TARAWIH secara terminologi tidak dikenal pada masa Rasul Saw, baik dalam ucapan Nabi Saw ataupun di dalam hadisnya tidak pernah menyebutkan kata-kata Tarawih. Pada masa Nabi Saw, salat-salat sunat pada malam-malam Ramadan hanya dikenal dengan istilah Qiyam Ramadan, diambil dari sabda Nabi Saw: Man qama ramadhana imaman wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zambihi (siapa-siapa yang mendirikan Qiyam Ramadan dan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni oleh Allah Swt (Hadis Riwayat Bukhari).
Kuat dugaan bahwa istilah Tarawih diambil dari perkataan Aisyah ra. yang mengatakan: Nabi Saw salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (beristirahat) kemudian salat lagi dan panjang sekali (Hadis Riwayat Imam Baihaqi).
Dan hadis ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw melaksanakan salat malam 4 rakaat diselangi dengan istirahat kemudian melanjutkan kembali salatnya, dan tidak pula dipastikan berapa jumlah rakaatnya, dan tidak juga dapat dipastikan apakah itu Salat Witir ataukah Salat Tarawih. Yang perlu digaris bawahi, bahwa istilah Tarawih bukan dari ucapan Rasul Saw tapi dari ucapan Aisyah ra.
Adapun jumlah salat malam Nabi Saw baik di dalam Ramadan maupun di luar Ramadan berjumlah 11 rakaat, dikutip dari jawaban Aisyah ra. ketika seorang tabi’in yang bernama Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah ra. isteri Rasul Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadan, Aisyah menjawab: Rasul Saw tidak pernah menambahi baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan dari 11 rakaat, beliau salat 4 rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjang rakaatnya. Kemudian beliau salat 4 rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya, kemudian salat 3 rakaat, kemudian Aisyah berkata: saya bertanya, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum salat Witir, beliau menjawab, wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmuzi, An-Nasai, Malik bin Anas).
Jika dipahami hadis di atas, secara utuh nampak jelas bahwa konteks hadis yang shahih ini membicarakan salat Witir, dengan alasan bahwa Aisyah bertanya kepada Nabi apakah dia tidur sebelum Witir. Lagi pula, shalat yang dilakukan oleh Nabi Saw sepanjang tahun baik dalam Ramadan atau luar Ramadan adalah salat Witir, sedangkan shalat Tarawih khusus dilakukan di dalam Ramadan.
Jadi, jika hadis di atas dijadikan dalil bahwa Salat Tarawih Nabi Saw 8 rakaat, dan tiga rakaat Witir, sangat tidak tepat, karena jadilah Witir Nabi Saw di bulan Ramadan 3 rakaat dan 8 rakaat lagi Tarawih, atau semuanya Witir (11 rakaat) jadilah Nabi Saw tidak pernah melaksanakan Tarawih, atau hadis di atas dipenggal dua, 8 rakaat dalil Tarawih 3 rakaat dalil Witir, sangat tidak tepat karena hadis di atas merupakan dalil untuk satu paket salat Witir. Atau solusi terakhir, pada bulan Ramadan, di atas sebagai dalil untuk Tarawih dan Witir dan di luar Ramadan sebagai dalil untuk Witir saja, berarti tidak ada dalil khusus untuk sholat tarawih. Dengan demikian Salat Tarawih 8 rakaat dikerjakan tanpa dalil yang pasti.
Lalu bagaimana dengan Tarawih dan Witir 23 rakaat? Apakah dilaksanakan tanpa dalil? Menurut hadis shahih “Man qama ramadana…dst” tidak menentukan jumlah rakaatnya, lalu jika ditentukan 20 rakaat dan setiap 4 rakaat ada istirahat bersesuaian dengan terminologi Tarawih itu sendiri, tarwihah (untuk 1 kali istirahat), tarwihatani (untuk 2 kali istirahat), tarawih (untuk beberapa kali istirahat). Sedangkan yang 8 rakaat istirahatnya hanya 1 kali (tarwihah) atau setiap 2 rakaat istirahat tidak sesuai dengan pelaksanaan Nabi Saw, karena beliau istirahat setelah 4 rakaat.
Alasan kedua, hadis mauquf, bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami Salat Tarawih 20 rakaat walaupun hadis ini mauquf dapat menjadi hadis marfu’ (dihubungkan kepada perbuatan Nabi) karena dalam ilmu hadis jika hadis mauquf tidak berkaitan dengan persoalan ijtihadiyah dapat dinaikkan statusnya menjadi marfu’.
Alasan ketiga, Salat Tarawih 20 rakaat sudah merupakan ijma’ para sahabat, karena ketika Umar memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk mengimami Salat Tarawih 20 rakaat ditambah Witir 3 rakaat tidak ada seorangpun diantara sahabat Nabi Saw yang protes, termasuk Aisyah ra, isteri Nabi Saw yang masih hidup pada masa itu. Padahal Aisyah sendiri yang menceritakan bahwa salat malam Nabi Saw baik di dalam Ramadan maupun di luar Ramadan tidak lebih dari 11 rakaat. Demikian pula sahabat-sahabat yang lain yang paling mengerti tentang shalat Nabi Saw, seandainya shalat Tarawih 20 rakaat itu menyalahi sunnah Nabi Saw tentu Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khattab menuai protes besar-besaran dari para sahabat yang lain.
Demikian yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw bahwa Salat Tarawih itu 20 rakaat tanpa ada gugatan dari pihak manapun, dan kesepakatan itu menurut Ibnu Abd Barr (w. 463 H), Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) sudah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat, dan diikuti oleh Imam-imama Mazhab yang populer, Mazhab Hanafi, Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan Ibnu Taimiyah (w. 728 H) sendiri pun menegaskan bahwa itu adalah sunnah (bukan bid’ah) karena Ubay bin Ka’ab shalat di hadapan orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengingkari (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Juz.12, hal.70).
Barulah seorang ulama yang bernama Imam Ashan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subulussalam Syarah Bulugul Maram karya Ibnu Hajar Al-Qalani “menggugat” bahwa shalat Tarawih berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu adalah bid’ah (lihat Subulussalam Juz. 2 Daarul Hadis hal.393), namun pada prinsipnya Qiyam Ramadan menurut beliau adalah sunnah. Anehnya menurut penulis, ulama besar ini tidak menentukan berapa jumlah yang sebenarnya menurut sunnah, sementara shalat Tarawih berjamaah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab hukumnya sunnah.
Demikian pula seorang “pendekar” hadis abad ke-20 Syekh Nashiruddin Al-Bani “menggugat” Salat Tarawih 20 rakaat atau lebih dari 11 rakaat, sama dengan menambah jumlah rakaat Salat Zuhur menjadi 5 rakaat.
Pertanyaan yang menggelitik kita, kenapa selama 1409 tahun dalam catatan sejarah umat Islam tidak ada yang menggugat dan mempermasalahkan Salat Tarawih 20 rakaat? Mengapa Syekh Shan’ani hidup antara abad 11-12 Hijriyah, dan Syekh Al-Bani hidup akhir abad 20 Masehi mempersoalkan jumlah Tarawih 20 rakaat? Wallahua’lam bil ash-shawab
Dr.H.Muhammad Nasir, Lc, MA
- Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah
- Pimpinan Ponpes Tahfiz Al Qur’an Al Mukhlisin Batubara.