BerandaOpiniUlama Penjilat Raja Karena Harta dan Kedudukan

Ulama Penjilat Raja Karena Harta dan Kedudukan

DI DUNIA ini memang tempatnya orang berbuat baik dan juga buruk. Ada perbuatan terpuji, tetapi ada perbuatan yang tercela. Ada perbuatan mulia dan juga ada yang hina, ada perbuatan baik dan ada perbuatan jelek. Ada akhlak mahmudah atau terpuji dan ada akhlak mazmumah atau tercela.

Demikian pula, para ulama ada yang benar-benar menjadi pewaris para Nabi, tetapi ada juga Ulama yang mempunyai sikap, tingkah laku dan perbuatan yang hina. Bahkan ada yang menghinakan agama dan keyakinan hidup Islam. Sebagai contohnya yakni Ulama yang menjilat Raja karena mengharapkan harta benda, dan Ulama yang bersekutu dengan Penguasa di dalam perbuatan yang hina dan kezhaliman, di dalam urusan ma’shiyat kepada Allah.

Ulama yang bertype ini berusaha keras bagaimana agar dirinya bisa dekat dengan Raja atau Sulthan atau Penguasa, biar nanti dirinya mendapatkan jabatan atau kedudukan yang basah atau empuk, sehingga dirinya mendapat keuntungan harta kekayaan dunia. Dirinya sering kasak kusuk memfitnah sana sini, melaporkan sana sini, memberikan informasi kepada atasan tentang segala sesuatu yang kira-kira dapat menguntungkan dirinya. Baik itu hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya dengan atasan atau hal-hal yang dapat menghancurkan nama baik orang lain atau dapat menjatuhkan orang lain. Kalau perlu dirinya berani mengorbankan harta bendanya demi tujuan yang jahat itu, atau bahkan mengorbankan agama dan keyakinan Islam sekalipun, demi tercapai tujuannya.

Dalam hal ini Ulama mempunyai beberapa sikap, diantaranya, 1) Ada ulama yang menolak sesuatu jabatan dalam Pemerintahan, karena alasan tertentu. 2) Ada ulama yang memang bersikap mengambil muka terhadap penguasa, atau menjilat penguasa. 3) dan ada pula Ulama yang menerima jabatan yang ditawarkan oleh Pemerintah, tetapi dengan syarat tertentu.

Di antara ulama-ulama yang menolak jabatan yang ditawarkan Pemerintah adalah Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), Imam Maliki (93—179 H/712-798 M), Imam Syafi’i (150-204 H/767-820 M), dan Imam Hambal (164-241 H/780-855 M).

Sikap mereka yang sangat berhati-hati dan takut kena getahnya, mereka tidak mau memegang jabatan sesuatu pun dari Pemerintah. Ulama yang bersikap demikian ini berpendirian bahwa lebih baik tidak mau menerima jabatan apapun, baik sebagai Qadly atau Hakim Pemerintah, atau sebagai Mufthy Besar, atau sebagai Menteri apapun dan jabatan apa saja dari Pemerintah, daripada menjabat sesuatu pangkat tetapi tidak bisa berbuat adil.

Yang menjadi alasan mengapa mereka tidak mau menerima jabatan yang ditawarkan pemerintah, yaitu: khawatir kalau-kalau dirinya itu tergoda oleh gemerlapannya harta dunia, dan tidak dapat mengalahkan godaan syetan dalam hal tersebut. Kekhawatiran ini dijadikan alasan adalah karena mereka atau para ulama telah maklum berdasarkan ceritera atau pengalaman atau bukti nyata, bahwa orang yang menjabat sesuatu jabatan dalam Pemerintahan itu banyak mempunyai kesempatan dan selalu ada peluang untuk berbuat tidak adil atau mendapatkan harta dengan jalan tidak halal atau dengan jalan syubhat atau dengan jalan yang samar-samar atau dengan jalan menggunakan berbagai dalih yang hakikatnya tidak diridhai Allah tetapi karena banyak ‘illat (alasan yang diputar-putar), maka jadilah orang tersebut melanggar agama.

Adapun Ulama yang bertype penjilat adalah mereka menghubungi Umaro dengan niat karena harta. Mendekati Umaro karena menginginkan pangkat dan jabatan dengan niat semata-mata pangkat dan jabatan untuk kemegahan dunia. Mereka menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai harta.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Sejelek-jelek Ulama itu ialah mereka yang datang kepada para penjabat Pemerintahan.” (HR. Ibnu Majah, dari Abu Hurairah r.a.). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Akan datang di kemudian hari nanti, setelah saya, beberapa Pemerintahan (Umaro) yang berdusta dan berbuat aniaya. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong atau membantu tindakan mereka yang aniaya itu, ia bukanlah termasuk dari pada umatku, dan bukanlah aku dari padanya, dan ia tidak akan dapat datang di atas telaga yang ada di Surga.” (HR. Nasa’i dan Tirmudzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah). Juga dalam hadits yang lain dinyatakan, “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR. Athabrani.).l

Yang dimaksud dengan hadits pertama di atas itu, artinya tidak sembarang Ulama yang datang kepada penguasa atau Raja atau Sultan. Ulama yang mendapat prediket jelek, atau Ulama jahat adalah yang datang atau mendekat kepada penguasa dengan niat karena demi keuntungan harta benda atau keuntungan pribadi. Terlebih pula dosanya berlebihan bila Ulama tersebut rela mengorbankan agama. Dan juga Ulama yang jelek adalah Ulama yang datang kepada penguasa karena akan berkompromi dalam tindakan yang aniaya, perbuatan dosa dan merugikan agama Islam.

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Kebinasaan rakyat itu adalah akibat dari kerusakan para Raja (penguasa), dan kerusakan para penguasa itu dari akibat kerusakan para Ulama yang jahat.” Sementara Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa “kondisi pemerintahan otoriter pada bangsa-bangsa Muslim sebagai akibat kebodohan faqih dan penguasa. Dia menganggap faqih bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehingga penguasa tak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Di satu pihak, penguasa bukan saja tak tahu bagaimana memerintah dan menegakkan keadilan, mereka juga merusak faqih, dan memanfaatkan faqih untuk kepentingan sendiri, dengan cara mendesak faqih mengeluarkan fatwa yang mempertahankan kebijakan pemerintah.”

Ulama yang mendekatkan diri kepada penguasa yang berbuat aniaya, untuk mencari kedudukan dan pangkat di sisi penguasa, tentulah Ulama tersebut harus mau diajak berkompromi atas sesuatu yang tidak benar menurut Islam. Demi mencari bintang dan kehormatan dari penguasa, terkadang Ulama berani memutar balikkan hukum Allah agar bisa sesuai dengan keinginan manusia.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Ulama adalah orang-orang yang dipercaya oleh para Rasul selama mereka tidak bersatu dengan sultan dan memilih perkara duniawi. Apabila mereka bersatu dengan sultan dan memilih perkara duniawi, maka mereka benar-benar telah berkhianat terhadap para Rasul, karena itu hati-hatilah kalian terhadap mereka.” (HR. al’Uqaili melalui Anas r.a.).

Makna yang dimaksud hadits ini adalah bahwa ulama itu adalah orang-orang kepercayaan para Rasul. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Mereka berhak menyandang prediket ini selama mereka tidak bergaul dengan sultan yang zalim, yakni membantu kekuasaan yang zalim dan tidak menegakkan amar ma’ruf serta nahi munkar terhadapnya. Dan juga mereka mulai menyibukkan dirinya dengan urusan keduniawian sehingga lupa terhadap kewajibannya sebagai ulama. Apabila mereka mulai melakukan kedua hal tersebut, maka mereka telah berkhianat terhadap rasul-rasul, dan mereka tidak berhak lagi menyandang prediket ini.

Perlu dijelaskan hadits ini, bahwa tidak berarti ulama dilarang mutlak mencampuri kekuasaan, karena bila dengan niat serta bisa mempraktekkan amar makruf nahi munkar, atau untuk memperbaiki keadaan yang salah, atau akan membongkar kejahatan yang membahayakan agama dan keselamatan umum, maka hal ini tidak ada salahnya. Namun yang dilarang, sesuai dengan hadits-hadits tentang “mencampuri kekuasaan untuk berkompromi atau membenarkan kezaliman sultan”. Inilah yang tidak diperbolehkan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Para ulama fiqih adalah pelaksana amanat para rasul selama mereka tidak memasuki (bidang) dunia. Mendengar sabda tersebut, para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa arti memasuki (bidang) dunia?” Beliau menjawab, “Mengekor kepada penguasa dan kalau mereka seperti itu maka hati-hatilah terhadap mereka atas keselamatan agamamu.” (HR. Athabrani). Dalam hadits yang senada disebutkan, “Para ahli hukum agama adalah orang-orang kepercayaan para Rasul selagi mereka tidak memilih perkara duniawi dan mengikuti sultan, apabila mereka mengerjakan demikian, maka waspadalah kalian terhadap mereka.” (HR. Ali k.w.). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Apabila engkau melihat seorang (Ulama) mencampuri kekuasaan (Pemerintahan) dengan pencampuran yang banyak, maka ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya ia adalah seorang pencuri.” (HR. ad-Dailami melalui Abu Hurairah r.a.).

Hadits pertama di atas menjelaskan bahwa Ulama itu penerima amanat dari para Rasul selama mereka tidak mencampuri dan mengikuti para Sultan. Namun yang dimaksudkan mencampuri kekuasaan dan mengikuti Sultan di atas adalah mengikuti Sultan yang zalim dan kekuasaan yang zalim pula. Demikian hadits kedua, bahwa yang dimaksudkan Ulama sebagai pencuri ialah bila ikut berbuat zalim dan aniaya yang dilaksanakan oleh Sultan.

Orang-orang yang ahli dalam hukum Islam adalah orang yang diberi kepercayaan oleh para Rasul untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sepanjang mereka tidak mengutamakan perkara duniawi dan tidak bekerja untuk kepentingan penguasa dan memihak kepadanya.

Tentu saja yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Saw., ada ulama pencuri dan dilarang mendekat Sultan itu dengan maksud untuk bekerja sama dalam perbuatan yang zalim atau dengan maksud ingin keuntungan harta dunia dengan menjual kebenaran. Seorang Ulama Tabi’in yang bernama Sa’ied bin Al-Musayyah berkata, “Apabila kamu melihat seorang Ulama atau ‘alim mendatangi para pejabat Pemerintahan, maka ia adalah pencuri.”

Itulah alasan yang menjadikan para Ulama khawatir terlibat suatu dosa akibat dari memegang suatu jabatan dalam pemerintahan. Walaupun sebenarnya kekhawatiran itu bisa dihindari, karena tujuan sabda Rasulullah saw, itu mempunyai maksud lain, namun para ulama itu tetap menginginkan kebersihan rokhani dari suatu dosa, ingin agar jiwa dan agama beliau selalu jauh dari gangguan, maka beliau-beliau tetap menolak jabatan yang diberikan kepada beliau-beliau.

Sebagai contoh ulama yang menolak jabatan yang ditawarkan oleh Raja salah satunya ialah Imam Abu Hanifah. Dalam suatu riwayat diceriterakan bahwa beliau pernah diberi hadiah uang oleh khalifah Abbasyiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, sebanyak 10.000 dirham. Hadiah itu beliau tolak, dan setelah dipaksa, pada saat uang itu diterimanya, uang tersebut disuruh menempatkan di pojok rumah. Beliau berwasyiat, bila besok beliau telah meninggal dunia, uang itu hendaknya dikembalikan lagi kepada Khalifah. Dan wasyiat itu dilaksanakan oleh puteranya setelah beliau wafat.

Itulah beliau, Imam Hanafi, yang telah berkali-kali menolak tawaran Gubernur agar menjadi Qadly (Hakim). Dan sekali waktu beliau diberi tugas menjadi Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baitul Maal atau Menteri Keuangan), tetapi semuanya pengangkatan itu beliau tolak. “Demi Allah! Aku tidak akan mau menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku itu, walaupun sampai aku dibunuh,” demikian kata beliau untuk menolak pengangkatan Gubernur menjadi pejabat penting dalam negara.

Imam Abu Hanifah ditangkap dan dikurung dalam tahanan selama dua minggu. Dalam dua minggu beliau tidak diapa-apakan, tetapi setelah lewat dua minggu beliau kemudian didera (dicambuk) 110 kali, setiap hari beliau dicambuk 10 kali, selama sebelas hari. Jadi jumlah semua 110 (seratus sepuluh) kali. Setelah itu baru dilepaskan.

Karena kehabisan akal, Khalifah Al-Manshur mendatangkan ibunya Imam Hanafi agar sudi membujuk beliau supaya mau menerima jabatan yang diberikan Khalifah itu. Ibunya Imam Hanafi yang telah tua ronta berambut putih itu berjalan merunduk-runduk ke dalam penjara dimana beliau ditahan. Dengan berbagai kata-kata untuk meyakinkan anaknya agar menerima penawaran Khalifah. Namun tetap bujukan ibunya itu juga gagal.

Sebagai daya terakhir dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur adalah perbuatan yang keji dan terkutuk. Pada suatu hari Imam Abu Hanifah dipanggil dari penjara agar menghadap kepada Khalifah. Setelah sampai di istana Kerajaan, beliau tetap menolak perintah Khalifah itu. Maka beliau diberi segelas air yang berisi racun. Beliau dipaksa meminumnya. Setelah air dalam gelas itu beliau minum, maka tak berapa lagi beliau menggelapar-gelapar dalam penjara, karena reaksi minuman beracun itu. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 M).

Demikianlah, beliau-beliau, Ulama yang besar itu tidak mau menerima jabatan menjadi Qadly atau Hakim Kerajaan, tidak mau menjadi “orang Pemerintahan” atau tidak mau menjadi “orang resmi,” karena beliau-beliau itu berpendirian bahwa lebih senang menjadi orang luar, orang “independen” saja, karena lebih bebas untuk berdakwah, dan lebih selamat untuk memelihara keselamatan agama yang beliau-beliau peluk. Mereka tidak terlalu mementingkan diri pribadi atau mementingkan keuntungan pribadi, karena beliau-beliau itu pun mengkhawatirkan bila nanti tergelincir kepada jalan ketidakadilan dan kezaliman, baik di bidang penetapan hukum, ataupun penerimaan harta, maupun hak azasi setiap orang.

Semua itu ada yang mengatakan sebagai alasan yang “terlalu berhati-hati,” ada yang mengatakan “alasan yang terlalu pribadi,” tetapi memang karena kewara’an beliau-beliau itu, maka dasar dalil-dalil sabda Rasulullah Saw yang telah dijelaskan di muka tentang “orang yang mendekati atau datang kepada penguasa untuk menerima jabatan” itu benar-benar beliau-beliau anggap sebagai peringatan Rasulullah agar semua orang waspada. Dalam hadits yang lain disebutkan, “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Athabrani). Wallahu A’lam bish-Shawwab.

Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag

  • Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
  • Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah.
  • Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille