TERLEPAS dari perbedaan pendapat ulama dalam menentukan jumlah rakaat tarawih, adalah suatu hal yang menarik membahas kajian salat tarawih yang dilaksanakan secara cepat dan terburu-buru.
Soalnya, tidak menjadi rahasia lagi bahwa kaum muslimin dan muslimat pada umumnya mencari mesjid yang lebih cepat imamnya dan cepat selesainya, dan pada gilirannya akan mencari jumlah salat tarawih yang lebih sedikit jumlah rakaatnya plus imamnya muda dan tangkas, sehingga salat tarawih yang seyogianya selesai satu jam, dapat diselesaikan dalam masa dua puluh menit saja.
Ironisnya, banyak masjid dan mushalla yang dahulunya bertahan 23 rakaat, sekarang sudah mulai luntur menjadi 11 rakaat dengan witir, alasan perobahan ini sangat sederhana yaitu “permintaan jamaah” tanpa mempertanyakan argumentasi-argumentasi yang melegakan hati.
Sebenarnya bukan soal jumlah rakaat 11 atau 23, akan tetapi kemauan atau ghirah (kecemburuan) ibadah semakin menurun volume-nya. Kuat dugaan bahwa peruba-han ini bukan karena pertimbangan normatif, akan tetapi lebih cenderung subjektif yaitu pingin supaya cepat selesai.
Tulisan ini akan mengkaji aspek hukum tentang salat tarawih cepat-cepat, apakah dan bagaimana ukuran cepat atau lambat.
Pada prinsipnya salat sunat di malam-malam Ramadan yaitu salat tarawih hukumnya sunat, dan salah satu faktor penyebab pembersih seseorang dari segala bentuk dosa dan kesalahan, asal dilaksanakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Rasul Saw. bersabda : “Siapa-siapa mengerjakan salat (qiyâm Ramadan karena iman dan ikhlas, maka diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan untuk mendapat kesucian diri lewat ibadah salat tarawih, harus memenuhi syarat, dan rukun serta adab-adab salat. Diantara rukun salat itu adalah thuma’ninah yaitu sikap tenang pada setiap rukun salat yang bersifat fi’ly (perbuatan). Seperti ruku’ i’tidal, sujud, duduk antara dua sujud. Antara ruku’ dan i’tidal misalnya mesti ada batas minimal untuk thuma’ninah yaitu sekedar membaca subhâna rabbiyal a’lâ paling tidak 1 kali, bahkan ada pendapat lain dari Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah yaitu paling kurang 3 kali dalam ruku’ dan sujud, demikian pula pada posisi duduk antara dua sujud mesti ada thuma’niah, tidak seperti ayam mematuk makanan tanpa ada jarak antara satu dan yang lain.
Oleh sebab itu Rasul Saw. pernah menyuruh seorang laki-laki yang salat di depan Nabi Saw. untuk mengulangi salatnya karena tidak ada thuma’ninahnya. Nabi Saw. berkata pada laki-laki itu : “Ulangilah salatmu, karena engkau belum melaksanakan salat, kemudian Nabi Saw. mengajari laki-laki tersebut. ruku’lah hingga engkau thuma’ninah ketika ruku’, beri’tidallah sehingga engkau thuma’ninah dengan berdiri sempurna, dan bersujudlah sehingga engkau thuma’ninah ketika bersujud dan duduklah antara dua sujud sehingga engkau thuma’ninah pada waktu duduk dan demikianlah seterusnya. (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran, bahwa salat yang tidak ada thuma’ninahnya dianggap tidak salat sama sekali, karena Nabi Saw. menyuruh untuk me-ngulangi kembali, dan mengajari untuk menyempurnakan dengan melakukan thuma’ninah pada setiap rukun.
Di riwayat lain menceritakan bahwa Nabi Saw. bersabda : “Seburuk-buruk pencuri adalah pencuri dalam salat, dan Rasul Saw. ditanya bagaimana orang bisa melakukan pencurian di dalam salat. Rasul Saw. menjawab yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”
Bila dihubungkan hadis ini dengan ukuran minimal thuma’ninah yaitu paling tidak membaca tasbih subhâna rabbiyal a’lâ 1 kali, maka apabila tidak membaca seukuran 1 kali tasbih berarti tidak thuma’ninah alias pencuri dalam salat.
Kaitannya dengan salat tarawih pada malam Ramadhan, nampak terlalu dipaksanakan harus selesai jam 9.00 malam atau paling lambat 9.30, sehingga para imam kasak-kusuk untuk mencapai target tersebut. sebenarnya, yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah imam sehingga imam tidak boleh menuruti kemauan jamaah, namun tetap memperhatikan kondisi jamaah yang terkadang tidak mampu berdiri terlalu lama.
Ada perbedaan tarawih di negeri ini dengan tarawih di Timur Tengah, salat tarawih di Timur Tengah betul-betul santai, dan tenang sesuai arti harfiah dari tarawih itu sendiri, yaitu istirahat atau santai, tidak terburu-buru. Penulis pernah mengikuti salat tarawih di negeri Mesir yaitu di tempat kediaman Imam Syafii ra. Salat tarawih dimulai jam 10 malam sampai selesai jam 4 pagi. Itu artinya betul-betul ingin menikmati dan merasakan khusu’nya salat, dan khusu’nya salat tersebut tidak akan tercapai dengan melaksanakan salat secara terburu-buru dan cepat-cepat. Karena khusu’ salat itu ada dua macam, pada badan dan pada hati. Dengan kata lain porsi untuk khusu’ hati lebih besar daripada khusu’ anggota tubuh, karena ada jaminan dari Nabi Saw.: “Kalau hati seorang khusu’ pasti khusu’ pula anggota tubuhnya”. (HR. Turmuzi).
Selain dari ghirah (kecemburuan) atau semangat ibadah pada saat ini semakin berkurang, masih ada lagi faktor orang-orang ingin cepat selesai salat tarawih yaitu faktor instan dan praktis. Suatu hal yang sangat fenomenal di saat ini orang ingin praktis dalam segala hal, mulai dari urusan makan, sampai kepada urusan politik praktis, dan akhirnya terbawa-bawa kepada urusan ibadah, sementara Allah Swt. mengingatkan agar urusan ibadah harus dilaksanakan dengan sabar dan tenang. Firman Allah Swt.: “Suruhlah keluargamu salat dan bersabarlah melaksanakannya. (QS. 20 : 132).
Demikian juga membaca Al Qur’an, Allah Swt. menganjurkan untuk Tadabbur (merenung)nya dan melarang gegabah ketika membacanya, oleh sebab itu Allah mengingatkan Nabi Saw. yang amat mulia itu agar tidak mendahului bacaan Jibril alaihissalam, Allah Swt. berfirman : “Jangan engkau menggerakkan lidahmu untuk tergesa-gesa.” (QS. 75 : 16).
Karena alasan ingin serba instan dan praktis tersebut, kita melihat ada latihan praktis untuk mencapai salat khusu’ yang dilaksanakan di hotel-hotel dan mudah-mudahan saja hasilnya menggembirakan. Akan tetapi menurut hemat penulis, untuk mendapat kenikmatan ibadah mestilah dengan cara menghayati dan merenungkan hakikatnya, dan tidak akan ditemukan kenikmatan ibadah dengan cara gegabah, cepat-cepat, dan tergesa-gesa.
Di penghujung tulisan ini ada baiknya kita merenungkan pengalaman seorang ulama Salaf yang bernama Hatim Al Asham ketika ditanya bagaimana dia mengerjakan shalat : “Saya bertakbir dengan merenungkan hakikatnya, saya membaca Al Qur’an dengan sungguh dan tartil, saya sujud dengan khusu’, saya sujud dengan merasa rendah, saya merasa surga ada di sebelah kanan saya, dan neraka di sebelah kiri saya, titian ada di bawah kaki saya, ka’bah berada di kedua kening saya, malaikat maut ada di atas kepala saya, dosa-dosa sedang meliputi saya, pandangan Allah sedang tertuju kepada saya, saya anggap salat saya ini sebagai salat terakhir dalam hidup saya, dan saya sertai dengan keikhlasan semampu saya. Kemudian saya ucapkan salam. Saya tidak tau apakah Allah menerima salat saya ataukah justru Dia berkata : “Lemparkan salat itu ke wajah orang yang melakukannya.” Wallahua’lam.
Dr.H.Muhammad Nasir, Lc, MA
- Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah
- Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Al Qur’an Al Mukhlisin Batu Bara, Sumut