SABTU, 12 November 2022, saya mendapatkan amanah untuk kesekian kalinya dari Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah (LKSA) Pengurus Besar (PB) Al Jam’iyatul Washliyah untuk mengulas gerakan dan pemikiran politik H. Adnan Lubis (1910-1966), seorang ulama terkemuka Al Washliyah yang juga produktif menulis buku dan artikel. Artikel ini merupakan ulasan tertulis dari materi yang sudah saya sampaikan saat menjadi pemateri dalam acara Awsat Forum, sebuah program unggulan LKSA PB Al Washliyah, yang diadakan pada tanggal 12 November 2022 lalu.
Dari kajian-kajian selama ini, terbukti bahwa ulama Al Washliyah ternyata bukanlah tipikal figur yang anti politik. Mereka menyadari tanggung jawab mereka sebagai agen perubahan sosial di Indonesia. Itulah mengapa, terutama selama era kolonial sampai Orde Lama, mereka melibatkan diri dalam politik kebangsaan yang terbukti dari keterlibatan aktif mereka dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan juga dalam politik praktis yang terbukti dari partisipasi aktif mereka dalam pengembangan dan pemenangan Partai Masjumi serta dalam penyelenggaraan negara dengan menjadi anggota legislatif, apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat lokal maupun nasional, dan juga sebagai anggota Konstituante. Banyak aspek yang menarik dikaji terkait tema Al Washliyah, ulama dan politik. Sayangnya, kajian tentang tema itu sejauh ini masih relatif jarang dikaji.
Dari aspek figur, Al Washliyah memiliki sejumlah tokoh yang terlibat aktif dalam politik praktis di tingkat nasional. Mereka adalah ulama dan politisi di pentas nasional. Di antara mereka yang jarang dikaji adalah al-Fadhil H. Adnan Lubis. Ia memang bukanlah pendiri Al Washliyah, dan ia harus dibedakan dari sosok Adnan Nur Lubis yang merupakan salah satu pendiri Al Washliyah dan politisi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Tulisan ini secara khusus akan menjawab secara ringkas empat pertanyaan berikut: siapakah H. Adnan Lubis? Apakah H. Adnan Lubis berpolitik? Apakah H. Adnan Lubis memiliki kompetensi dalam bidang teori politik Islam? Bagaimana aliran pemikiran politiknya? Kajian ini didasarkan pada sumber-sumber tertulis baik buku maupun artikel yang ditulis oleh al-Fadhil H. Adnan Lubis, dan juga buku-buku yang terkait dengan tokoh ini terutama buku yang ditulis/diedit oleh Nukman Sulaiman (1956), MUI Sumatera Utara (1983), dan M. Hasballah Thaib (1997 & 2012). Sumber-sumber ini berperan penting dalam mengkonstruksi biografinya. Sedangkan pemikiran tokoh ini diperoleh dari buku maupun artikel karya al-Fadhil H. Adnan Lubis. Artikel-artikel berserinya terutama terkait Islam dan juga politik terdapat dalam majalah Medan Islam, Dewan Islam dan Al-Islam.
Siapakah al-Fadhil H. Adnan Lubis? Ia lahir di Medan pada tanggal 10 Mei 1910, dan wafat di Medan pada tanggal 21 Mei 1962 dalam usia 56 tahun. Ia berasal dari etnis Mandailing. Ia dimakamkan di Tanah Wakaf Muslimin di Sei Deli, Medan. Sebelum berangkat ke Makkah, ia mendapatkan pendidikan dasar di Sekolah Inggris, Anthony School (1917-1925), untuk pendidikan umum, dan belajar dasar-dasar agama di Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) di Medan (1917-1925). Setelah belajar di MIT, ia menjadi mahir dalam bahasa Arab, dan menguasai dasar-dasar ilmu agama yang kemudian memungkinkannya untuk melanjutkan pendidikan agamanya ke Makkah, Saudi Arabia.
Adnan Lubis kemudian melanjutkan pelajaran agamanya ke Madrasah Shaulatiyah di Makkah (1926-1932). Di antara gurunya yang terkenal adalah Syekh Hasan Masysyath. Ia berangkat ke Makkah pada usia 16 tahun. Dari sini diketahui bahwa ketika Al Washliyah diresmikan, ia masih di Makkah. Karena itu, ia tidak ikut mendirikan dan meresmikan Al Washliyah. Sebagai alumni Madrasah Shaulatiyah, tak bisa dipungkiri Adnan Lubis memiliki kualifikasi yang baik dalam bidang bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman.
Seterusnya, jika Ismail Banda dan Baharuddin Ali, dua tokoh lain Al Washliyah, memilih untuk kuliah di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, maka Adnan Lubis lebih memilih untuk melanjutkan kuliah di Dar al-‘Ulum Nadwatul ‘Ulama di Lucknow, India, (1934-1938) sampai ia meraih gelar al-Fadhil, gelar yang setara dengan gelar Magister. Ia berangkat ke India pada usia 24 tahun. Sama seperti Mesir, India pada waktu itu juga termasuk bagian dari dunia Islam yang sedang menikmati alam pembaharuan dari segala lini kehidupan. Ada banyak tokoh pembaharu saat itu yang muncul misalnya Sir Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan, Abu al-A‘la al-Maududi dan Muhammad Syibli Nu‘mani (guru dari Adnan Lubis). Di kampus ini, kualifikasi Adnan Lubis dalam bidang ilmu-ilmu keislaman semakin matang. Ia juga menyaksikan dan merasakan secara langsung, untuk kemudian terpengaruh, gerakan pembaharuan Islam di India.
Setelah sekian lama belajar di Saudi Arabia dan India, dua dari beberapa pusat intelektual dunia Islam pada awal abad ke-20, al-Fadhil Adnan Lubis kembali ke Medan, Indonesia, dan kemudian mendedikasikan ilmunya untuk kemajuan umat dan bangsa Indonesia. Ia kemudian berafiliasi dengan Al Jam’iyatul Washliyah, organisasi yang didirikan oleh sejumlah pelajar MIT dan Madrasah Al-Hasaniyah yang tak lain adalah teman-temannya, atau setidaknya satu etnis dengannya. Ia kemudian menjadi anggota Pengurus Besar sejak Kongres Al Washliyah ke-3 tahun 1941 di Medan. Di akhir hidupnya, ia menjadi anggota Dewan Penasehat dan Pertimbangan PB Al Washliyah yang diketuai oleh Ustaz M. Arsjad Th. Lubis. Ia memang tidak pernah menjadi pemimpin sentral Al Washliyah, tetapi kedalaman ilmunya membuat ia begitu berpengaruh dalam organisasi Al Washliyah.
Selama hidup, al-Fadhil Adnan Lubis bekerja sebagai guru, dosen, pejabat agama bahkan kemudian menjadi politisi Partai Masjumi. Ia pernah menjadi Pembantu majalah Medan Islam dan Dewan Islam dan juga Pembantu Redaksi majalah Al-Islam. Ia juga pernah menjadi Sekretaris Jawatan Agama Sumatera Timur (1946), Guru SMI Tanjungbalai (1947) dan Guru SMI Labuhanbatu (1948-1949), Kepala Djawatan Agama Labuhanbatu dan Kepala Urusan Agama Brigade B. Labuhanbatu (1948-1949), Guru Madrasah Tsanawiyah Al Washliyah dan Madrasah Al-Qismul ‘Aly Al Washliyah di Medan (1950-1956), Dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Agama Universitas Islam Sumatera Utara (1952) dan juga Dekan Fakultas Syariah UISU (1954-1962), kemudian sebagai dosen di Universitas Al Washliyah Medan. Ia menjadi Dekan Fakultas Syariah UNIVA pada tanggal 19 Mei 1958. Pada pemilihan umum tahun 1955, ia terpilih menjadi anggota Konstituante (periode 9 September 1956 sampai 5 Juli 1959).
Al-Fadhil Adnan Lubis juga produktif menulis dan menerbitkan buku dan artikel. Di antara buku-buku terpentingnya adalah Tafsir Djuzu’ Amma (Medan: Islamyah, 1949), Falsafah Timur (Medan: Saiful, 1950), Tafsir Surat Jaasin Ajat 1-83 (Medan: Islamyah, 1954), Kissah Isra’ dan Mi’radj (Medan: Islamyah, 1958), dan Tashawuf (Medan: UNIVA, t.t.). Buku lain karangannya adalah Kissah Perdjalanan Imam Sjafi‘i, Siratun Nabi, Sedjarah al-Qur’an, dan Gubahan Perdjuangan Rasul Saw. Beberapa artikelnya dalam berbagai bidang (sejarah, tafsir, hadis dan fikih) ditulis dan diterbitkan di majalah Medan Islam, Dewan Islam dan Al-Islam.
Apakah H. Adnan Lubis berpolitik? Secara teoretis, paling tidak, ada dua ranah politik, yakni low politics, yakni politik praktis (digerakkan oleh partai politik untuk merebut kekuasaan); dan high politics, yakni politik kebangsaan (terlihat dari sikap proaktif dalam upaya merebut dan juga mempertahankan kemerdekaan Indonesia, memberikan penyadaran tentang hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela rakyat dari sikap dan tindakan sewenang-wenang dari pihak manapun juga). Sumber-sumber tertulis menunjukkan bahwa al-Fadhil Adnan Lubis terlibat dalam dua ranah politik ini.
Al-Fadhil Adnan Lubis juga terlibat dalam politik kebangsaan Adnan Lubis. Berikut ini adalah enam di antara banyak bukti keterlibatannya dalam politik kebangsaan. Pertama, ia aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadi guru dan dosen (hadis, tafsir dan fikih) sebelum sampai sesudah era kemerdekaan. Kedua, ia pernah menjadi anggota Perlengkapan Badan Pertahanan Al Washliyah Markas Besar Tebing Tinggi. Ia dikirim sebagai laskar Al Washliyah untuk melawan agresi militer Belanda di front Medan Area. Ketiga, ia menghadiri dan menjadi peserta aktif dalam Musyawarah Alim Ulama Sumatera Timur, 21 Mei 1947 dan terlibat aktif dalam merumuskan fatwa tentang hukum melawan agresi militer Belanda. Keempat, ia menghadiri Muktamar Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada tanggal 11-15 April 1953, dan menjadi pemateri tentang dustur Islam.
Ia menjadi Panitia Konstitusi Negara di Indonesia yang dipimpin Zainal Abidin Ahmad dimana ia menjadi Panitia Asas-asas Utama (dibentuk pada tanggal 25 Juli 1954) bersama Mohd. Natsir, Sjafruddin Prawira Negara, M. Rasjidi, Abdullah Aidid, Imran Rasjidi dan M. Hasbie Asshiddieqy. Ia juga menjadi Sub Panitia Asas Negara (dibentuk pada tanggal 13 Juli 1954) yang bertugas merumuskan falsafah negara, dasar negara dan hak & kewajiban negara terhadap ajaran Islam terkait perintah dan larangan. Kelima, ia menghadiri Muktamar Alim Ulama se-Indonesia di Palembang tahun 1957 dan menjadi pemateri tentang dustur negara, bahaya ateisme dan fungsi ulama selama era Orde Lama. Keenam, ia menginisiasi dan menandatangani Piagam Kerjasama Ulama Militer Daerah Sumatera yang berisi Irian Barat mutlak milik bangsa Indonesia yang wajib dibebaskan.
Selain itu, al-Fadhil Adnan Lubis terlihat aktif dalam politik praktis. Ia bukan tipikal ulama yang abai terhadap perhelatan politik di Indonesia. Itulah mengapa ia kemudian menjadi anggota Partai Masjumi. Ia bahkan menjadi anggota Madjlis Sjuro DPP Masjumi sejak tahun 1955. Tokoh Al Washliyah lainnya di lembaga ini adalah Abdurrahman Sjihab dan M. Arsjad Th. Lubis. Pada pemilihan anggota-anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante untuk periode 9 September 1956 sampai 5 Juli 1959 dari Fraksi Partai Masjumi bersama tokoh Al Washliyah lainnya yakni M. Arsjad Th. Lubis, Bahrum Djamil, dan Muhammad Ali Hanafiah Lubis (Mahals).
Apakah H. Adnan Lubis memiliki kompetensi dalam bidang teori politik Islam? Sebagai pelajar agama hingga akhirnya menjadi ulama, ia memiliki kualifikasi dalam bidang ilmu-ilmu keislaman termasuk dalam bidang politik Islam (fiqh al-siyasah). Ia belajar fiqh siyasah terutama selama di Makkah dan Lucknow. Setelah kembali ke Indonesia, ia mengajar pelajaran tafsir, hadis dan fikih di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan. Posisi sebagai Dekan Fakultas Syariah di UISU dan UNIVA menempatkannya sebagai salah seorang pakar hukum Islam termasuk dalam bidang fikih siyasah dari Sumatera Utara. Sebagai ahli tafsir, hadis dan fikih, ia menulis dan menerbitkan sejumlah buku keislaman yang kemudian menjadi ideologi perjuangan bagi murid-muridnya. Sebagai ulama yang mumpuni terutama dalam bidang tafsir dan hukum Islam, ia kemudian diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato tentang dasar negara di sidang Konstituante dimana ia mendukung Islam sebagai dasar negara. Pidato itu telah diterbitkan dalam sebuah buku yang memuat kumpulan pidato para anggota Konstituante tentang dasar negara.
Sebagai ulama yang mengerti politik pula, ia menulis artikel berseri tentang tata negara berjudul “Hukum Tata Negara Islam (berseri)” yang terbit di majalah Al-Islam. Dengan demikian, al-Fadhil Adnan Lubis bukan sembarang ulama. Dalam berpolitik, ia memperjuangkan ideologi politik yang dipelajari dan diyakini selama belajar agama kepada ulama-ulama di Makkah dan Lucknow, dan menuliskan pandangan politiknya untuk menjadi pedoman bagi kaum Muslim yang simpatik kepadanya. Ia berpolitik untuk agamanya, untuk umat Islam, bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Meskipun menjabat sebagai anggota Konstituante, ia hidup sederhana layaknya seorang sufi.
Bagaimana aliran pemikiran politiknya? Secara teoretis, ada tiga aliran pemikiran terkait hubungan Islam dan negara. Pertama, aliran integralisme: Islam merupakan agama yang lengkap dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sebab itu, aliran ini menyatakan bahwa urusan negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Kedua, aliran sekularisme yang memisahkan persoalan negara dari agama. Aliran ini menolak untuk menjadikan agama sebagai dasar negara, dan meyakini bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang negara dan sistem pemerintahan. Ketiga, aliran simbiotik: Islam hanya memberikan seperangkat aturan dan tata nilai universal untuk kehidupan politik kenegaraan umat Islam.
Berdasar teori di atas dan karya-karyanya dalam bidang politik, dapat disimpulkan bahwa aliran pemikiran politik al-Fadhil Adnan Lubis adalah integralisme. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia mendukung Islam sebagai dasar negara dan menolak Pancasila sebagai dasar negara mengingat kesempurnaan ajaran Islam ketimbang Pancasila. Dalam artikelnya yang berjudul “Hukum Tata Negara Islam,” ia menguraikan masalah negara Islam menurut tinjauan hukum Alquran dan hadis serta menurut sejarah Islam. Selama era Orde Lama, sebagai politisi Partai Masjumi, ia secara aktif memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dimana Konstituante dibubarkan dan ditetapkan bahwa UUD 1945 kembali berlaku; dan kemudian Partai Masjumi dibubarkan lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 200 Tahun 1960, al-Fadhil Adnan Lubis kembali berjuang untuk umat dan bangsa lewat Al Jam’iyatul Washliyah. Ia kembali berkhidmat dalam dunia pendidikan, dakwah, dan intelektual. Ia tidak lagi melibatkan diri dengan dunia politik praktis sampai ia wafat di Medan pada tanggal 21 Mei 1962, enam tahun sebelum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) diinisiasi oleh tokoh-tokoh Partai Masjumi di era Orde Baru.
Dr. Ja’far, M.A.
(Ketua LKSA PB Al Washliyah dan Dosen Pascasarjana IAIN Lhokseumawe, Aceh)