BerandaKabar WashliyahToleransi Beragama Dalam Islam

Toleransi Beragama Dalam Islam

ALLAH subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fussilat [41]: 34-35).

Persaudaraan yang diperintahkan Al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat yang nonmuslim. Term yang digunakan Al-Qur’an untuk menyebut persaudaraan dengan yang berlainan akidah berbeda dengan term yang digunakan untuk menunjuk persaudaraan yang seakidah. Istilah yang telah populer digunakan masyarakat untuk menunjuk persaudaraan dengan yang berbeda akidah, yaitu toleransi.

Toleransi adalah sikap menghargai, membiarkan, dan membolehkan perbedaan pendapat, keyakinan, atau praktik yang dilakukan oleh kelompok lain. Toleransi bukan berarti harus menyetujui hal yang berbeda dari keyakinan kita. Toleransi merupakan kunci penting dalam kehidupan sosial yang beragam, adil, dan terbuka. Beberapa unsur toleransi adalah: Memberikan kebebasan atau kemerdekaan. Mengakui hal setiap orang. Menghormati keyakinan orang lain. Saling mengerti.

Secara etimologi, kata “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerate” yang berarti sabar dan menahan diri. Secara terminologi, toleransi mengacu pada sikap yang tidak memaksakan kehendak, tidak mencela, dan tidak merendahkan, melecehkan ajaran dan simbol agama orang lain karena perbedaan yang ada.

Kebebasan Beragama Dalam Islam

Kebebasan beragama adalah kebebasan setiap orang untuk mengamalkan agama yang menjadi keyakinannya. Kebebasan beragama akan melahirkan sikap toleran dalam kehidupan beragama. Sikap ini tidak akan pernah terwujud dalam masyarakat yang tidak menghormati kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Dalam konteks inilah Al-Qur’an secara tegas melarang untuk melakukan pemaksaan terhadap orang lain agar memeluk Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).

Dari ayat di atas, sangat jelas bahwa dalam pandangan Islam tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Tidak ada paksaan untuk menganut agama. Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih akidah Islamiyah, maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah-Nya.

Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama Allah ini dinamakan Islam yang berarti damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan Islam. Alasan yang menjadi dasar pertimbangan tidak ada paksaan untuk masuk Islam adalah “telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat”.

Sudah jelas bagi orang-orang yang menggunakan nalar, akal sehat dan nurani yang jernih jalan yang benar dan jalan yang sesat. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia, memilih beriman atau kufur; namun pada waktu manusia menentukan pilihan, Al-Qur’an sangat menekankan bahwa pilihan itu ditopang oleh kapasitas intelektual yang mendalam, serta nurani yang bersih dan jernih. Satu hal yang paling dikhawatirkan terjadi adalah manusia menggunakan kebebasan memilih agama dengan pertimbangan fragmatis, tidak mendalam, serta nurani yang tidak jernih sehingga memilih kekufuran dan meninggalkan Islam. Orang yang demikian ini melakukan konversi agama semata-mata karena motivasi perkawinan atau desakan kemiskinan, sehingga pindah agama untuk menjaga kelangsungan hidup atau dorongan untuk meraih jabatan, kekuasaan, dan keuntungan kebendaan semata-mata; bukan karena pemikiran yang mendalam hingga ke akar-akarnya secara sistematis dan metodologis sehingga menemukan kebenaran yang hakiki, kebenaran Islam; tidak pula berdasarkan nurani yang jernih.

Pelarangan Menodai Agama

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 40).

Perintah Al-Qur’an untuk menghormati agama-agama lain secara wajar berbanding lurus dengan larangan ayat di atas untuk menodai suatu agama dan simbol-simbol keagamaan.

Menurut Ibnu ‘Aasyur maksud ayat di atas adalah “Seandainya tidak ada pembelaan manusia terhadap tempat-tempat ibadah kaum muslim, niscaya kaum musyrik akan melampaui batas sehingga melakukan agresi pula terhadap wilayah-wilayah tetangga mereka yang boleh jadi penduduknya menganut agama selain agama Islam. Agama selain Islam tersebut juga bertentangan dengan kepercayaan kaum musyrik, sehingga akan dirobohkan pula biara-biara, gereja-gereja dan sinagog-sinagog serta masjid-masjid. Upaya kaum musyrik tersebut semata-mata ingin menghapuskan ajaran tauhid dan ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan ideologi kemusyrikan.”

Pendapat ini jelas memposisikan agama-agama selain Islam dalam posisi yang juga harus mendapatkan penghormatan yang sama dari kaum muslim. Tempat-tempat ibadah mereka dan simbol-simbol agama yang mereka sakralkan juga harus mendapatkan pernghormatan. Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa toleransi beragama akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat apabila di dalam masyarakat tersebut muncul kesadaran untuk saling menghormati keyakinan agama masing-masing. Sebagaimana Allah melarang keras umat Islam untuk menghina atau merendahkan keyakinan dan simbol-simbol kesucian agama lain, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-‘An’am [6]: 108).

Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan, “Jika agama-agama itu berbeda, maka pemeluk masing-masing agama berhak menyeru (mengajak) kepada agama mereka dengan hikmah dan mau’uzhah, tanpa fanatisme yang dapat membuat tuli terhadap hakikat kebenaran, tanpa paksaan, dan tidak menggunakan hasutan, hinaan, melecehkan keyakinan dan simbol-simbol keagamaan lain tanpa dilandasi dengan bukti dan argumentasi.”

Toleransi Dalam Bermuamalah Dengan Orang Non Muslim

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).

Menurut Ibnu Jarir yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Sa’id Al-Qahthani, “maksud ayat ini adalah bahwa Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung hubungan, dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dari seluruh penganut agama yang ada. Sebab, Allah swt. menyatakan secara umum, “Orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan juga tidak mengeluarkan kalian dari kampung halaman kalian,” yang meliputi semua orang yang demikian sifatnya. Allah tidak mengkhususkan sebagian saja. Sebab, berbuat baiknya seorang mukmin kepada seseorang dari kalangan ahlulharbi, baik yang antara dirinya dengan mereka terdapat kedekatan nasab maupun tidak ada kekerabatan atau nasab sekalipun, tidak diharamkan dan juga tidak dilarang.”

Sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Asma’ ra. bahwa ia berkata, “Ibuku datang kepadaku di masa Rasulullah Saw., sedangkan ia adalah seorang musyrik. Aku pun minta fatwa kepada Rasulullah Saw, dan berkata, ‘Sesungguhnya ibuku datang kepadaku karena rindu kepadaku. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku itu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu!”.

Al-Khathabi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kerabat yang kafir tetap dijalin hubungannya berkenaan dengan harta dan sebagainya, seperti halnya hubungan yang harus disambung dengan kerabat yang muslim. Berdasar hadits ini juga dapat disimpulkan tentang wajibnya memberi nafkah kepada ayah yang kafir atau ibu yang kafir, sekalipun anaknya (yang memberi nafkah itu) muslim.”

Ibnu Qayim mengatakan, “Dalil berikut mendasari adanya kewajiban memberi nafkah, sekalipun agama mereka berbeda berdasarkan firman Allah Swt., “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau mentaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 14-15).

Sikap baik terhadap kedua orang tua yang musyrik juga berlaku untuk seluruh kerabat yang musyrik berdasarkan firman Allah Swt, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu-bapak, karib-ketabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat dan ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa, 4: 36).

Dengan demikian jelaslah bahwa muamalah yang baik dengan orang kafir adalah suatu akhlak mulia yang sangat dianjurkan dan diperintahkan oleh syariat Islam. Sedang yang diharamkan adalah mendukung dan menolong orang kafir untuk kekufuran. Pengharaman ini dapat menyebabkan pelanggarnya sampai kepada kekufuran. Wallahu ‘Alam bish-shawwab. (Bag 1)

Karsidi Diningrat

-Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
-Penasehat PW Al Washliyah Jawa Barat

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille