Catatan Tentang RUU Sisdiknas
Oleh: H. Ridwan Tanjung, SH, M.Si
PEMERINTAH sedang mempersiapkan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Dilihat dari waktu pengundangannya, Undang-Undang Sistem Pendidikan yang berlaku sekarang memang sudah cukup lama, sudah 19 tahun, wajar bila dilakukan revisi mengingat pendidikan adalah sebuah proses yang dinamis, sehingga tidak dapat dihambat keharusan adanya pembaharuan, yaitu perubahan dari sesuatu yang lama menjadi sesuatu yang baru. Muatan suatu perubahan mestinya menuju yang lebih baik. Dalam melakukan perubahan, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa sesuatu yang baik mestinya dipertahankan dan dilanjutkan.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 terdapat satuan pendidikan Madrasah, dengan jenjang pendidikan Madarsah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (Mts), dan Madrasah Aliyah (MA). Madrasah banyak didirikan oleh masyarakat, yang memberikan indikasi bahwa Madrasah sudah sangat akrab dan sangat bermanfaat bagi pendidikan anak bangsa, sehingga ini sesuatu yang baik. RUU Sisdiknas yang sedang disusun dan dibahas, frasa Madrasah tidak lagi ditemukan di dalam pasal-pasal RUU tersebut, hanya ada di penjelasan, jelas ini sangat tidak bijak.
Majelis Pendidikan PB. Al Washliyah dalam Rapat Koordinasi dengan Kementerian Agama tanggal 29 Maret 2022 mengusulkan agar frasa Madrasah harus dimasukkan di dalam pasal-pasal batang tubuh RUU.
Tetapi sesungguhnya hal lain perlu diperhatikan masyarakat, tidak hanya soal Madrasah. Fungsi dan tujuan pendidikan yang terdapat di dalam RUU inipun harus dicermati. Di dalam RUU disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi pelajar agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, sehat jasmani dan rohani, berkebhinekaan, bergotong royong, dan kreatif.
Di RUU ini muncul kata bergotong royong. Ini suatu frasa yang menurut hemat kami tidak menjadi penting, karena menyandingkan kata pendidikan dengan “bergotong royong” sebagai sesuatu yang sangat dicari-cari keterkaitannya.
Muncul juga kata pelajar yang merujuk kepada warga yang mengikuti pendidikan di sekolah, di pendidikan non formal maupun informal di semua jenjang pendidikan. Kata peserta didik yang terdapat di dalam UU No. 20 tahun 2003, sudah cukup jelas mengakomodir makna warga masyarakat yang mengikuti pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Karena itu di dalam RUU agar tetap dipergunakan kata peserta didik, bukan pelajar.
Di dalam RUU Sisdiknas, Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi pelajar agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, sehat jasmani dan rohani, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif. Sedangkan tujuannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk Masyarakat yang demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta mensejahterakan umat manusia lahir dan batin.
Bandingkan dengan fungsi dan tujuan pendidikan di pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tujuan pendidikan adalah agar peserta didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiiri demokratis dan bertanggung jawab. Pada RUU Sisdiknas tujuan ini menjadi fungsi, bukan menjadi tujuan. Karena itu, tentang tujuan pendidikan harus kembali kepada rumusan yang terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003.
Tentang pendidikan keagamaan hanya pada RUU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama. Disini tidak disebutkan bentuk-bentuk pendidikan keagamaan dan peserta didik mengamalkan nilai-nilai agamanya.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tegas disebutkan bentuk-bentuk pendidikan keagamaan itu adalah diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera dan bentuk lainnya. Begitu pula ada frasa peserta didik dikembangkan potensinya untuk mengamalkan nilai-nilai agamanya. Karena itu di dalam RUU Sisdiknas bentuk-bentuk pendidikan keagamaan dan upaya pengembangan potensi peserta didik untuk mengamalkan nilai-nilai agamanya dimunculkan di pasal-pasal batang tubuh.
Beberapa analisis dan saran tentang pembahasan RUU Sisdiknas disampaikan oleh Majelis Pendidikan PB. Al Washliyah dalam Rapat Koordinasi Kementerian Agama dengan organisasi penyelenggara pendidikan pada tanggal 29 Maret 2022 di Hotel Grand Zury.[]
Penulis adalah Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah.