Wanita yang Telah Dili’an
SUAMI haram menikahi wanita yang telah dili’annya, untuk selama-lamanya, berdasarkan hadits, “Suami-istri yang telah saling melaknat; jika keduanya telah bercerai, maka tidak boleh berkumpul (menikah) lagi selama-lamanya.” (HR. Ad-Daraquthni).
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi kembali bekas isterinya yang pernah sama-sama mengadakan sumpah pelaknatan, karena bila telah terjadi saling sumpah pelaknatan seperti ini, maka perempuan tadi haram baginya untuk selama-lamanya.
Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, atau tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya, sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu; padahal si suami tidak punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah li’an terhadap istrinya itu. Caranya adalah: Si suami bersumpah dengan saksi Allah sebanyak empat kali bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berkata benar tentang apa yang dituduhkannya kepada istrinya itu. Kemudian pada sumpahnya yang kelimanya hendaknya mengatakan bahwa, laknat Allah akan menimpa dirinya manakala dirinya termasuk orang-orang yang berdusta. Selanjutnya, istrinya bersumpah pula dengan saksi Allah sebanyak empat kali, bahwa suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Lalu pada sumpahnya yang kelima, hendaknya dia mengatakan bahwa, murka Allah akan menimpanya manakala suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwasanya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atas dirinya, jika dia termasuk orang-orang yang dusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpah empat kali atas nama Allah, bahwasanya suaminya itu ternasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur [24]: 6-9).
Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah mengatakan, “Apabila si suami tidak bersedia melaksanakan mula’anah (saling bersumpah li’an), maka dia harus dijatuhi had (hukuman). Sebaliknya, bila sang suami melakukan li’an dan istrinya menolak, maka istrinya harus dijatuhi had. Bila mula’anah telah dilaksanakan oleh kedua belah pihak, hukuman tidak dijatuhkan kepada mereka berdua. Keduanya dipisahkan, dan si anak tidak dinyatakan sebagai anak suaminya itu.”
- Wanita-Wanita yang haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu (Tahrim Muaqqat). Mereka adalah sebagai berikut.
a. Saudara perempuan istri hingga istri tersebut dicerai dan masa iddahnya habis, atau ia meninggal dunia. Diharamkan memadu antara dua perempuan bersaudara kandung atau antara seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau seorang perempuan dengan bibi dari ibunya. Juga diharamkan memadu antara dua orang perempuan yang masih punya hubungan kekeluargaan, yang andaikata salah seorang dari dua perempuan yang berhubungan keluarga tadi laki-laki yang tidak dibenarkan nikah satu dengan yang lainnya, seperti: memadu antara seorang perempuan dengan anak perempuan saudara laki-lakinya atau anak perempuan saudara perempuan. Allah Swt. berfirman, “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara.” (QS. An-Nisa’ [4]: 23).
Dalam hadits disebutkan, “Dari Fairuz Dailami, bahwa ia masuk Islam dengan keduanya istrinya yang masih bersaudara. Maka bersabda Rasulullah Saw kepadanya: Thalaklah salah seorang dari keduanya yang kamu sukai.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majaah, Tirmidzi).
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah Saw. melarang memadu seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya kamu berbuat demikian, sesungguhnya kamu memutuskan hubungan keluarga kamu.” Ada salah satu hadits mursal pada Abu Dawud dari Husain bin Thalhah, ia berkata, “Rasulullah melarang memadu perempuan dengan saudara-saudara perempuannya karena takut akan putusnya hubungan keluarga.”
Sayyid Sabiq berkata, “bahwa di dalam hadits Ibnu Abbas dan Husain bin Thalhah di atas memperingatkan bahwa diharamkannya memadu perempuan-perempuan sebagaimana tersebut, adalah untuk menjaga agar jangan sampai memutuskan tali kekeluargaan di antara anggota-anggota keluarga. Sebab memadu mereka itu akan dapat melahirkan perasaan saling membenci dan menimbulkan kedengkian. Sebab perasaan cemas seringkali menjadi sebab menghalangi timbulnya rasa gairah antara suami-istri. Memadu antara perempuan-perempuan yang masih bersaudara ini dilarang, baik ketika masih sebagai suami-istri maupun dalam masa iddah.”
b. Bibi istri; baik bibi dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu. Jadi, ia tidak boleh dinikahi hingga istrinya dicerai dan masa iddahnya telah selesai, atau meninggal dunia, karena Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. melarang memadu seorang wanita dengan bibi dari jalur ayahnya, atau dengan bibi dari jalur ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sayyid Sabiq berkata, “para ulama sepakat bahwa seorang laki-laki yang menthalak perempuannya dengan thalak raj’iy, maka ia dilarang menikahi saudara perempuannya, atau bibi dari ayahnya, atau bibi anak perempuannya, atau anak perempuan saudara laki-lakinya, atau anak perempuan saudara perempuannya, sehingga iddahnya habis. Sebab dalam masa iddah pertalian suami-istri masih ada dan suaminya masih berhak meruju’ kapan ia suka.”
c.Wanita yang bersuami. Ia tidak boleh dinikahi hingga ia diceraikan suaminya, atau menjanda dan masa iddahnya habis. Allah Swt. berfirman, “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami.” (QS. An-Nisa’ [4]: 24).
d.Wanita yang sedang menjalani masa iddah karena perceraian, atau suaminya meninggal. Ia haram dinikahi dan dilamar hingga masa iddahnya selesai. Tapi tidak ada salahnya menyindir wanita tersebut, misalnya dengan berkata kepadanya, “Aku tertarik kepadamu.” Karena Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kalian mengadakan janji nikah dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf, dan janganlah kalian berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum iddahnya habis.” (QS. Al-Baqarah [2]: 235).
e. Wanita yang telah ditalak tiga, hingga ia menikah dengan suami lain dan berpisah dengannya karena perceraian, atau suaminya meninggal dunia, dan setelah masa iddahnya selesai. Karena Allah Swt. berfirman, “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia nikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230).
f. Wanita yang berzina hingga bertobat dari zina dan diketahui betul-betul bertobat. Allah Swt. berfirman, “Dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin.” (QS. An-Nur [24]: 3). Dan Rasulullah Saw. juga bersabda, “Laki-laki pezina yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan wanita seperti dirinya.” (HR. Imam Ahmad).”
Pengharaman Beristri lebih Dari Empat
Semua mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki haram memadu lebih dari empat orang perempuan, sebab empat itu sudah cukup, dan melebihi dari empat ini berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan oleh Allah bagi kemashlahatan hidup suami istri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan jika kamu khawatir, tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak (perempuan) yatim maka kawinlah dengan perempuan yang menyenangkan hatimu: dua, tiga atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka kawinlah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak melanggar yang benar.” (QS. An-Nisa [4]: 3).
Dalam Muhammad Jawad Mughniyah disebutkan: Imam Syafi’i mengatakan bahwa manakala salah seorang di antara keempat istri itu dicerai dalam bentuk talak raj’i, maka laki-laki itu tidak boleh melakukan akad nikah dengan wanita lain sebelum istri yang diceraikannya itu habis ‘iddah-nya. Akan tetapi jika talaknya adalah talak ba’in, maka dia boleh nikah lagi dengan wanita lainnya. Demikian pula halnya, laki-laki itu boleh kawin dengan saudara perempuan istrinya jika ia ditalak secara ba’in, sekalipun dia masih dalam iddah. Sebab talak ba’in mengakhiri hubungan perkawinan dan memutuskan hubungan suami-istri.”
Dalam Fiqih Sunnah disebutkan tentang sebab turunya ayat ini, Bukhari, Abu Dawud, nasa’I dan Tirmidzi dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a., istri Nabi Saw tentang ayat-ayat, “Dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anaka yatim, maka kawinlah dengan perempuan yang menyenangkan hatimu …”, lalu jawabannya: “Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yatim yang ada di bawah asuhan walinya punya harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya, dan hartanya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim ini senang kepadanya lalu ia ingin menjadikan perempuan yatim ini sebagai istrinya, tapi tidak mau memberi maskawin kepadanya dengan adil, yaitu memberikan maskawin yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang mengawini mereka kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka ini dan memberikan maskawin kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka disuruh kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi.”
(Untuk sumber-sumber lain, bisa lihat, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2 (Baerut: Dar Al-Firk, 1983: 61-90), Ibnu Rusydi, Bidayatu’l Mujtahid (Mesir: Maktabah Shorouk, Cetakan 2, 2010: 393-418). Juga bisa lihat Al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Jilid IV, bab Al-Zawaj). Wallahu a’lam bish-shawwab. (Bag 2)
Karsidi Diningrat
-Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
-Penasihat Pengurus Wilayah Al-Washliyah Jawa Barat.