Pendidikan Gratis! Di mana Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah?

JARINGAN Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi menyoal Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Para pemohon meminta MK memastikan bahwa pendidikan dasar di sekolah negeri dan swasta dilaksanakan tanpa biaya. Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas itu menyebutkan bahwa pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Atas gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membacakan keputusan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan pendidikan gratis bagi sekolah negeri maupun swasta untuk sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Hakim MK melihat adanya ketidaktegasan pasal ini. Melalui putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 itu, MK menyatakan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Pasca dibacakannya Keputusan MK tersebut, ada yang bertanya, bagaimana dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts)? wajarlah, karena MI dan Mts saat ini lebih banyak diselenggarakan oleh swasta dari pada negeri, termasuk Al Washliyah lebih banyak banyak menyelenggarakan pendidikan madrasah, mulai dari MI, Mts, hingga Aliyah dari pada sekolah umum. Lihat saja data nasional, pada Desember tahun 2023, jumlah MI sebanyak 26.830 madrasah, terdiri dari MI negeri sebanyak 1.716 dan swasta 25.114. Sedangkan jumlah Mts sebanyak 19.451 madrasah, terdiri dari MTs negeri 1.532, dan Swasta 17.919.

Pada pasal 17 ayat (2) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Sejalan dengan UU Sisdiknas, pada pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar dinyatakan bahwa:

(1) Wajib belajar diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
(2) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat.

Ini mempetegas bahwa MI dan Mts adalah bagian integral dari program wajib belajar.

Kalaulah latar belakang konstitusi, keputusan MK ini adalah tentang implementasi program wajib belajar, maka harus ada kesetaraan dan keadilan dalam melihat sasaran program wajib belajar tersebut.

Gugatan JPPI sepanjang yang dipublikasikan pada media resmi gugatannya yang dikabulkan adalah untuk SD hingga SMP, meski yang dimohonkan adalah untuk jenjang pendidikan dasar. Begitulah juga yang terbaca di media, bahwa keputusan MK tersebut hanya menyebut-nyebut SD dan SMP saja. Oleh karena itu apabila keputusan MK tersebut benar adanya hanya untuk SD dan SMP, maka ada sasaran program wajib belajar yang terabaikan. Tentulah ini tidak adil. Menurut saya keputusan itu harus tidak terbatas pada SD dan SMP, tapi harus meliputi juga MI dan Mts sederajat.

Ada prinsip bahwa MK tidak boleh memperluas putusan di luar dari apa yang dimohonkan oleh pemohon (prinsip ultra petita), sebagaimana diatur dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011), bahwa ada pengecualian terhadap prinsip ini, yaitu “kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.”

Pengecualian ini membuka ruang bagi MK untuk mengambil putusan yang lebih luas dalam kondisi tertentu, terutama jika hal tersebut diperlukan untuk menegakkan konstitusi atau menciptakan keadilan substantif. Dalam kasus ini, jika gugatan uji materi hanya secara eksplisit menyebut Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun substansi materi yang diuji sebenarnya berkaitan dengan pendidikan dasar secara keseluruhan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki potensi untuk memperluas putusannya dengan memasukkan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dalam skema pendidikan gratis.

Kutipan pasal 45 A hanya ingin mempertegas saja bahwa kalaulah gugatan JPPI dan keputusan MK tersebut terbatas untuk SD dan SMP, maka haruslah juga itu meliputi atau termasuk MI dan MTs sederajat.

Pemerintah dan DPR RI, serta Pemerintah Daerah dan DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota dituntut mampu menghitung kebutuhan peserta didik yang termasuk dalam program wajib belajar, sesuai dengan belanja pendanaan pendidikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Jakarta, 7 Juni 2025

Ridwan Tanjung
Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *