BerandaKabar WashliyahToleransi Beragama Dalam Islam: Hukum Bermuamalah Dengan Orang Nonmuslim

Toleransi Beragama Dalam Islam: Hukum Bermuamalah Dengan Orang Nonmuslim

IBNU Taimiyah mengatakan bahwa, “Pada dasarnya tidak diharamkan atas manusia untuk melakukan berbagai interaksi yang mereka butuhkan, kecuali hal-hal yang pengharamannya disebutkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti halnya juga tidak disyariatkan bagi mereka peribadahan-peribadahan yang mereka lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. kecuali yang pensyariatannya ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab, agama adalah sesuatu yang disyariatkan Allah dan haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah.”

Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan mengatakan “boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan dan sewa menyewa selama alat tukar, keuntungan dan barangnya dibolehkan oleh syariat Islam. Jika alat tukarnya diharamkan–misalnya, khamar dan daging babi–atau keuntungannya diharamkan–misalnya, bunga dan riba-atau barangnya diharamkan-misalnya, anggur yang akan dijadikan khamar, atau memiliki dan menyewakan barang untuk perbuatan haram–maka ini diharamkan oleh syariat Islam. Begitu pula barang yang digunakan orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin.”

Syaikh Al-Qahthani, mengatakan “bahwa menjual makanan, pakaian, raihan (jenis tanaman yang harum daunnya), dan semisalnya kepada mereka dalam perayaan-perayaan yang akan membantu semaraknya perayaan mereka, atau memberikan hadiah kepada mereka, hal ini mengandung unsur membantu berlangsungnya perayaan yang diharamkan, sehingga ia pun diharamkan. Hal ini didasarkan kepada prinsip: tidak dibolehkan menjual anggur atau perasan anggur kepada orang-orang nonmuslim untuk membuat khamr. Selain itu, tidak boleh menjual senjata kepada mereka yang akan menggunakannya untuk memerangi kaum muslimin.”

Toleransi Bukan Dalam Keimanan dan Peribadatan

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kaafiruun [109]: 1-6).

Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan” yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi saw menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sangggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat, oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.

Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifatnya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Walid bin al-Mughirah al-‘As bin Wa’il as Sahmi, al-Aswad bin Abdul Mutalib, dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui Nabi Saw. dan menyatakan, “Hai Muhammad! Marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau baHwa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula dengan kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya. Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya.” Lalu turunlah surat al-Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.

Dari surat al-Kafirun ini, memberikan kode etik dalam hubungan antara pemeluk agama. Di antara kode etik tersebut ialah, Pertama, tidak bertoleransi dalam akidah. Dalam hubungan bermasyarakat Al-Qur’an sangat menganjurkan agar umat Islam menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama muslim melainkan juga dengan warga masyarakat yang nonmuslim. Namun toleransi tersebut bukan dalam hal akidah. Kedua, tidak mengghina Tuhan agama lain.

Pelarangan Toleransi Dalam Akidah, Peribadatan

Baik Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Latif, maupun Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, dan Syaikh Muhammad Sa’id Al-Qahthani, serta Dr. Nasir bin Abdul Karim Al-Aql, mengatakan, bahwa Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ziarah ke tempat-tempat ibadah orang-orang nonmuslim (Kafir) seperti tempat yang diberi nama al-Qumamah, atau Baithlahm, atau Shahyun, atau selainnya, seperti gereja-gereja orang Nashrani maka ia dilarang. Barangsiapa mengunjungi tempat-tempat ini dengan meyakini bahwa mengunjunginya dianjurkan dan memiliki nilai ibadah lebih afdhal daripada ibadah di rumahnya, maka dia sesat dan keluar dari Syariat Islam, dia dituntut bertaubat.”

Al-Qadhi Iyadh berkata, “Begitu pula kami mengkafirkan karena setiap perbuatan yang disepakati oleh kaum Muslimin bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan kecuali oleh orang nonmuslim, walaupun pelakunya berkata lantang bahwa dirinya Islam akan tetapi dia tetap melakukan itu, seperti berangkat ke gereja dan biara bersama jamaahnya dengan seragam mereka: mengikat sabuk di pinggang dan mencukur bagian tengah kepala. Kaum Muslimin bersepakat bahwa perbuatan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang nonmuslim.”

Tentang hukum memakai salib tercantum, “Jika dia mengetahui hukum memakai salib dan bahwa ia adalah syiar orang-orang Nashrani dan ada indikasi bahwa pemakainya ridha menisbatkan diri kepada mereka, rela kepada apa yang mereka pegang dan mempertahankan itu, maka dia kafir berdasarkan Firman Allah Swt (Surat al-Maidah [5]: 51). Kata zhalim dalam ujung ayat ini yang dibiarkan mutlak berarti syirik akbar. Memakai salib menunjukkan persetujuan kepada orang-orang Nashrani dalam keyakinan mereka bahwa Isa .as. (Yesus Kritus) mati disalib, padahal Allah Swt telah mengingkari hal itu di dalam kitab-Nya, “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa a.s bagi mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 157).

Dan juga bentuk toleransi dengan orang-orang nonmuslim yang paling berbahaya dan berdampak negatif besar serta paling merajalela di antara kaum Muslimin, adalah berpartisipasi dalam hari raya orang-orang nonmuslim.

Berpartisipasi dalam hari raya orang-orang nonmuslim minimal diharamkan, karena ia berarti mengikuti mereka dalam perkara yang bukan termasuk Agama Islam, di samping ia menyelisihi manhaj as-salaf ash-shalih, ditambah lagi bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk bid’ah yang diada-adakan.

Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda, “Ada dua hari ini?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya di masa jahiliyah.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberi kalian ganti dengan yang lebih baik yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud). Dalam hadits lain disebutkan, “Tinggalkannya keduanya wahai Abu Bakar, karena setiap umat mempunyai hari raya, dan inilah hari raya kita.”

Ibnu Taimiyah menjelaskan makna hadits ini, dia berkata, “Kandungan yang menjadi dalil adalah bahwa Nabi saw tidak mengakui dua hari raya jahiliyah tersebut, beliau tidak membiarkan mereka bersuka-ria padanya sebagaimana biasanya, beliau justru berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan dua hari yang lain.’

Dengan demikian, setiap orang tidak boleh mengadakan perayaan bagi hari, tempat atau pertemuan tertentu yang tidak diperintahkan syariat Islam untuk menjadikannya sebagai hari raya. Baik dengan mengkhususkannya dengan ibadah, atau pertemuan atau tradisi. Bila perbuatan itu menyerupai perbuatan orang kafir, musyrik, Yahudi dan Nashrani, maka dosanya tentu lebih besar dan lebih berbahaya. Karena ia mengandung unsur menyerupai umat lain secara lahir, yang pada gilirannya akan menjadi penyerupaan secara batin.

Syaikh Muhammad Sa’id Al-Qahthani mengatakan, “adapun mengucapkan selamat dengan syiar-syiar kekafiran yang yang khas bagi mereka, ini haram hukumnya berdasar ijmak. Misalnya mengucapkan selamat dengan perayaan mereka dengan ucapan, “Perayaanmu penuh berkah!” atau “Selamat dengan perayaan ini!” Sekalipun orang yang mengucapkannya selamat dari kekafiran, namun sikap ini tetap diharamkan. Ia sama halnya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya orang kafir itu kepada salib, bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai oleh-Nya daripada mengucapkan selamat kepada orang yang minum khamar, ucapan selamat atas pembunuhan, mendapat keleluasaan untuk melakukan hal yang haram, dan semisalnya.”

Banyak orang yang tanpa dasar agama, terperosok ke dalam perbuatan seperti itu, tetapi tidak menyadari bahwa perbuatannya itu buruk. Barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekafiran yang dilakukannya, berarti ia menawarkan diri untuk mendapatkan kemurkaan Allah.

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Latif mengatakan, “Manakala seruan kepada penyatuan agama, menganggap agama Islam sama dengan agama Yahudi dan Nashrani, bahwa ia adalah jalan kepada Allah, sama dengan madzhab yang empat di kalangan kaum Muslimin, itu merupakan kekufuran yang nyata, kemurtadan yang jelas, karena ia berarti mendustakan nash-nash yang shahih lagi jelas dan telah diketahui dengan pasti bahwa agama Islam yang sempurna, yang dengannya Allah menyempurnakan nikmat, meridhainya sebagai agama kita, dan bahwa Islam menasakh agama-agama sebelumnya yang disusupi oleh penyimpangan dan penyelewengan. Allah berfirman, “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya.” (QS. Ali Imran [3]: 85).

Al-Qadhi Iyadh berkata, “Oleh karena itu kami mengkafirkan orang yang beragama bukan dengan Agama kaum Muslimin atau berdiri pada pihak mereka, atau ragu, atau membenarkan agama mereka, meskipun dia menampakkan Islam dan meyakini kebatilan semua agama selainnya, maka dia kafir karena apa yang dia tampakkan yang menyelisihi hal tersebut.”

Pemikiran semacam ini sangat berbahaya, sebab jika orang menganggap bahwa semua agama itu semua benar, berarti bila dia memilih agama tertentu, akan tidak yakin terhadap kebenaran agamanya. Bahkan akan berakibat bisa seenaknya berpindah-pindah agama, karena toh agama manapun sama saja benarnya.

Jadi, hanya ada satu agama yang benar di sisi Allah, yaitu Islam. Semua agama selain Islam adalah agama batil, atau agama benar yang telah diselewengkan sehingga ia tetap batil dan tidak dianggap sebagai agama Allah. Semua kebenaran yang terdapat dalam agama yang disebut terakhir ini sudah termaktub dalam kandungan ajaran Islam secara lebih bersih dan tanpa sedikit pun dicampuri kebatilan. Allah SWT telah berfirman, “Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas seluruh agama (yang lain), walaupun orang-orang musyrik itu merasa sangat benci.” (QS.As-Saff [61]: 9). (Bag 2)

Wallahu alam bish-shawwab.

Karsidi Diningrat

-Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
-Penasehat PW Al Washliyah Jawa Barat.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille