MENTERI AGAMA Yaqut Cholil Qoumas beberapa waktu lalu melemparkan sebuah wacana yang agak membuat ramai, yaitu tentang inisiatif Kementerian Agama yang ingin menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat pelayanan keagamaan bagi seluruh umat beragama termasuk tempat perkawinan.
Masyarakat yang telah sangat lama mengenal dan memahami tugas dan fungsi KUA menjadi bertanya-tanya tentang ada apa sebenarnya di balik inisiatif Kementerian Agama tersebut. Sungguh sebuah wacana yang sangat tidak popular dan menuai kontroversi di masyarakat, meski pun tetap ada juga yang menyatakan pro atas wacana itu.
Ada sepuluh tugas pokok dan fungsi KUA sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Pasal 3 Nomor 34 Tahun 2016. Dari 10 tugas pokok dan fungsi KUA tersebut, salah satunya yang paling dikenal dan dipahami oleh masyarakat adalah “Pelaksanaan Pelayanan, Pengawasan, Pencatatan dan Pelaporan Nikah Rujuk”. Sementara 9 lainnya tak terlalu familiar di mata masyarakat. Dan memang pada point tentang pernikahan iutulah yang menimbulkan pro dan kontra.
Salah satu alasan yang bisa dianggap sebagai rendah nilai kepentingannya adalah, bahwa dengan menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan bagi seluruh umat beragama akan memudahkan pencatatan data dan hal-hal yang bersifat administratif. Memang ada perbedaan mengenal hal administratif itu, yang islam di KUA, sementara non islam di catatan sipil. Tetapi jika kita mengingat lagi betapa saat ini zaman sudah sedemikian maju secara teknologi informasi dan sebagainya, maka perbedaan tempat pencatatan data pernikahan (KUA dan catatan sipil) adalah sangat mudah disiasati oleh kerjasama antar lembaga, seperti halnya banyak lembaga melakukan hal itu.
Hal lain yang juga harus diingat adalah, bahwa sesungguhnya pernikahan bukan hanya sebuah prosesi yang bersifat administratif, tetapi lebih jauh adalah justru sebuah prosesi keagamaan. Buat pengantin yang beragama Islam memang proses pernikahan bisa dilakukan di banyak tempat, mulai dari rumah, mesjid sampai taman. Berbeda dengan proses pernikahan pengantin beragama Kristen, umpamanya. Sebahagian besar prosesi pernikahan pengantin beragama Kristen dilakukan di gereja. Ada nilai kesakralan tersendiri di dalam pemberkatan pernikahan oleh pendeta di gereja. Maka inisiatif Menag menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan semua agama berpotensi mereduksi kesakralan perkawinan. Ada wilayah teologis yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Jika negara kemudian mencampuri wilayah teologis tersebut maka seolah ada bagian dari UU Perkawinan yang terkesan dilanggar.
Kemudian hal yang juga agak unik adalah ketika Menteri Agama menyatakan bahwa aula-aula yang ada di KUA dapat dipersilakan untuk menjadi tempat ibadah sementara bagi umat non-muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain. Pernyataan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan kecemburuan dan mempertajam benih konflik yang selama ini ada seputar pendirian tempat ibadah. Memang ada kasus-kasus sulitnya membangun rumah ibadah tertentu, namun menjadikan KUA sebagai ‘rumah ibadah pengganti’ bukanlah solusi yang tepat.
Bukankah telah ada KKB 3 Menteri yang mengatur pembangunan rumah ibadah, kenapa bukan itu saja yang lebih banyak disosialisasikan dan ditegakkan, bukan malah memberi solusi yang memilki potensi memperburuk situasi? Penolakan warga atas pembangunan sebuah rumah ibadah tentu ada alasan kuatnya, lalu bagaimana jadinya jika penolakan yang memiliki dasar hukum yang kuat itu justru seolah dipatahkan oleh Kementerian Agama sendiri? Lain soalnya jika penolakan pembangunan rumah ibadah argumentasi hukumnya lemah dan terkesan mengada-ada.
Bukan tidak mungkin nanti KUA akan menjadi seperti yang diinginkan oleh Kementerian Agama, namun banyak hal yang harus disiapkan di baliknya. Dari mulai SDM, sistem administasi dan – ini yang lebih pokok – kesiapan mental serta kemampuan menjaga rasa ego atas nama agama. Justru dua hal pokok tersebut yang pasti akan sangat sulit untuk bisa dilakukan.
M.Zarkasih
- Ketua Sako Pramuka Al Wasliyah