internal, pendirian Badan Usaha Al Washliyah juga memiliki kesempatan yang dating dari luar:
- Kemajuan Teknologi Informasi. Seiring perkembangan zaman, maka kemajuan teknologi turut mempengaruhi kondisi ekonomi. Apalagi kemajuan teknologi informasi yang menjadi tonggak era industri 4.0, yang digadang-gadang menyebabkan disrupsi ekonomi. Hal ini merupakan peluang bagi kita, karena biaya produksi dan promosi yang semakin murah.
Sebagai contoh, jika dulu promosi harus menggunakan media massa, maka sekarang dapat menggunakan media sosial secara gratis. Banyak lagi aspek lain yang dipengaruhi oleh teknologi informasi, seperti Internet of Things yang akan menurunkan ongkos produksi.
- Jumlah konsumen yang semakin banyak. Jika kita melihat piramida populasi, masih menunjukkan tren peningkatan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan jumlah potensi konsumen yang akan terus meningkat. Selain meningkatnya poplulasi juga diiringi dengan meningkatnya kebutuhan akan produk. Dalam konteks Islam, kita melihat contoh dari perkembangan masjid, yang semakin banyak dan semakin cantik setiap tahunnya. Kita menyaksikan sendiri banyaknya renovasi masjid dan upaya melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Andaikata kita punya satu unit usaha yang berfokus memenuhi kebutuhan masjid, maka inipun sudah memberikan profit yang cukup besar untuk Al Washliyah.
- Produk Islami yang masih sedikit. Harus diakui, produk Islami masih belum mampu mengalahkan produk-produk kapitalis yang terindikasi sarat dengan kepentingan zionis. Baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Padahal semangat umat Islam begitu membara untuk memboikot produk-produk zionis. Hal ini dapat dipahami karena Barat telah mengalami industrialisasi sejak abad ke 18. Sebaliknya kita umat Islam baru sungguh-sungguh menyadarinya di akhir abad ke 20. Hal ini menyebabkan kita masih mengalami ketergantungan dengan produk-produk mereka. Maka ini menjadi peluang yang besar bagi kita untuk meluncurkan produk-produk Islami.
- Kesempatan dari Regulasi Pemerintah. Sejak reformasi, kekuatan ekonomi Islam mendapatkan tempat khusus dalam perhatian pemerintah. Dimulai dengan pendirian bank syariah di bank-bank pemerintah, hingga pemberian konsesi tambang kepada organisasi Islam. Hal ini jelas merupakan peluang yang sangat besar, karena bisnis keumatan ini ternyata mendapat dukungan dari pemerintah.
D. Threat (Ancaman)
Di samping berbagai peluang yang terbentang, terdapat juga kiranya faktor penghambat yang perlu diwaspadai. Dalam hal ini ada beberapa ancaman:
- Persaingan dengan sesama organisasi Islam.
Persaingan jelas merupakan hal yang tidak terhindarkan. Sudah merupakan hukum alam untuk saling berkompetisi. Tidak ada masalah dalam persaingan ini selama dilakukan dengan cara-cara yang sehat. Malah sebenarnya persaingan yang sehat merupakan suatu keuntungan. Karena dengan demikian akan tercipta upaya untuk terus meningkatkan dan memperbaiki produk yang dihasilkan. Selain itu, dari persaingan yang sehat justru akan menimbulkan kolaborasi dan kerja sama, yang justru akan saling menguntungkan berbagai pihak.
- Kondisi Perpolitikan.
Salah satu faktor yang juga mungkin dpat menghambat yaitu faktor politik, baik skala daerah, nasional maupun internasional. Kita ketahui dua organisasi Islam yaitu NU dan Muhammadiyah memiliki partai politik yang berbasis massa mereka. Sedangkan Al Washliyah secara organisasi tidak memiliki kaitan dengan partai politik. Satu-satunya dalam sejarah yaitu Al Washliyah turut menjadi anggota Masyumi dan kemudian mendirikan Parmusi, yang selanjutnya berfusi menjadi PPP. Sejak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan munculnya partai politik baru, maka kader Washliyah juga banyak yang mengisinya. Bahkan kader Al Washliyah juga turut serta mendirikan partai-partai tersebut.
Relasi yang unik ini menjadikan Al Washliyah bersifat independen dan tidak terikat dengan kepentingan politik praktis. Namun harus diakui, kader Al Washliyah masih sedikit yang mengisi kancah perpolitikan nasional. Hal ini pun menyebabkan secara politik Al Washliyah kurang mendapat tempat yang sewajarnya, dan cenderung hanya dianggap sebagai organisasi lokal di Sumatera Utara. Padahal kalau kita mau mengkaji sejarah, mana ada organisasi Islam yang sejak berdirinya telah bersifat nasional. Seluruh organisasi ini pada mulanya bersifat kedaerahan. Muhammadiyah bermula di Yogyakarta dan NU berbasis di
sekitar kota Surabaya. Setelah Indonesia merdeka barulah kedua organisasi itu memindahkan sekretariatnya ke Ibu Kota. Hingga akhirnya terbentuklah paradigma bahwa umat Islam di Indonesia hanya berasal dari kedua organisasi tersebut. Maka dari itu, Al Washliyah perlu menajamkan langkahnya untuk mengisi politik di tingkat nasional, lebih- lebih lagi di panggung internasional.
Penutup
Kiranya inilah beberapa analisis yang dapat saya kemukakan mengenai harapan pembentukan Badan Usaha Al Washliyah. Adanya lembaga ini jelas akan menjadi bahan bakar bagi organisasi, terutama untuk mengembangkan dakwah dan amal sosial. Logikanya, tanpa adanya Badan Usaha ini saja kita mampu menjalankan dakwah tauhid dan menegakkan sunnah wal jama’ah, maka dengan adanya Badan Usaha ini seharusnya akan meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan kita kepada umat.
Satu hal yang harus digarisbawahi, manajemen Badan Usaha ini kelak haruslah profesional dan terpisah dari Pengurus. Biarlah Pengurus menjadi semacam pengawas atau komisaris. Adanya Badan Usaha ini harus menjadi manfaat dan jangan malah menjadi mudharat karena menjelma sebagai bahan perebutan. Padahal aset Al Washliyah adalah waqaf produktif, yang secara hakikat merupakan milik Allah Ta’ala dan dapat digunakan oleh seluruh umat Islam. Maka Badan Usaha ini
juga harus menjadi waqaf produktif yang hasilnya kelak dimanfaatkan oleh umat Islam secara luas, bukan untuk kelompok dan golongan tertentu. Mudah-mudahan Allah SWT menerima niat ini dan memberikan pertolonganNya kepada kita untuk segera mewujudkannya. Aamiiiiin ya Robbal ‘alamin.
Muhammad Abduh Nasution
Sekretaris Majelis Dakwah PD Al Washliyah Deli Serdang, Sumatera Utara.