SEJAK bulan Juni hingga November ini setidaknya ada tiga kejadian besar yang terkait dengan institusi kepolisian, yaitu tewasnya Afif Maulana, seorang pelajar di Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, lalu kejadian penembakan oleh AKP Dadang Iskandar terhadap rekannya AKP Ryanto Ulil, yang sama-sama bertugas di Polres Solok, Sumatera Barat. Paling akhir adalah peristiwa tewasnya seorang siswa SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah, bernama Gamma Rizkynata Oktafandy, oleh karena tembakan anggota polisi dari Polrestabes Semarang.
Rangkaian kejadian tersebut mau tak mau memberikan dampak buruk terhadap eksistensi kepolisian Indonesia, terlepas dari bagaimana hasil penyelidikan atas semua kasus tersebut di atas. Ya, terlepas dari apa dan bagaimana kejadian yang sebenarnya, tindakan anggota kepolisian yang menembak orang-orang yang bisa dianggap “tidak layak ditembak” adalah sebuah tindakan yang sangat menusuk dan memberikan dampak yang sangat negatif. Satu hal yang segera muncul atas semua kejadian di atas adalah sebuah pertanyaan mendasar: ada apa sebenarnya di dalam tubuh kepolisian?
Polri di dalam beberapa tahun terakhir sedang gencar-gencarnya memproklamirkan idiom “presisi” sebagai acuan di dalam pemikiran dan tindakan pihak kepolisian secara profesional. Dengan adanya kejadian-kejadian di atas maka makna “presisi” pun menjadi sangat terganggu, dan oleh karenanya harus segera diantisipasi secara cermat mungkin agar persoalan tidak semakin berlarut dan menjadi bola liar yang menggelinding bebas tanpa arah. Sebab jika tidak demikian, akan timbul rasa sakit di banyak pihak, dari mulai rakyat sampai anggota polisi yang tetap berjalan lurus.
Institusi kepolisian Indonesia telah sedemikian besarnya, sehingga akan terasa sangat naif institusi yang besar itu secara gampang diruntuhkan oleh sebab tindakan keliru beberapa oknumnya. Tetapi jangan keliru menafsirkan bahwa institusi sebesar Polri tidak akan bisa diruntuhkan oleh hanya karena munculnya kasus-kasus di atas. Penanganan yang keliru, yang tidak profesional dan tak menyentuh rasa keadilan, niscaya akan menumbuhkan rasa ketidak-percayaan secara umum, yang muaranya adalah terlukanya institusi kepolisian itu sendiri.
Telah berulangkali masyarakat meminta Polri lebih selektif lagi, lebih ketat lagi di dalam pola rekrutmen anggota, termasuk juga peninjauan atas pola pendidikan yang ada (terutama hal yang bersifat psikologis), dalam setiap munculnya kejadian pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Entah suara-suara semacam itu direspons oleh kepolisian atau tidak, toh kenyataannya kejadian semacam di atas masih saja muncul. Apakah juga institusi kepolisian telah melakukan introspeksi mendalam setiap kali muncul konflik — baik konflik internal mau pun eksternal — dan apakah juga introspeksi itu telah pula disertai dengan pemberlakuan sanksi atas setiap anggota yang salah, sehingga menumbuhkan rasa jera dan takut untuk melakukan kesalahan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus bermunculan, ditambah pula dengan hadirnya sebahagian orang selalu memandang buruk citra Polri. Bagi mereka, sebaik apa pun atau seburuk apa pun Polri tetap saja dipandang secara salah. berita negatif tentang Polri di viralkan, hal-hal yang positif di tenggelamkan. Mereka telah kehilangan obyektivitas, meski banyak dari mereka yang berlindung di balik sisi akademis di dalam sudut pandangnya kepada kepolisian.
Apa pun yang terjadi di tubuh kepolisian — menyisakan luka selebar apa pun — haruslah tetap dijaga kepercayaan kepada institusi kepolisian. Polri lahir di atas niat dan cita-cita yang baik, maka niat dan cita-cita itu niscaya tidak akan pernah runtuh oleh angin badai sebesar apa pun. Polri harus berbenah diri,intropeksi kembali kepada jatidiri Bhayangkara sejati, sebagai pelayan,pengayon dan pelindung masyarakat. Polri akan terus berjalan di garis yang lurus untuk NKRI tercinta.
KBP (P) ADV Dr. M.Zarkasih,SH,MH,M.Si
Advokat
Sako Pramuka Al Washliyah