JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Al Washliyah, Dr.H.Masyhuril Khamis, SH,MM menjadi narasumber pada Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada hari Selasa 20 Mei 2025/22 Zulkaedah 1446 H di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Sementara tema forum diskusi adalah Risalah Kebijakan Menciptakan Lingkungan Pesantren yang Ramah untuk Anak. Forum ini diikuti para peneliti dan ilmuan dari berbagai Ormas Islam, termasuk Ormas Islam Al Washliyah.
Ketua Umum PB Al Washliyah, Dr.H.Masyhuril Khamis, SH,MM dalam paparannya mengemukakan untuk menjadikan pesantren lebih terbuka, ramah lingkungan, ramah anak, maka pemerintah sebaiknya membentuk tim monitoring terpadu dan terjadwal, untuk memastikan program ramah anak teralisasi. Tim yang dibentuk tersebut melibatkan unsur ulama, ormas dan Kementerian Agama.
Orang nomor satu di Organisasi Al Washliyah ini merespon isu strategis Gedsi (Gender, disabiltas dan inkulusi sosial) yang menjadi masalah hasil temuan penelitian terhadap 90 pesantren di Indonesia melalui survei nasional, 17 pesantren untuk penelitian kualitatif, berupa tingginya kerentanan santri terhadap kekerasan seksual, pengetahuan Kesehatan Reproduksi belum komprehensif, kesehatan Mental Santri belum menjadi prioritas, Penyalahgunaan relasi kuasa, lingkungan fisik yang belum inklusif, pengawasan kurang maksimal dan faktor pendukung lainnya.

Masyhuril Khamis mengungkapkan realitas dan tawaran solusi:
- Untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap santri, maka jumlah musyrif/ musyarifah di suatu pesantren harus dimaksimalkan. Perbandingannya satu orang musyrifah (petugas perempuan/pengawas) minimal mengawasi 5 orang santri.
- Pihak pesantren telah melakukan pencegahan, seperti tukar kamar pada priode tertentu, dan santri di atur untuk tidak berteman itu-itu saja, atau menghilangkan geng-geng-an/kelompok-kelompok santri di pondok pesantren. Idealnya setiap santri memiliki kasur masing-masing dengan cara bertingkat, sehingga tidak berdempetan satu dengan yang lain
- Di pesantren Penggunaan HP sangat dibatasi namun ketika liburan, atau ketika orangtua berkunjung santri mendapatkan kesempatan untuk mengakses HP.
- Sebahagian pesantren telah mengajarkan fiqh Wanita khususnya bagi santri Wanita. Pesantren juga sudah mengajarkan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan mentalitas agar menjadi penangkal dan menjadi orang yang mandiri.
- Harus disadari bahwa pendidikan akhlak dan adab menjadi landasan yang harus di miliki oleh para pengayom dari pesantren
- Penerimaan santri seyogianya dilakukan selektif. Jangan sampai terjadi ada ’kelompok/kelompok’ santri di dalam pondok pesantren, baik santri pria atau santri wanita.
- Masa liburan yang begitu lama, setidak-tidak dapat mempengaruhi perilaku santri. Sebab liburan yang panjang berdampak terhadap perilaku santri. Karena itu, perlu dibuatkan aturan khusus agar masa liburan santri tidak sama dengan siswa sekolah lain.
- Pemerintah supaya memberikan dukungan anggaran kepada pesantren di Indonesia, sebab selama ini bantuan tersebut belum merata.
Mewujudkan Lingkungan Pesantren yang ramah anak, menurut Masyuril Khamis, maka perlu dilakukan berapa hal:
- Pelatihan Pengasuh dan Pengajar
- Pembuatan Kode Etik dan SOP Perlindungan Anak
- Mengefektifkan media komunikasi antara pengasuh, santri dan wali
- Mekanisme Pengaduan Aman dan Rahasia
- Fasilitas Pendukung
Pada pengantar, Masyhuril Khamis menegaskan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan akhlak generasi muda. Namun, masih ditemukan praktek-praktek pengasuhan dan pendidikan yang kurang memperhatikan hak dan perlindungan anak. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan untuk memastikan bahwa lingkungan pesantren menjadi tempat yang aman, nyaman dan ramah anak.
Ia memberi apresiasi terhadap penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD) yang digagas oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ini. “Hanya saja kita semua tidak terfokus kepada FGD semata, karena yang dipentingkan pada era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto adalah action, bukan konsep di atas kertas, tapi adalah implementasi.
Masyuril Khamis menyebutkan data yang diperoleh bahwa jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 36.600 unit pesantren, 3,4 juta santri aktif dan 370.000 kiai dan guru. Sementara dalam ringkasan eksekutif disebutkan 90 pesantren di Indonesia melalui survei nasional dan 17 pesantren untuk penelitian kualitatif.
“Apakah jumlah pesantren yang diteliti ini sudah memenuhi ketentuan suatu penelitian atau survei, sehingga hasil yang rumuskan pada FGD ini tercapai dengan sempurna dan tidak terkesan memojokkan suatu lembaga?,” tegas Masyhuril Khamis, yang juga Ketua Pusat Dakwah Perbaikan Akhlak Bangsa MUI Pusat ini. (sir)