Firman Allah dalam Al-Qur an suroh Al-Anfal ayat 52-54:
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fira’un dan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sungguh Allah Mahakuat lagi sangat keras siksa-Nya.” “(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fir’aun dan orang-orang sebelum mereka. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka kami membinasakan mereka disebabkan oleh dosa-dosanya dan kami tenggelamkan Fir`aun dan pengikutnya, kareba mereka adalah orang-orang yang zalim.”
Sejarah mencatat, bahwa sejak zaman dahulu kala, sampai zaman mutakhir ini di berbagai belahan dunia pernah berkuasa para pemimpin yang zolim. Namun dalam setiap kesempatan mereka selalu berkoar-koar mengatakan bahwa kebijakan mereka adalah untuk mensejahterakan rakyat. Padahal nyatanya perkataan mereka itu malah jauh panggang dari api. Jangankan mensejahterakan rakyat, mendengar jeritan dan tangisan rakyat kecil yang sudah terpuruk di sudut-sudut kehidupan sajapun mereka tak mau.
Mereka punya telinga tapi tak dipakai untuk mendengar keluhan rakyat yang telah lama menahan kepedihan. Mereka punya mata tapi tak dipakai untuk melihat kenyataan hidup yang pahit yang diderita sebagian besar rakyat kecil. Mereka punya hati tapi tak digunakan untuk menaruh rasa kasihan kepada rakyat yang dizolimi oleh para oknum aparat penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang. Mereka diberi oleh Allah organ otak tapi tak dipakai untukmemikirkan hal-hal yang benar-benar dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan amanat konstitusi,
Hal ini semua terjadi disebabkan karena mereka tidak mengikuti norma-norma yang ada, terutama mereka ingkar terhadap norma atau aturan yang telah ditetapkan Allah Swt di dalam Al-Qur an. Di dalam Al-Qur an sendiri, Allah SWT telah banyak menceritakan bagaimana seharusnya memimpin dengan bijaksana, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para nabi-nabi lainnya. Sebaliknya Al-Quran juga banyak menceritakan tingkah polah para pemimpin yang zalim. Salah sarunya Fir’aun, yang memproklamasikan dirinya sebagai tuhan, dan proklamasi Fir’aun itu adalah puncak kezaliman seorang pemimpin serta kekufuran seorang makhluk berakal terhadap keesaan Allah SWT.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa kezaliman dan kekufuran Fir’aun itu sudah sangat melampaui batas, sehingga Iblis sendiri enggan bersahabat dengannya.
Bahkan Iblis marah atas kesombongan Fir’aun tersebut yang diucapkannya dengan kata-kata: “Hai Fir’aun, mulai hari ini putuslah tali persahabatan di antara kita, sebab ternyata engkau jauh lebih sombong dari aku. Engkau telah berani menyaingi tuhan dengan memproklamasikan dirimu sebagai tuhan, padahal aku sendiri hanya karena tidak mau sujud kepada Adam, Allah telah murka kepadaku sehingga aku diusir dari sorganya Allah, bagaimana pula dengan engkau yang mengaku sebagai tuhan, menyaingi Allah Ta’ala?”
Ayat di atas ( QS. Al-Anfal : 52 dan 54), adalah salah satu ayat yang wajib kita adikan sebagai pelajaran, bahwa kita sebagai bangsa yang besar jangan sekali-kali mengabaikan peringatan Allah Swt dalam hal apapun. Ada pesan yang angat penting yang dapat kita ambil dari ayat di atas, yaitu agar kita angan pernah menjadikan para pemimpin kita menjadi pemimpin yang berkarakter seperti dalam ayat itu. Karena pemimpin yang zalim itu adalah pemimpin yang bertipikal Fir’aun yang senantiasa mengkhianati rakyatnya.
Pemimpin bertipikal Fir’aun.
Tentu nama Fir’aun bukanlah kata yang baru bagi kita, Al-Qur an telah banyak menyebutkan nama Fir’aun. Bahkan menurut kitab Le Koran Analyse, karya Edward Montet ( seorang orientalis berkebangsaan Prancis yang kemudian masuk Islam ), tingkah laku Fir’aun itu dibahas dalam Al-Qur an minimal terdapat pada 26 suroh dan 300 ayat. Fir’aun ( dalam bahasa-bahasa Eropa disebut Farao/Pharaoh, dan dalam bahasa Ibrani, disebut Per-O, berarti rumah besar ) adalah gelar bagi raja-raja di negeri Mesir kuno sejak sulalah ( dinasti;wangsa ) ke 18 sekitar tahun 1580 SM. Dalam bahasa Qibti (Koptik adalah bangsa Mesir kuno, termasuk rumpun bahasa Hamit, seperti bahasa Ethiopia, Sudan, dan Berber ), Fir’aun berarti buaya.
Ada banyak versi tentang cerita Fir’aun, tapi dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengemukakan 3 versi saja yaitu:
1.Menurut hasil penelitian para ilmuwan Barat, Fir’aun yang hidup dan memerintah pada zaman Nabi Musa As adalah Thutmose III, ia berkuasa sekitar tahun 1447 SM. Angka ini diperoleh dengan memulai perhitungan dari selesainya Nabi Sulaiman AS membangun istananya pada tahun 967 SM yaitu 480 tahun sesudah Bani Israil keluar dari Mesir, jadi kalau ditambahkan angka 967 dengan angka 480 maka hasilnya adalah 1447. Adapun kata Thutmose, secara kebetulan kalau dihilangkan Thut akan didapat Mose (Musa) yang dalam bahasa Mesir kuno berarti sesuatu yang diambil dari air. Dalam Perjanjian Lama, kitab Keluaran fasal 1 ayat 7 – 12 disebutkan bahwa cara yang dipakai oleh Fir’aun untuk mengurangi populasi Bani Israil yang semakin berkembang adalah dengan cara mengerahkan Bani Israil kerja paksa untuk membangun kota Pitom dan Raamsis. sehingga dengan kerja paksa itu Bani Israil banyak yang menemui ajalnya. Sedangkan kata Raamsis telah ditemukan pada kuburan Amenhotep III, sekitar 100 tahun sebelum Raamses II menjadi Fir’aun.
2.Syekh Dr. Ahmad Syarbasi dalam kitab Yas alunaka fid din wal hayah, menerangkan bahwa para ilmuwan dari kalangan ahli kitab berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya Fir’aun yang didakwahi oleh Nabi Musa As itu. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dia bernama Qobul, dan sebagian lagi mengatakan namanya adalah Walid bin Mus’ab bin Riyan. Ia dan pengikutnya ( bangsa Mesir kuno ) berasal dari daerah Libya (bangsa Berber). Informasi mana yang benar diantara pendapat para ilmuwan itu tentu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3.Tapi informasi yang paling shahih dan wajib diimani oleh setiap umat Islam adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt dalam Al-Qur an suroh Yunus ayat 92, diinformasikan bahwa jasad Fir’aun diselamatkan oleh Allah SWT untuk menjadi bukti dan supaya menjadi ibroh dan peringatan bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Berdasarkan fakta, mummi mayat Fir’aun yang disimpan di museum Kairo itu adalah Fir’aun yang pernah tenggelam di laut Merah dan mayatnya ditemukan di tepi pantai secara utuh.
Nama kecilnya adalah Menephthan, dia adalah pengganti Ramses/Ra’amsis II yang merupakan Fir’aun ke 4 pada dinasti ke 19.
Terlepas dari itu, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Fir’aun yang telah digambarkan secara jelas dalam Al-Qur an, dan yang dapat kami rangkum
setidaknya ada 6 macam:
Pertama, Mesir adalah negeri yang sangat makmur, terutama karena negeri Mesir yang terletak di delta sungai Nil itu tanahnya sangat subur untuk pertanian. Apalagi mereka juga mempunyai banyak ilmuwan yang menjadi tenaga ahli dalam berbagai bidang. Mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi, dan peradaban yang paling maju pada zamannya. Bahkan untuk pengawetan mayat yang masih utuh sampai sekarang, para ahli di zaman modern ini saja masih meneliti bagaimana eknologi yang digunakan pada masa itu. Mereka juga mampu membangun bangunan yang besar dan tinggi menjulang dengan nilai seni dan arsitektur yang menakjubkan. Tidak tertutup kemungkinan, mereka juga telah mampu merekayasa teknologi pertanian sehingga hasilnya melimpah ruah.
Tapi sayang justru dengan teknologinya yang tinggi dan swasembada pangannya itulah mereka menjadi sangat sombong bahkan kufur dan syirik pada Allah Swt, sehingga Allah Swt menimpakan azab kepada mereka. Akan tapi ketika azab itu diturunkan Allah, ternyata mereka tidak mampu mengatasinya dengan bantuan ilmu dan teknologi yang disombongkannya itu (lihat QS. Al-A’raf: 131-133).
Karena kemakmuran inilah Fir’aun menganggap dirinya adalah pemilik mutlak negeri Mesir beserta seluruh penduduknya. Karena dengan teknologinya yang tinggi itu ia merasa mampu melakukan apa saja yang dikehendakinya. Akhirnya ia menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan Tuhan lagi, karena ia mempunyai tanah yang sangat subur, dan teknologi pertanian yang tinggi, sehingga ia yakin tidak akan mati kelaparan (lihat QS. Az-Zukhruf: 51 dan An-Naziat: 24). Memang, terkadang ada orang yang terlalu memuja dan menyanjung kemampuan otaknya yang luar biasa, tapi ia lupa sama sekali siapa yang telah menciptakan otaknya itu.
Kedua, Peradaban Mesir yang begitu luar biasa dengan kemakmuran yang hebat, serta GNP (Gross National Product, Produk Domestik Bruto) dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada masa itu, sebenarnya adalah hal yang semu. Karena kemakmuran itu hanya dinikmati Fir’aun dan kroninya saja, sedangkan Bani Israil yang tenaganya diperas habis-habisan oleh Fir’aun untuk membangun negeri Mesir, hanya dijadikan penonton saja, alias tidak pernah ikut menikmati kemakmuran itu walau sedikitpun.
Pada masa itulah Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Musa AS untuk memimpin Bani Israil keluar dari Mesir, karena pemimpin Mesir telah mengkhianati kontrak politik yang telah dituangkan dalam konstitusi negara Mesir, karena Bani Israil datang ke Mesir adalah sebagai tamu kehormatan yang diundang oleh Nabi Yusuf AS, sehingga hak dan kehormatan mereka harus dipenuhi, karena mereka adalah keturunan dari keluarga Nabi Yusuf A.S.
Ketiga, Fir’aun senantiasa mengelak dari ajakan dan nasihat Nabi Musa AS, malah sebaliknya ia menuduh Nabi Musa AS adalah pembohong, tukang sihir, berbuat subversive, dan lawan politik yang harus disingkirkan. Malah ia menantang Nabi Musa AS, padahal Nabi Musa AS diutus Allah bukan untuk memakzulkan, tapi mengingatkan Fir’aun, supaya berlaku adil, tidak zalim dan tidak kufur kepada Allah, sekali lagi bukan untuk emakzulkannya.
Dalam QS Al-Qasas ayat 4 dan Gofir (Al-Mukmin) ayat 36-37 dijelaskan bagaimana Fir’aun membantah Nabi Musa AS, dan mendustakan adanya Allah. Bahkan ia memerintahkan ilmuwannya yang kesohor sebagai penjilat ulung, bernama Haman, untuk membangun menara yang tinggi, untuk digunakan Fir’aun melihat fisik Tuhannya Musa yaitu Allah SWT dari menara tinggi buatan Haman itu.
Firaun sangat paranoid, ia tidak mau dikritik, bahkan segala macam kritikan diangggapnya berbahaya, ia takut kekuasaannya akan tumbang, sebagaimana dijelaskan dalam suroh Thaha ayat 57, dan Asy-Syu’ara ayat 35. Sebenarnya di dalam hatinya, ia percaya pada seruan keagamaan dari Nabi Musa AS itu, karena terbukti dalam QS. Yunus 90-91, Firaun mengakui Allah Swt adalah Tuhannya dan ia termasuk orang Islam, tapi terlambat, ia baru mengakui hal itu pada saat ia jatuh dari kekuasaannya, dan pada saat ia sedang sakarotul maut ditelan oleh ganasnya terpaan gelombang laut Merah. Na’uzu billah min zalik.
Keempat, Penegakan hukum pada zaman Firaun sangat tidak adil, hukum pada masa itu seperti pisau, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ketika Bani Isroil melakukan kesalahan meskipun kecil, langsung dihukum dengan hukuman yang berat, namun bila bangsa Qibti (Koptik) yang merupakan warga kelas satu berbuat kesalahan, apalagi kepada Bani Isroil, maka hukum sulit untuk ditegakkan.
Sebagai salah satu contoh kasus yang diceritakan Allah dalam Q.S Al-Qasas ayat 15,18,19,20. Ketika Nabi Musa AS yang kebetulan adalah seorang keturunan
Bani Israil, yang juga merupakan orang dalam istana karena beliau adalah anak angkat Fir’aun, tapi sudah muak melihat ketimpangan hukum yang berlaku, membela seorang pemuda Bani Isroil yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Qibti, dan tanpa sengaja atau secara kebetulan saja orang Qibti itu tewas. Walaupun beliau menyesali kejadian itu dan minta ma’af, namun beliau langsung dipersalahkan sebagai seorang kriminal dan untuk menyelamatkan diri dari kekejaman aparat hukum, beliau terpaksa menghindar dan hijrah kenegeri Madyan, lalu disana beliau diperlindungkan Allah kepada Nabi Syu’aib AS.
Beliau membela Bani Israil, karena selama ini bangsa Qibti akan selalu dibenarkan oleh hukum dan Bani Isroil akan selalu disalahkan. Fir’aun bisa sesuka hatinya menetapkan hukum kepada Bani Isroil, sehingga mereka selalu menjadi korban dari kezaliman Fir’aun, sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam QS. Yunus 85 : “ Bani Isroil berlindung kepada Allah dari kekejaman Fir’aun yang menjadikan mereka sebagai sasaran fitnah kezalimannya.”
Kelima, Fir’aun selalu melakukan kebohongan, dia mengaku bahwa dialah sang pencipta yang telah menciptakan Mesir, menurunkan kemakmuran dan kesejahteraan di Mesir. Hal ini diceritakan Allah dalam QS As-Zukhruf 51 : “Fir’aun menyatakan bahwa sungai mengalir di bawah kakinya “. Secara tidak langsung ia menyatakan bahwa dialah yang menciptakan bumi Mesir, lalu menjadikannya negeri yang makmur, Fir’aun mengaku pula sebagai tuhan yang paling tinggi (tuhan yang paling berkuasa), padahal ia hanyalah manusia biasa yang tidak akan mampu berbuat apa-apa di luar kemampuan manusia biasa.
Ia tidak akan kuasa menerbitkan matahari dari barat, atau mengembalikan waktu kemasa silam (dalam istilah biologinya irreversible, yaitu menjadikan orang tua yang telah renta kembali menjadi anak bayi, atau pohon menjadi biji), dan hal lain yang mustahil dilakukan oleh manusia.
Dia juga tidak akan hidup kekal dan abadi, bahkan ternyata dia mati dalam keadaan terhina, ditenggelamkan Allah di Laut Merah (lihat QS. Yunus :92). Jadi bagai mana mungkin dia akan sanggup menciptakan bumi Mesir dan menurunkan kemakmuran. Padahal semua rakyat Mesir tahu bahwa di balik kemakmuran itu Bani Israil lah yang habis tenaganya diperas oleh Fir’aun, jadi kemakmuran itu dicapai bukan dengan cara yang wajar, tapi memakai cara-cara yang licik dan kejam, dan pada akhirnya kemakmuran itupun hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, yaitu kroni dan para penjilat yang berada disekitar Fir’aun.
Tapi walaupun begitu, Fir’aun tetap merasa yang paling benar, karena dia merasa yang paling berkuasa, ia merasa apapun perkataannya adalah benar, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Al-Qur an Suroh Gofir (Al-Mukmin) ayat 29.
Keenam, Al-Qur an Suroh Al-A’raf ayat 27 menerangkan bahwa dalam mengambil keputusan, Fir’aun selalu dipengaruhi oleh orang disekelilingnya, bahkan merekalah yang berperan memberi masukan kepada Fir’aun untuk mencemooh Nabi Musa AS. Meskipun Fir’aun adalah orang yang zalim, tapi ia menjadi lebih zalim lagi setelah mendapat dukungan, bisikan dan legitimasi dari orang di sekelilingnya. Padahal karena dia adalah pimpinan yang mempunyai hak prerogatif untuk mengambil sesuatu keputusan, maka semestinya kezaliman itu tidak akan terjadi bila tidak ada hasrat yang sama dari dirinya.
Dalam catatan sejarah, beberapa pemimpin menjadi zalim, seperti kaisar Nero pada zaman Romawi kuno. Pada awalnya ia adalah orang yang humanis, dia pernah melarang olahraga Gladiator karena itu tidak manusiawi, namun karena ia dikelilingi oleh pembisik yang korup dan bejat, dia akhirnya menjadi pemimpin yang zalim. Ia membakar kota Roma agar dia bisa membangun istana yang baru, bahkan untuk melanggengkan kekuasaannya, dia membunuh ayah dan ibunya sendiri. Oleh karena itu, pemimpin yang baik harus mempunyai prinsip yang baik pula sehingga ia tidak akan goyah ketika ia dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya.
Mudah – mudahan 6 perkara ini tidak akan pernah terjadi di Negara kita, agar Negara kita menjadi baldah thoyyibah wa Robb ghofur, dan jangan malah menjadi negeri Fir’aun.
Aamiiin ya Robbal ‘alamin. Wallahu a’lam.
Muhammad Abduh Nasution
- Penulis adalah Sekretaris Majelis Dakwah PD Al Washliyah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.