Tepung Tawar Haji, Pemahaman Kontekstual Sunnah Nabi Saw

DALAM kajian hadis dikenal pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap Sunnah Nabi Saw.pemahaman tekstual adalah pemahaman yang hanya berakar dari teks-teks materi Sunnah baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan yang lansung dari Nabi Muhammad Saw. atau kajian yang beroreantasi pada teks,yang berkenaan dengan topik atau naskah hadis Nabi Saw.tanpa ada usaha mencari pemahan tersirat dibalik teks tersebut.

Sedangkan pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang berusaha mencari makna dibalik sebuah teks atau berusaha menyingkap rahasia-rahasia dibalik teks melalui beberapa pendekatan,baik pendekatan sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain dari cabang ilmu pengetahuan yang ada.

Dengan pemahaman konteskstual ini akan lebih nyata kesempurnaan hadis hadis Nabi Muhammad Saw sebagai sumber kedua setelah Al Qur’an untuk menjawab segala persoalan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw dan yang akan terjadi pada masa depan.

Pemahaman kotekstual terhadap ucapan Nabi Muhammad Saw ini bukan ilmu baru dalam kajian hadis. Para sahabat semasa hidup Nabi Muhammad Saw, ketika Beliau Saw.memerintahkan para sahabatnya untuk berangkat ke perkampungan Bani Quiraizhah dan sebelum berangkat Beliau Saw memesankan untuk tidak melaksanakan Salat terkecuali apabila sampai di perkambungan tersebut. Nabi Saw, bersabda: Janganlah ada salah seorang di antara kamu yang Salat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Dan teks hadis tersebut dijumpai dalam kitab sahih Muslim bab 23 juz 5 hal 162.

Perjalanan keperkampungan Bani Quraizhah memakan waktu yang panjang sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan Salat Ashar di sana,dari persoalan ini para sahabat berpikir bagaimana memahami ucapan Nabi Muhammad Saw, yang melarang Salat Ashar sebelum sampai ke tempat tujuan, sedangkan waktu Salat Ashar semakin sempit.

Ternyata sebagian sahabat Nabi Saw memahami larangan tersebut sebagai perintah untuk bersegera dalam perjalanan, sehingga tiba di tempat masih dalam waktu Ashar dan dapat melaksanakan Salat Ashar di sana, dan Sebagian yang lain,para sahabat Nabi Muhammad Saw melakasanakan Salat Ashar di dalam perjalanan meskipun belum sampai ke kampuing Bani Quraizhah karena melihat Waktu Ashar sudah hampir habis dan demikian pemahaman kontestual pada masa itu.

Sebagian lagi ada yang melaksanakan Salat Ashar di Perkampungan Bani Quraizhah meskipun sudah habis waktu Maghrib dan mereka malaksanakan Salat Ashar di waktui Magrib dengan niat Qodha karena sudah habis waktu Ashar (dan perbuatan sahabat ini sekaligus menjadi dalil adanya Qodha Salat) karena memahami teks ucapan nabi Muhammad Saw agar salat di sana. demikian pemahaman tekstual terhadap ucapan Nabi Muhammad Saw.

Akan halnya tepung tawar yang sudah menjadi tradisi di negeri ini,yang disertakan dalam seremoni pernikahan, khitanan,melepas jemaah haji, menyambut kepulangan jamaah haji dan lain lain,secara tekstual pernah dibuat oleh Nabi Muhammad Saw ketika melaksanakan perkawinan anaknya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.Ra.

Diriwayatkan dari Athabrani dalam hadis yang panjang (penulis hanya mengutip ujung hadis tersebut) “manakala selesai akad nikah Ali dan Fatimah maka Rasulullah Saw.berkata kepada Fatimah, ambilkan saya air! Maka Fatimah bangkit mengambil air dan memberikannya kepada Nabi Muhammad Saw kemudian Dia meludahi air tersebut dan berkata kepada Fatimah,berdirilah! Lalu memercikkan air diantara dua bahu Fatimah sambil berkata,Ya Allah Aku mohon perlindungan Mu agar dia dan keturunannya terpelihara dari gangguan Setan yang terlaknat dan kemudian dia memanggil Ali bin Abi Thalib dan melakukan hal yang sama kepadanya lalu berkata;Temuilah istri mu!” (H.R. Thabrany).Meskipun hadis ini tergolong dhoif, akan tetapi kelemahan hadis ini dapat terangkat dengan adanya riwayat lain dari Ibnu Hibban dan juga dari Zainuddin Al Iroqi, dengan demikian derajat hadis ini menjadi naik ke tingkat hasan lighairihi.

Tekstual hadis diatas menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Saw memercikkan air kepada kedua mempelai Ali dan Fatimah pada hari perkawinannya sekaligus membacakan doa agar terhindar dari ganguan setan, dan perbutan dan doa nabi tersebut sejalan dengan manfaat air diturunkan Allah ke permukaan bumi ini,sebagaimana firman Allah: “Dan Dia (Allah ) yang menurunkan air dari langit guna untuk mensucikanmu,menghilangkan kotoran setan, merajut ikatan hati dan mengokohkan pendirian.” (QS.Al Anfal 11).

Pemahaman kontekstual dari pebuatan Nabi Muhammad Saw. adalah tepung tawar yang pelaksanaannya bertambah dari apa yang di pegunakan oleh Nabi Saw, yaitu air yang bermanfaat untuk kehidupan,mensucikan hati,menghilangkan kotoran setan,merajut ikatan hati,mengokohkan pendirian.Bunga setaman agar harum namanya,beras kuning agar mulia dan bijaksana,daun sedingin agar selalu aman,tepung beras agar suci dan putih hatinya terhindar dari hasad, dengki,tamak dendam dan riya,semua bahan bahan ini hanya sebagai simbol dari ungkapan bahasa yang tak terucapkan oleh kata kata.

Sendainya semua bahan tersebut tidak disertakan dalam tepung tawar kecuali hanya air tawar semata mata,mungkin namanya bukan tepung tawar lagi,boleh jadi ‘air tawar’ dan pengamalannya adalah tekstual karena substansi dari tepung tawar itu sendiri adalah ‘memercikkan air.’ Dan bahan bahan yang disertakan tadi tentu tidak akan merobah hukum perbuatan tepung tawar menjadi syirik dan bid’ah karena bahan bahan yang digunakan adalah benda benda alam yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat,sama seperti air yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw dan itulah kontekstulitasnya.

Oleh karena perbuatan tersebut- terlepas dari adat istiadat -pernah dilakukan oleh nabi Muhammad Saw sangat tidak pantas perbuatan dihukum syirik dan bid’ah? Sungguh perkataan yang keji itu sangat menyakitkan hati Nabi Saw dan umat Islam yang melakukannya. Walaupun orang orang hindu mengunakan air untuk ritualnya, Nasrani menggunakan air untuk baptisnya,sebagian umat Islam menggunakan air untuk tepung tawarnya,namun persoalan tasyabuh (kemiripan ) ini telah dibedakan oleh agama dan akidah masing masing. Lagi pula rujukan dan asal usulnya tidak dapat disamakan.

Dengan demikian persoalan tepung tawar yang digunakan untuk pelepasan berangkat haji, pernikahan, upacara kegembiraan lainnya tidak dapat dihukum syirik dan bid’ah. Wallahu ‘alamu bishshawab.

Dr.H. Muhammad Nasir, Lc. MA
Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah
Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Al Qur’an Al Mukhlisin Batubara, Sumatera Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *