BerandaKabar WashliyahWanita yang Haram Dinikahi

Wanita yang Haram Dinikahi

AL QUR’AN menunjukkan bahwa tujuan perkawinan ialah untuk menciptakan ketenteraman, kasih sayang yang timbal balik antara suami istri, juga perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang terdiri atas anak dan cucu yang dididik secara bersama antara ibu bapak.

Al-Qur’an telah mengkaitkan perkawinan dengan beberapa ketentuan dan hukum seperti waris, nasab, nafakah, talak, ruju’, khulu’, ‘iddah, ila’, dzihar, li’an, larangan nikah dengan wanita bersaudara, serta larangan nikah dengan wanita sebagai isteri kelima dan lain-lain yang sudah diketahui oleh orang banyak.

Al-Qur’an banyak membicarakan masalah perkawinan, baik dengan kata “jawaz” atau “nikah” yang tidak dapat diartikan lain oleh mereka yang memahami bahasa arab, kecuali dengan perkawinan yang tujuannya mendirikan keluarga secara tetap yang diikuti pula dengan ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum.

Tidak setiap perempuan halal (diperbolehkan) untuk dinikahi. Perempuan yang akan menikah disyaratkan bukan mahram (orang yang haram untuk dinikahi) oleh laki-laki yang hendak menikahinya, baik mahram abadi (muabbad) maupun mahram sementara (muaqqat). Status mahram abadi menyebabkan laki-laki diharamkan untuk menikahi perempuan itu untuk selamanya, kapan pun, sedangkan mahram sementara hanya mengharamkan laki-laki untuk menikahi perempuan selama waktu tertentu dan pada keadaan tertentu. Jika status hubungan yang menjadikan mereka mahram berubah dan mereka bukan lagi mahram, maka pernikahan keduanya halal untuk dilaksanakan.

Wanita Wanita yang Haram Dinikahi Selama-lamanya

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy dalam Minhajul Muslim (Baerut: Dar al-Fikr, 1992: 440-442), disebutkan:

  1. Nikah dengan Mahram (Wanita yang Haram Dinikahi):

a. Wanita yang haram dinikahi karena nasab, mereka adalah:

  • Ibu, termasuk nenek secara mutlak, dan semua jalur ke atasnya.
  • Anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan, hingga semua jalur ke bawahnya.
  • Anak-anak perempuan saudara laki-laki, beserta semua jalur ke bawahnya.
  • Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuannya dan anak-anak perempuannya dari anak laki-laki dari saudara perempuan tersebut (keponakan) beserta jalur ke bawahnya.
  • Amah (bibi dari jalur ayah) secara mutlak beserta jalur ke atasnya.
  • Khalah (bibi dari jalur ibu) secara mutlak beserta jalur ke atasnya.
  • Anak-anak perempuan saudara perempuan beserta jalur ke bawahnya.

Ketentuan di atas berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan (bibi dari jalur ayah), saudara-saudara ibumu yang perempuan (bibi dari jalur ibu), anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibi-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan gabimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perermpuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 23).

b. Wanita yang haram dinikahi karena pernikahan (besanan), mereka adalah:

  • Istri ayah dan istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena Allah Swt. telah berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi ayah-ayah kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 22).
  • Ibu istri (ibu mertua) dan nenek istri.
  • Anak perempuan istri (anak perempuan tiri) jika seseorang telah menggauli ibunya.
  • Anak perempuannya anak perempuan istri (cucu perempuan dari anak perempuan tiri).
  • Anak perempuannya anak laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri). Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “(Diharamkan atas kalian menikahi) ibu-ibu istri kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 23).

c. Wanita yang haram dinikahi karena persusuan, mereka adalah:

  • Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab.
  • Anak-anak perempuan.
  • Saudara-saudara perempuan.

•Para amah (para bibi dari jalur ayah). Ibnu Rusydi mengatakan, “bahwa yang dimaksud dengan saudara perempuan ayah (‘ammah) di sini adalah semua orang perempuan yang menjadi saudara perempuan orang lelaki yang menjadi sebab kelahiran (yakni ayah), baik secara langsung (yakni saudara perempuan ayah), atau dengan perantaraan lelaki lain (yakni saudara perempuan kakek).

  • Para khalah (para bibi dari jalur ibu). Dan yang dimaksud dengan saudara perempuan ibu (khalah) adalah semua orang perempuan yang menjadi saudara perempuan orang yang menjadi sebab kelahiranmu (yakni ibu), baik secara langsung (yakni saudara perempuan ibu), atau dengan perantaraan perempuan lain (yakni saudara nenek, dan mereka adalah perempuan-perempuan merdeka dari segi ibu. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak boleh dikumpulkan (dalam perkawinan) antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya, dan tidak pula antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.”
  • Anak perempuannya saudara laki-laki.
  • Anak perempuannya saudara perempuan.

Ibnu Rusydi mengatakan bahwa, “Fuqaha telah sependapat bahwa – secara garis besar – apa yang diharamkan oleh susuan sama dengan apa yang diharamkan oleh nasab. Yaitu bahwa orang perempuan yang menyusui sama kedudukannya dengan seorang ibu. Oleh karenannya, ia diharamkan bagi anak yang disusukannya, dan diharamkan pula baginya semua orang (perempuan) yang diharamkan atas anak lelaki dari segi ibu nasab.”

Mereka semua haram dinikahi karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apa saja yang diharamkan karena nasab itu juga diharamkan karena susuan.” (HR. An-Nasai). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Wanita yang haram dinikahi dari persusuan sama halnya wanita yang haram dinikahi dari kelahiran (hubungan nasab).” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Berdasarkan hadits ini, maka setiap perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, haram pula dinikahi karena bubungan persusuan. Jadi, perempuan mana pun yang telah menjadi ibu atau anak perempuan, saudara perempuan atau bibi (baik dari pihak bapak maupun ibu), atau telah menjadi keponakan (dari saudara sesusuan laki-laki maupun perempuan) karena persusuan, disepakati sebagai perempuan-perempuan yang haram dinikahi.

Tolok ukur susuan yang diharamkan ialah susuan di bawah dua tahun, dan air susu betul-betul masuk ke perut anak yang menyusu sebagaimana lazimnya susuan. Karena berdasarkan hadits Rasulullah Saw, “Satu isapan atau dua isapan itu tidak mengharamkan (pernikahan).” (HR. Muslim). Karena satu isapan itu sangat sedikit dan bisa jadi tidak masuk ke perut anak yang menyusu.

Catatan:

  1. Suami ibu susuan dikategorikan sebagai ayah bagi anak susuan. Maka anak-anaknya dari selain ibu susuan adalah saudara bagi anak susuan tersebut. Anak susuan diharamkan menikahi ibu-ibu (termasuk nenek) ayah susuannya, saudara-saudara perempuannya, bibi-bibi dari jalur ayah susuan, dan bibi-bibi dari jalur ibu susuan. Selain itu, semua anak ibu susuan dari suami mana pun adalah saudara bagi anak susuan, karena Rasulullah Saw. bersabda kepada Aisyah r.a., “Izinkan masuk Aflah saudara Abul Qua’is, karena ia pamanmu.” Rasulullah Saw. bersabda seperti itu karena istri Abul Qu’ais menyusui Aisyah r.a.” (HR. Al-Bukhari).

2.Saudara laki-laki dari anak susuan dan saudara-saudara perempuannya tidak haram menikah dengan orang-orang yang diharamkan menikah dengan anak susuan, karena mereka tidak menyusu seperti dirinya. Jadi, saudara anak susuan boleh menikahi wanita yang menyusui saudaranya (anak susuan), atau menikahi ibu dari ibu susuan (neneknya anak susuan), atau menikahi anak perempuan ibu susuan, atau menikahi wanita yang menyusui ayah anak susuan tersebut, atau menikahi wanita yang menyusui anak laki-lakinya. Saudara perempuan dari anak susuan juga boleh menikah dengan pemiliki susu di mana saudara laki-lakinya atau saudara perempuannya menyusu darinya, atau menikah dengan ayah dari saudara sesusuan, atau menikah dengan anaknya ayah dari saudara sesusuan.

  1. Apakah istri anak susuan itu seperti istri anak kandung sehingga haram dinikahi? Jumhur ulama berpendapat istri anak susuan adalah sama persis istri anak kandung. Sedangkan ulama yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut berhujah bahwa istri anak kandung itu haram dinikahi karena pernikahan, sedang susuan itu tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan nasab saja.” Untuk sumber-sumber lain bisa lihat, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2 (Baerut: Dar al-Fikr, 1983: 61-90). Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid (Mesir: Maktabah Shorouk, Cetakan 2, 2010:393-418). Dan Al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Jilid 4, bab Al-Zawaj).Wallahu alam bish-shawwab. (Bag 1).

Karsidi Diningrat

-Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
-Penasihat Pengurus Wilayah Al-Washliyah Jawa Barat.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille