MENYAMBUT Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 pada 9 Februari ini, beberapa hari lalu muncul kabar ke permukaan mengenai pernyataan seorang Menteri Kabinet Merah Putih tentang wartawan bodrek
dan LSM yang dituding mengganggu kinerja aparat pada tingkat bawah. Pernyataan ini makin meluas yang diwarnai dengan aksi protes sekelompok massa atas pernyataan itu.
Menyimak dan mengamati persoalan itu di media sosial, sebenarnya tudingan dan pernyataan itu untuk siapa? Kalau yang bersangkutan terikat dengan tugas jurnalistik, berpedoman kepada UU Pokok Pers dan kode etik wartawan, penulis berpikir kenapa harus heboh? Karena pernyataan seorang menteri tersebut akan menjadi bahan koreksi diri ke tubuh pribadi wartawan Indonesia.
Bagaimana tidak? Jika ditelisik tugas wartawan pada prinsif dasarnya adalah melaksanakan kontrol sosial. Yaitu mengingatkan publik agar taat aturan dan peraturan yang berlaku. Apabila telah melenceng dari peraturan, maka hal tersebut adalah suatu pelanggaran, dan dapat dipublikasikan sesuai dengan norma jurnalistik. Yakni berita tersebut tidak mengandung unsur fitnah, harus berimbang dan terkonfirmasi. Dan berita tersebut layak turun/tayang tidak? Tentulah melalui tahapan pada bagian redaksi/redaktur/pimpinan redaksi.
Penulis lebih cendrung menyebut wartawan siluman
. Karena operasional kerjanya berbeda dengan wartawan resmi. Yang dimaksud resmi dalam konteks ini adalah wartawan yang memiliki kantor/perusahaan media, memiliki jam kerja dan memiliki masa tugas dan masa pensiun. Perusahaan media tempat kerjanya memiliki legalitas hukum dan memiliki kesejahteraan wartawan/karyawan.
Wartawan siluman
berbanding terbalik dari sistem kerja wartawan resmi. Kalau wartawan resmi pastilah memiliki Lembaga resmi/perusahaan media. Wartawannya bergabung dengan wadah organisasi kewartawanan, maka berita yang disajikan pasti telah melalui standar. Dan terpenting lagi bahwa berita tersebut tidak semata-mata menyangkut kasus, tapi juga mengenai prestasi dan sebagainya.
Yang menggelitik hati penulis, kenapa disebut tugas wartawan mengganggu kinerja aparat desa? Bahkan yang membuat miris, dituding meminta sesuatu imbalan dari narasumber. Inilah yang terkadang mengusik hati. Seakan-akan tugas kontrol sosial hilang diterpa isu uang ‘non berkah’.
Menurut penulis, gaya-gaya yang terindikasi ‘pemerasan’ seperti ini, harus dilawan/atau dibasmi habis. Jangan sampai terjadi di tengah-tengah masyarakat, apalagi menjadi budaya negatif. Karena hal ini akan mencemari tugas jurnalistik/wartawan yang sebenarnya. Seorang wartawan, tentu sudah memiliki gaji tetap dari perusahaan tempat dia bekerja. Jadi tugas jurnalistiknya sudah fokus. Jika ada ulah oknum mengaku wartawan, yang berkelakuan macam-macam, baiknya diusir dari lokasi liputan atau jangan dilayani. Titik.
Apalagi ada seperti yang diutarakan seorang pejabat negara, maka hal ini adalah tugas pemimpin perusahaan media, pengurus organisasi wartawan untuk membina pasukan lapangan. Sebab seorang wartawan bukan kebal hukum, dan juga bukan seorang penyidik atau inspektorat. Tugasnya adalah chek and rechek atas info yang didapat.
Kalau narasumbernya yakin atas kinerja pada rule yang ditentukan, kenapa harus takut? Dan jangan sekali-kali menutupi kesalahan dengan memberi uang imbalan untuk tutup mulut? Jika hal ini terjadi, maka tercipta kedua belah pihak telah kongkalikong. Dianjurkan untuk melapor kepada aparat hukum terdekat.
Sebenarnya masalah, wartawan siluman, wartawan gadungan, wartawan bodrex, wartawan abal-abal, wartawan tanpa surat kabar, sudah muncul sejak era orde baru lalu sampai kini. Sekarang apakah mungkin lebih parah? Usul persyaratan akademik seorang wartawan perlu diperkuat, tidak hanya S1, tapi minimal S2, plus dibekali pendidikan agama atau etika, sehingga tercipta wartawan yang sehat dan berita yang sehat, dunia dan akhirat.
Selamat HPN 2025, semoga pers tetap menjadi kekuatan bangsa dan konsisten pada fungsinya. (syamsir/pensiunan wartawan).