Oleh: H. J. Faisal
Mukadimah
Suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, tahu atau tidak ingin tahu, dan percaya maupun ingkar, sesungguhnya sebagai kita sebagai umat manusia secara umum, apalagi secara khusus sebagai umat nabi Muhammad Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam (baca:muslim), sangatlah ‘berhutang budi’ kepada baginda Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam.
Mengapa demikian? Ya, karena dengan lantaran diutusnya Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam ke dunia sebagai Rasul Allah Ta’alla yang terakhir, maka berarti turun pula rahmat dan kasih sayang Allah Ta’alla kepada hamba dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Dengan turunnya rahmat dan kasih sayang Allah Ta’alla tersebut, seiring diutusnya Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam sebagai utusan-Nya yang terakhir, artinya seluruh manusia yang hidup di akhir zaman saat ini, dimana sudah tidak ada lagi nabi atau utusan Allah Ta’alla yang turun ke muka bumi ini, menjadi selamat dari segala macam siksaan dan azab dari Allah Ta’alla.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’alla di dalam Al Qur’an Surat Al Anbiya ayat 107, yang artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Menurut tafsir Min Fathil Qadir, yang dituliskan oleh Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, makna dari kata ‘tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad)’ adalah bahwa Allah Ta’alla memberikan pengetahuan tentang syariat dan hukum-hukum Allah Ta’alla kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam sebagai landasan hukum dalam menjalankan syariat-syariat Islam.
Sedangkan makna kata ‘melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam’ adalah bagi seluruh manusia. Adapun bentuk rahmat bagi orang-orang kafir, atau mereka yang mengingkari Islam (baca: Allah Ta’alla dan Rasul-Nya), adalah mereka menjadi aman dari bencana, kutukan, dan kehancuran dengan adanya Islam serta syariat-syariat dan hukum-hukum Islam tersebut. (Referensi : tafsirweb.com/5619-surat-al-anbiya-ayat-107.html).
‘Hutang Budi’ Umat Manusia Kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam
Jika kepada umat-umat nabi dan Rasul terdahulu, seperti umat nabi Nuh (kaum Rasib), umat nabi Hud (kaum ‘Ad Yaman kuno), nabi Saleh (kaum Tsamud), nabi Luth (kaum Sodom), nabi Syua’ib (kaum Madyan atau Aikah), Allah Ta’alla secara langsung menurunkan adzab-Nya, maka tidaklah demikian kepada umat manusia yang hidup setelah keberadaan Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam di dunia ini.
Kemudian, pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah perilaku manusia-manusia sekarang yang melampaui batas, yang notabene pernah dilakukan oleh manusia-manusia dari kaum-kaum terdahulu tersebut, tidak dilakukan oleh umat manusia hari ini?
Bukankah di antara umat Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam ada yang berperilaku melampaui batas seperti perilaku umat-umat terdahulu? Ada yang membangkang, mengaku sebagai nabi, melakukan homoseks dan lesbi, berbuat zalim, membunuh yang diharamkan, serta dosa dan kekufuran lainnya?
Mengapa Allah Ta’alla tidak langsung mengazab umat Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam yang berperilaku melampaui batas seperti perilaku umat-umat terdahulu, yang perilaku biadab mereka tersebut, akhirnya mereka langsung diazab oleh Allah Ta’alla?
Semua pertanyaan tersebut telah ada jawabannya di dalam Al Qur’an, yaitu surat Al Anfal ayat 33. Allah Ta’alla berfirman yang artinya “Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.”
Dari keterangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa ada dua hal yang mencegah hukuman atau adzab kepada umat manusia saat ini.
Pertama, karena adanya eksistensi Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam di tengah seluruh umat manusia tanpa terkecuali, muslim maupun non muslim. Jelas hal ini membuat hutang budi seluruh umat manusia saat ini menjadi sangat besar kepada baginda nabi Muhammad Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam. Karena dengan diutusnya beliau ke dunia ini, ternyata telah menjadi peredam kemarahan Allah Ta’alla atas segala macam dosa dan perilaku umat manusia yang telah berbuat segala macam dosa dan, kerusakan, dan kemungkaran kepada Allah Ta’alla.
Kedua, adalah karena masih banyaknya umat Islam yang selalu memohon ampunan kepada Allah Ta’alla, serta bersholawat kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam. Bahkan dengan bersholawat kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, kita tidak hanya mendapatkan kemudahan hidup di dunia ini, tetapi juga akan mendapatkan kemudahan hidup di akhirat, dengan pertolongan syafa’at beliau, atas izin dari Allah Ta’alla.
Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, yang artinya:
“(yang mendapatkan syafa’at itu adalah) mereka yang tidak percaya kepada jampi-jampi (doa atau ucapan yang mengandung syirik), mereka yang tidak melakukan pengobatan yang mematikan syaraf, mereka yang tidak meramal nasib dengan burung (atau yang sejenis). Dan mereka yang selalu bertawakkal kepada Tuhan-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam Sebagai Standar Baku Kehidupan Umat Manusia
Sebagai nabi utusan yang terakhir, Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam sejatinya telah menjadi sebuah standar yang baku bagi seluruh umat manusia untuk menjadi tauladan seluruh umat manusia tentang bagaimana seharusnya umat manusia berakhlak, beradab, berpengetahuan, bersosialisasi, berpolitik, berekonomi, dan berhukum sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alla.
Artinya, jika kita sebagai umat manusia, khususnya sebagai umat Islam, lebih tepatnya sebagai umat yang mengaku sebagai umatnya Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, sudah seharusnya mengikuti segala macam bentuk sunnah-sunnah dan syariat-syariat yang telah dicontohkan oleh beliau. Jika kita melakukan segala macam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, maka artinya kita telah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar.
Dan jika hal-hal yang kita lakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan standar bakunya (baca; apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam), maka tinggal ditunggu saja saat-saat kerusakannya atau kehancurannya. Kerusakan tersebut bisa dalam bentuk kerusakan akhlak, kerusakan pemikiran, kerusakan iman, kerusakan alam, kerusakan ekonomi, kerusakan politik, dan yang lebih berbahaya lagi adalah kerusakan akidah.
Jadi, untuk mereka yang mengerti dan yang ingin lebih mengerti lagi tentang apa tujuan Allah Ta’alla menghadirkan Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam ke dunia ini, maka hendaknya lebih mendekatkan hati kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam dengan cara bersholawat kepada beliau dan mengenal beliau lebih dalam lagi, dengan terus mempelajari Sirah Nabawiah Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam.
Meskipun hal tersebut belum tentu mampu untuk membayar ‘hutang budi’ kita kepada beliau, namun hal tersebut merupakan bukti syukur kita kepada Allah Ta’alla atas diturunkannya Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam ke tengah-tengah umat manusia di dunia, sebagai rahmatan lil alamiin.
Untuk kita umat muslim yang sampai sekarang masih belum mau atau tidak mau melafadzkan sholawat kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, seharusnya kita merasa malu, dan layak disebut sebagai manusia yang paling pelit dan paling sombong, bahkan sholat yang kita lakukan saja menjadi batal jika kita tidak melafadzkan sholawat kepada beliau. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya Allah Ta’alla dan seluruh malaikat-Nya saja bersholawat kepada Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam.
“Sesungguhnya Allah Ta’alla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al Ahzab, ayat 56).
Jadi, masih merasa lebih hebat dan lebih mulia daripada Allah Ta’alla, Rasul-Nya, dan para Malaikat-Nya?
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 26 Mei 2023/ 6 Dzulqa’dah 1444 H
H. J. Faisal, Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah