JIKA tidak ada aral melintang,hanya dalam hitungan hari saja awal Ramadan akan hadir kembali di tengah tengah umat Islam. Kehadiran bulan Ramadan tidak sama dengan kehadiran bulan bulan lainnya seperti bulan haji dan bulan Syawwal misalnya. Bulan Ramadan bulan yang istimewa dari dua belas bulan hijriyah lainnya,di antara keistimewaannnya hanya bulan Ramadan satu satunya bulan yang disebut dalam Al Qur’an, hanya di bulan Ramadan yang terdapat di dalamnya malam lailatul qadar.
Yang mana keutamaannya seperti beramal seribu bulan,seimbang dengan 83 tahun beribadah, hanya bulan Ramadan yang disebut dengan syahrul qur’an, shahrul mubarak, bulan rahmat, bulan ibadah, bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an, kemenangan Rasul SAW dan orang-orang mukmin dalam perang Badar, penaklukan kota Makkah, digandakan pahala amal ibadah, dibukakan pintu surga dan ditutup pintu neraka, diangkatnya Muhammad SAW di Gua Hira’ menjadi Rasul, diwajibkan puasa, dan sebagai penghapus dosa sepanjang tahun sampai Ramadan berikutnya. Rasul SAW bersabda : Ramadhan ke Ramadhan adalah kafarat (penghapus dosa) antaranya selama tidak melakukan dosa-dosa besar. (HR. Ahmad dan an-Nasai)
Sedemikian mulianya bulan Ramadan dalam pandangan Islam, sehingga ulama terdahulu dan kaum muslimin senantiasa menantikan kedatangan bulan Ramadan bahkan mereka berdoa 6 bulan sebelumnya agar dapat hidup pada bulan Ramadan berikutnya, dan ketika berakhir Ramadan, mereka berdoa lagi selama 6 bulan agar amal mereka selama bulan Ramadan diterima oleh Allah SWT, demikian seterusnya.
Keistimewaan dan kelebihan bulan Ramadan hanya berlaku bagi orang orang beriman yang memahaminya,tidak ada kelebihan bulan Ramadan bagi orang yang tidak memahami keistimewaan bulan Ramadan.Ibaratkan batu batu yang bernilai tinggi hanya diketahui oleh orang yang mengerti tentang batu, batu berlian dengan batu kerikil sama saja bagi orang yang tidak faham tentang batu.
Oleh sebab itu sebelam datang bulan Ramadan perlu persiapan,terutama persiapan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan isbat/penetapan bulan Ramadan, utang puasa Ramadan yang tertinggal pada Ramadan tahun lalu,fidyah puasa, amalan amalan perioritas di bulan Ramadan,hal hal yang merusak pahala puasa Ramadan,syarat dan rukun puasa Ramadan,hingga zakat firah dan zakat mal dan Salat Idul Fitri.
ISBAT RAMADAN
Para ulama Fikih menyatakan bahwa penetapan awal Ramadan ditentukan dengan tiga cara. Pertama, dengan melihat bulan secara langsung (ru’yah bil fi,ly). Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw yang artinya: Berpuasalah kamu dengan melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah kamu dengan melihatnya (hilal Syawwal) dan jika hari berawan (gelap sehingga tidak mungkin melihat hilal) maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim lihat Fathul Bâri Jilid 4 hal.143 Hadis no.1909, Darul Maarif, 1986).
Senada dengan hadis di atas adalah sabda Nabi Saw dalam bentuk larangan puasa hingga melakukan ru’yah hilal (melihat bulan), demikiah pula hadis-hadis lain dalam bentuk informasi bahwa jumlah bilangan bulan antara 29 hari hingga 30 hari. Selama sepuluh tahun Nabi Muhammmad Saw perpuasa di Madinah, sembilan Ramadan Nabi Muhammad Saw 29 hari,hanya 1 Ramadan Nabi Saw puasa 30 hari sempurna. Hadis-hadis tersebut dapat dilihat dalam halaman kitab yang sama dengan nomor hadis 1906, 1907, 1908, 1910 dan 1911.
Dengan demikian, penetapan awal Ramadan sejak zaman Rasul Saw hingga generasi para sahabat ditentukan dengan melakukan ru’yah al-hilal, hanya saja yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah jumlah orang yang melihat awal Ramadan tersebut, apakah cukup dengan satu orang muslim yang adil atau lebih.
Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat: Jika langit dalam keadaan cerah maka hilal yang akan dijadikan dasar penetapan awal Ramadan harus dilihat oleh sejumlah orang sehingga tidak muncul keraguan dalam menerima bahwa hilal telah muncul. Akan tetapi dalam menentukan awal bulan, selain Ramadan yang tidak terkait dengan bulan ibadah seperti awal bulan Syawal dan Zulhijjah cukup dengan satu orang saja didampingi dua orang saksi muslim baligh dan berakal.
Pendapat yang sama dianut oleh Mazhab Maliki, yaitu dalam menentukan awal Ramadan disyaratkan dengan penglihatan sejumlah orang banyak. Hanya yang membedakan dengan Mazhab Hanafi, jika cuaca dalam keadaan mendung cukup dilihat oleh satu orang saja yaitu oleh seorang muslim baligh lagi berakal.
Menurut pendapat Mazhab Syafi’i dan Hambali, hilal untuk menentukan awal bulan cukup dilihat seorang muslim yang adil, baligh lagi berakal. Baik ketika langit dalam keadaan cerah maupun mendung, dan orang melihat bulan ini harus menyatakan kesaksiannya di depan hakim dengan kalimat asyhadu “saya menyaksikan”, atau bersedia mengangkat sumpah.
Cara kedua dalam menentukan awal bulan Ramadan adalah dengan cara menyempurnakan Sya’ban sampai 30 hari, baik langit sedang cerah maupun dalam keadaan mendung tertutup awan. Hal ini didasarkan pada hadis-hadis di atas yang menyatakan jumlah hitungan bulan 29 hari sampai 30 hari. Jika tidak terlihat hilal Ramadan sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30.
Dalam hal ini Prof. Dr. Yusuf Qaradawi mensyaratkan bahwa, awal bulan Sya’ban benar-benar diketahui sehingga penetapan 30 hari bulan Sya’ban benar-benar tepat. Oleh sebab itu para ulama dan pemerintah sebaiknya senantiasa melakukan perhitungan awal bulan qamariah sepanjang tahun agar tidak terkesan asal-asalan dalam menggenapkan 30 hari setiap akhir bulan.
Cara ketiga menetapkan awal Ramadan adalah dengan ilmu hisab atau ilmu falak, dan cara ini tidak populer di kalangan para sahabat dan ulama salafus-shaleh. Oleh sebab itu, penetapan awal Ramadan dengan cara ilmu hisab diperdebatkan oleh para ulama Fikih tentang keabsahannya. Awal perbedaan itu timbul dari cara memahami hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Umar. Di dalam hadis itu dikatakan: Jika hari berawan (langit tertutup awan) maka hitunglah bilangan bulan.
Imam Nawawi, tokoh Fikih kalangan Mazhab Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal mengartikan “hitunglah bilangan bulan (faqdurullah)” dengan hitungan ilmu hisab. Dasar pemahaman ini bahwa seorang ulama muhaddisin dari golongan tabi’in, yaitu Muthrif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah mengartikan “faqdurullah” adalah hitunglah dengan ilmu hisab, demikian yang diriwayatkan oleh Abu Abbas bin Suraij dari tokoh Fikih Syafi’iyah. Padahal perkataan Abu Abbas yang mengutip pendapat dari Muthrif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah, telah mendapat bantahan keras dari Ibnu Abdul Barr, seorang ulama hadis, ia mengatakan: Tidak benar itu merupakan penafsiran dari Muthrif bin Abdullah dan begitu juga Ibnu Quthaibah tidak pernah menafsirkan demikian (lihat kitab Fathul Bâri Juz 4 hal.146).
Penafsiran yang benar terhadap hadis Nabi Saw “faqdurullah” adalah penafsiran Nabi sendiri yang menyatakan: Faakmilu al-iddata tsalasin (sempurnakan bilangan Sya’ban 30 hari). Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Hurairah (lihat kitab Ibanatul Ahkam Syarah Bulugul Maram Juz 2 hal.285 Dâr al-Fikri, 2006 M), dan penafsiran ini diambil oleh mayoritas ulama termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa, penetapan awal bulan dilakukan dengan ru’yah, dan cara ini sesuai dengan sunnah Nabi Saw dan bila cara ini tidak berhasil, maka cara kedua dapat dilakukan, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, dengan persyaratan ru’yah awal Sya’ban telah dilakukan.
Adapun cara menetapkan awal bulan Ramadan dengan ilmu hisab sebagaimana dilakukan oleh sebagian Ormas Islam di tanah air kita adalah cara yang tidak populer di kalangan para sahabat dan para ulama Salafus Shaleh. Jika menggunakan ilmu hisab setelah melakukan ru’yah pendapat ini dapat diterima meskipun tergolong pendapat yang tidak populer. Akan tetapi, menetapkan awal Ramadan jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadan, adalah pendapat yang “mengada-ngada”. Karena secara normatif tidak dapat dipertahankan meskipun ilmu Falak bukan sesuatu hal yang baru, abad ke-12 SM di Tiongkok, abad ke-4 SM di Yunani ilmu falak sudah dikenal, dan abad ke-2 Masehi seorang ahli ilmu falak dari Iskandaria (Mesir) keturunan Yunani Claudius Ptolomcaus (90-168 M) telah mempopulerkan ilmu falak ini ke seluuruh dunia.
Namun, Nabi Muhammad Saw tidak menjadikan rujukan untuk menetapkan ibadahnya dan umatnya kepada yang tidak bersumber dari wahyu. Lagi pula belajar ilmu falak tidak semua orang dapat menguasainya, akan tetapi ru’yah merupakan ilmu yang dapat diketahui oleh semua tingkatan masyarakat. Dan ini sesuai dengan prinsip syariat, yaitu qillatuttaklif (mengurangi beban) dan ‘adamul haraj (tidak menyulitkan).
TRADISI PRA RAMADAN
Fenomena di masyarakat muslim menjelang datangnya Ramadan mereka berduyun-duyun datang berziarah ke kuburan, mendoakan orang tua dan kaum kerabat mereka yang telah berpulang ke rahmatullah. Hal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan bulan Ramadan, karena berziarah ke kuburan memang dianjurkan di dalam syariat Islam baik laki-laki maupun perempuan, sama ada pada bulan-bulan biasa atau ketika menjelang Ramadan. Demikian pula tata cara berziarah, para ulama Fikih tidak mengatur urutan dan tata tertib yang wajib diikuti.
Namun yang paling baik dilakukan oleh para penziarah kuburan adalah memilih waktu yang telah ditetapkan oleh para ulama. Menurut ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, baik dilakukan pada hari Kamis, Jumat dan Sabtu. Dan menurut Mazhab Syafii, waktu ziarah dilakukan pada hari Kamis selepas Ashar sampai matahari terbit pada hari Sabtu. Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, tidak ada ketentuan waktu dalam berziarah kubur, dan baik dilakukan kapan saja.
Para ahli Fikih 4 mazhab mengemukakan hal-hal yang hendaknya dilakukan oleh para penziarah : Pertama : Mengucapkan salam dengan posisi berhadapan dengan wajah mayat. Salam yang dianjurkan oleh Nabi dan sahabatnya antara lain : Assalâmu’alaikum ya dâra qaumin mukminin, wainna insya Allah biqum lahiqun. (Assalâlaikum wahai penghuni tempat kaum mukminin, sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. (HR. Muslim).
Kedua: Menanggalkan alas kaki hukumnya sunat menurut Mazhab Imam Ahmad, sedangkan menurut Mazhab Jumhur Ulama hukumnya mubah (harus). Menurut ulama di kalangan Mazhab Hanbali, ziarah hukumnya sunat dilakukan berdiri.
Ketiga: Membaca ayat-ayat Al Qur’an karena menurut keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah dan menurut Jumhur Ulama Fikih termasuk diantaranya sebagian dari ulama Syafiiyah mengatakan bahwa : pahala bacaan Alquran yang diniatkan kepada orang yang telah mati akan bermanfaat dan sampai kepadanya.
Menurut Mazhab Hanafi dianjurkan membaca surat Yasin, al-Fatihah, 5 ayat awal surat al-Baqarah, ayat Kursi, akhir surat al-Baqarah dari âmanarraul, surat al-Mulk, surat a-Takatsur, dan surat al-Ikhlas 3 kali atau sampai 12 kali. Sedangkan jumhur ahli Fiqih mengatakan baca ayat-ayat apasaja yang termudah bagi penziarah.
Keempat : Berdoa memohon ampunan bagi ahli kubur dan seluruh ahli Fikih, berpendapat bahwa do’a bermanfaat bagi si mayat, berdasarkan firman Allah SWT : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansor) mereka berdo’a : Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang beriman, Ya Tuhan sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hasyr : 10) Dan doa dilakukan menghadap kiblat dan ditutup dengan do’a yang diajarkan Nabi SAW : Allâhumma la tahrimna ajrahu wala taftinna ba’dahu (Ya Allah jangan Engkau halangi kursi untuk menerima pahala mereka dan janganlah Engkau menimpakan musibah kepada kami setelah kematian mereka. (HR. Abu Daud).
PUNGGAHAN RAMADAN
Punggahan ini berarti membongkar muatan seperti layaknya orang membongkar barang-barang dari dalam kapal. Barangkali tradisi sebagian masyarakat kita jauh sebelum datang bulan Ramadan sudah mempersiapkan dana tabungan untuk upacara penyambutan Ramadan, sampai 2 hari atau 1 hari menjelang Ramadan tabungan yang telah disimpan sebelum Ramadan dibongkar untuk membeli daging hewan, dan makanan untuk disantap bersama, sambil silaturrahim dengan warga diiringi dengan bermaafan antara sesama. Dan tradisi ini dipandang oleh syara’ adalah suatu tradisi yang baik, sekaligus merupakan budaya lokal yang perlu dipelihara karena banyak memberi manfaat untuk menjaga persatuan antara warga masyarakat. Nabi SAW bersabda : Apa yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik maka di sisi Allah juga baik.
MARPANGIR
Hal lain yang menjadi tradisi masyarakat kita adalah marpangir atau mandi dengan air yang dicampur dengan daun-daunan yang wangi. Kebiasaan ini dilakukan menjelang detik-detik datangnya bulan Ramadan sebagai ekspresi kegembiraan untuk memakmurkan mesjid melakukan Salat Tarawih berjamaah. Islam memandang tradisi ini merupakan perbuatan baik (istihsan) sepanjang tidak ada yang berbau khurafat.
KEARIFAN LOKAL
Dalam rangka penyambutan bulan suci Ramadan sesuai dengan budaya lokal masing-masing. Lain lubuk lain ikan – lain padang lain belalang. Semua itu boleh dilakukan sepanjang tidak bercampur aduk dengan khurafat dan perbuatan-perbuatan maksiat sebagai ungkapan kegembiraan atas datangnya bulan rahmat yang penuh karunia Allah SWT. Dan oleh karenanya lah Allah menyuruh bergembira : Qul bifadhlillahi wabirahmatihi fabizalika falyafrahu (katakanlah dengan rahmat dan karunia-Nyalah handaklah mereka bergembira.(QS. Yunus: 58).
Wallahua’lam bil ash-shawab
Dr.H.Muhammad Nasir, Lc, MA
- Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah
- Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara.