Hakikat Iman

Pendahuluan

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah bersabda, “Iman ialah, hendaknya engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan percaya pada taqdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim melalui Umar r.a.). Dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, “Iman ialah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan sendi-sendinya.” (HR. Imam Thabrani).

Mungkinkah kita sudah sepakat bahwa hakekat iman merupakan perkara yang wajib kita imani, akan tetapi apa sebenarnya hakekat iman itu? Dan bagaimana suatu keimanan itu bisa terwujud? Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan masalah ini dan secara umum semuanya terbagi menjadi dua pernyataan.

Pendapat pertama , menyatakan bahwa iman adalah sebuah istilah yang berdiri di atas tiga unsur yaitu: pengikraran dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pengamalan dengan anggota badan. Pernyataan ini merupakan pendapat segolongan besar ahlussunnah. Adapun pernyataan-pernyataan yang memperkuat pendapat ini adalah:

Pernyataan_ Syariah: Madhab Ahlusunnah berpendapat bahwa iman itu adalah membenarkan dengan hati, mengamalkan dengan anggota badan, dan mengucapkan dengan lisan. _Pernyataan Imam Syafi’i : Ijma para sahabat dan tabi’in setelah mereka dan generasi penerus mereka berpendapat, bahwa iman itu terdiri dari ucapan, amalan, dan niat (kata hati), yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan”. Pernyataan Imam Ahmad : Iman adalah ucapan (lisan dan hati) yang diikuti oleh amal perbuatan. Pendapat ini sesuai dengan pandangan ahlussunnah.”

Pendapat kedua , menyatakan, bahwa iman adalah sebuah istilah yang terdiri di atas pernyataan ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan hati sedangkan amalan dengan anggota badan tidak termasuk ke dalamnya. Walaupun demikian, bukan berarti mereka mengesampingkan amalan oleh anggota badan. Mereka yang mendefinisikan iman hanya pada ikrar dan tashdiq (pembenaran) ini berpendapat bahwa mengamalkan setiap yang sah dari Rasulullah saw (yaitu yang berupa syariat dan penjelasan-penjelasannya) adalah hak dan wajib bagi setiap muslim.

Bertambah dan berkurangnya iman

Di atas telah dijelaskan bahwa ada perbedaan di antara ulama dalam menentukan kata (nama) iman, maka begitu juga dalam menentukan bobot keimanan. Ada yang mengatakan iman itu tetap dan ada yang berpendapat iman itu bisa bertambah dan bisa juga berkurang. Perlu diketahui bahwa istilah bertambah dan berkurangnya iman itu hanya dikenal oleh mereka yang memasukan amalan ke dalam bagian dari iman, sedangkan yang memandang iman hanya terdiri dari ikrar dan tashdiq tidak mengenalnya.

Kita telah mengetahui bahwa perbedaan di dalam menentukan batasan iman itu sebenarnya hanya terletak pada perbedaan titik pandangan saja, sehingga akhirnya membuahkan perbedaan dalam menentukan kewajiban. Kelompok yang tidak mengenal adanya pertambahan dan pengurangan iman menegaskan, bahwa manusia itu saling memacu menuju keutamaan melalui ketaqwaan, amalan shaleh, perolehan-perolehan pahala, dan kedudukan di sisi Allah Swt.

Dalam hal in Imam Thahawi berkata, “Iman itu satu, para pemiliknya pada dasarnya sama, dan mereka saling berlomba untuk memperoleh keutamaan di antara sesama mereka dengan: penuh rasa takut kepada-Nya, mengharap perjumpaan, menyembunyikan hawa nafsu, serta mempertinggi kesadaran dan kekonsekuenan.”

Perihal bertambahnya dan berkurangnya iman seseorang itu, banyak nash-nash yang menunjukkannya, baik yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah nabawiyah. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfaal [8]: 2).

Firman Allah Swt telah berfirman, “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. (QS. Ali ‘Imran, 3:173).

Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah maha mengetahui lagi maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath [48]:4).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Iman itu mempunyai lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling tinggi dan paling utama adalah mengucapkan Laa illaha Illallah, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan sumber bahaya yang ada di jalan; sedangkan malu itu merupakan salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain disebutkan, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang mempunyai akhlak paling baik di antara sesamanya”. (HR. Turmudzi dan Hakim).
Dan dalam hadis yang lain disebutkan, “Barang siapa yang melihat kemunkaran, hendaklah merubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah merubah dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga hendaklah merubah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim).

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. menerangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak seorangpun di antara para nabi yang telah diutus Allah sebelumku, pasti padanya terdapat golongan hawariyyun (sahabat-sahabat yang selalu patuh dan setia, waspada, serta berjuang untuk Allah tanpa pamrih) dan para sahabat yang terbina dengan pimpinannya serta patuh pada perintahnya. Setelah beberapa masa berlalu, mereka digantikan oleh angkatan baru yang pandai berkata tetapi tidak pandai berbuat, bahkan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka siapa saja yang berjuang menentang mereka dengan tangannya, dialah orang Mukmin. Dan siapa yang berjuang menentang mereka dengan lisannya, dia juga Mukmin; dan siapa yang menentang mereka dengan hatinya, dia itu juga Mukmin. Sesudah itu tidak ada lagi iman walupun hanya seberat biji-bijian.” (HR. Muslim).

Dan dari ucapan-ucapan para sahabat yang menunjuk kepadanya, di antaranya adalah seperti yang dinukilkan dari Abu Darda r.a. bahwa ia berkata, “Termasuk faqihnya seorang hamba adalah memperbarui (janji) keimanannya dan apa-apa yang mengurangi kadarnya. Dan juga termasuk faqihnya seorang hamba adalah mengetahui apakah imannya sedang bertambah atau berkurang.” Maka Umar bin Khathab berkata kepada para sahabat yang lain, “Hendaklah kita senantiasa berusaha menambah iman kita, dan untuk itu maka ingatlah selalu Allah ‘Azza wa Jalla.”.
Wallahu a’lam bishawwab.

Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag

  • Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
  • Wakil Ketua I Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al-Washliyah.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille