KEMATIAN George Floyd di tahun 2020 memicu ketegangan rasial yang luar biasa di Amerika Serikat. Kemarahan, caci maki, bahkan kerusuhan segera menjalar secara masif hampir di seluruh pelosok negeri. Kepolisian – sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas kematian Floyd – harus pula menerima risiko yang paling pahit. Bukan saja dihujat dengan cara yang paling kasar, namun harus pula menerima wacana pembubaran sebagai sebuah institusi. Skeptisisme masyarakat Amerika terhadap kepolisian telah mencapai titik paling tinggi: mereka merasa tak membutuhkan lagi polisi.
Di Indonesia – dalam konteks dan latar belakang kasus yang berbeda – mulai muncul pula sikap skeptis terhadap institusi Polri. Meskipun tidaklah semasif seperti yang terjadi di AS namun cukup terasa bahwa saat ini Polri telah berada di titik nadir sepanjang perjalanan sejarahnya. Kepercayaan masyarakat sangat rendah, rasa memiliki masyarakat terhadap kepolisian makin menurun tajam, yang pada akhirnya sempat lahir pula wacana pembubaran institusi kepolisian.
Ide atau wacana pembubaran institusi Polri haruslah dianggap sebagai sesuatu yang serius, meskipun pada pelaksanaannya tidaklah mudah. Berpikir untuk membakar lumbung beras tentu saja bukan hanya karena ada seekor tikus di dalamnya, namun lumbung itu telah dipenuhi oleh kawanan tikus. Barangkali seperti itu analoginya. Skeptisisme yang tinggi seringkali melahirkan sikap pesimisme bahkan frustrasi. Beberapa kalangan telah sampai di titik dimana mereka memandang Polri sudah sedemikian rapuh dan “rusak” sehingga tak percaya Polri akan bisa memperbaiki diri lagi. Ibarat kanker, seluruh tubuh Polri telah dijalari oleh sel-sel mamatikan. Amputasi tak lagi berguna, maka satu-satunya acara membunuh badan itu. Demikianlah pendapat sebagian orang.
Lalu dimana kita sebaiknya berpijak? Sebagai seorang makhluk Allah, sebagai bagian dari ratusan juta anak bangsa yang besar ini, selayaknya kita tetap memiliki optimisme diantara berseliwerannya sikap skeptis. Tentu saja, itu dengan catatan-catatan. Catatan bahwa Polri sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang datang dari eksternal dan internal Polri sendiri.
Kita mulai bicara soal persoalan eksternal. Telah sejak lama – bahkan mungkin sejak awal berdirinya – Polri kerap menerima kritik atau protes atas kinerja yang dilakukannya. Sesuatu hal yang sangat wajar, memandang bahwa Polri adalah lembaga yang langsung bersinggungan dengan publik, sehingga baik buruknya akan sangat terlihat. Itu konsekwensi logis dan agaknya segenap anggota Polri menerima situasi itu dengan sikap yang legowo. Sikap legowo itu baru terasa terganggu manakala kritik atau protes yang datang tidak lagi murni sebagai sebuah teguran, namun telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya tidak umum, melainkan kelompok atau malah personal. Mereka menunggangi masalah yang muncul di kepolisian untuk bisa mencapai target tertentu, yang sama sekali jauh dari kepentingan untuk memperbaiki kinerja atau eksistensi Polri secara umum, tetapi hanya demi mencapai keinginannya sendiri. Mereka menjadikan persoalan di kepolisian sebagai kuda tunggangan yang bisa mengantarkan mereka ke tujuan tertentu.
Benar bahwa kepolisian tidak pernah lepas dari masalah, mulai masalah yang ringan hingga yang skalanya agak besar. Semua masalah yang ada selama ini bisalah dianggap sebagai peluru-peluru kecil yang meledak, yang suara atau efek ledakannya bisa dilokalisir sehingga tak berimbas kepada goyahnya lembaga Polri sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Polri baru benar-benar goyah manakala ada sebuah moment yang meledak bagai sebuah bom, dan itu terjadi bulan Juli lalu, ketika Kadiv Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo melakukan sesuatu yang menggoncangkan seisi negeri, yang bahkan juga beritanya sampai di mancanegara. FS bukanlah perwira tinggi pertama yang bersinggungan dengan sebuah kasus. Sebelumnya misalnya ada Susno Duaji, laku Joko Susilo, yang paling akhir Napoleon Bonaparte. Tetapi harus diakui bahwa efek ledak kasus FS sangatlah luarbiasa, jauh melebihi ledakan-ledakan sebelumnya.
Maka bermunculanlah komentar, kajian, hujatan dari masyarakat berdasar pada kasus Duren 3 itu. Bola liar pun mulai mulai menggulir, menerjang kesana kemari, tanpa mempedulikan hal itu memiliki konteks atau tidak dengan kasus yang sedang terjadi. Ada komentar atau kajian yang bersifat konstruktif, tak sedikit pula yang destruktif. Rasanya semua orang sesukanya bicara, tanpa peduli lagi apa kapasitas dirinya, tanpa peduli juga sejauh apa pengetahuan mereka soal institusi kepolisian. Mereka bicara layaknya di warung kopi – yang parahnya – justru diberikan panggung oleh media massa. Maka hampir setiap hari orang melihat – misalnya – Irma Hutabarat atau Alvin Lim mengobok-obok institusi Polri tanpa ampun.
Panggung yang diberikan oleh media massa itu menyedihkannya justru seolah didiamkan oleh kepolisian. Pasal-pasal penegakan hukum seakan disimpan di dalam kotak, sehingga menjadi mandul. Karena itulah Polri makin kelihatan tak berdaya, hanya diam saat dihantam oleh narasi-narasi ngawur, yang kadang bernuansa fitnah tak berdasar.
Hujatan terhadap institusi Polri tersebut mau tak mau tidak bisa dilepaskan dari unsur internal kepolisian sendiri. Keluar, para petinggi Polri terlihat begitu permisif terhadap hantaman yang datang, sementara kedalam, seakan ada gambaran kurangnya ketagasan para petinggi Polri di dalam pembenahan yang total atas institusi.
Pemegang kunci utama penyelesaian persoalan di tubuh Polri adalah Kapolri sendiri. Maka sebagai pemegang kunci utama dari dirinya dibutuhkan keberanian, ketegasan dan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan persoalan dan mengembalikan marwah kepolisian. Jika keberanian, ketegasan dan komitmen itu terganggu maka niscaya tak berguna pula kunci yang dipegangnya.
Memang bisa dipahami kehati-hatian yang terlihat pada sikap Kapolri, namun kehati-hatian yang berlebihan dan berlarut-larut cenderung menumbuhkan kesan ketidak-tegasan, bahkan bisa saja bagai ketakutan. Sikap tersebut tak bisa dibiarkan, karena akan semakin menjatuhkan mental Empat ratusan ribu anggota kepolisian. Atas peristiwa Duren 3 institusi Polri bagaikan pohon yang mulai doyong, maka dibutuhkan pimpinan yang mampu menjafa narwah Polri dan menegakkannya kembali.
Atas apa yang terjadi pada Polri beberapa waktu terakhir ini, bisalah dikatakan telah terjadi politisasi atas tubuh Polri. Secara eksternal, beberapa orang mempolitisasi peristiwa-peristiwa di Polri, secara internal, beberapa pimpinan Polri telah mempolitisasi diri mereka sendiri, atas alasan-alasan yang bersifat subyektif. Apa alasan-alasan itu? Bisa saja karena kepentingan kepada penguasa, bisa juga dugaan karena adanya pertarungan memperebutkan kursi Kapolri yang tak lama lagi akan ditinggalkan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Itu dugaan. Sebagaimana dugaan, ia bisa benar, bisa pula tidak, meskipun ada indikasi yang bisa terbaca jelas.
Seharusnya semua pimpinan Polri saat ini bekerja secara total atas nama penyelesaian masalah dan pengembalian marwah Polri, agar kelak ketika para pimpinan itu purna tugas mereka meninggalkan legacy yang akan dikenang dan jadi panutan seluruh anggota Polri di masa depan.
Muhamad Zarkasih.
- Pemerhati Hukum, Sosbudhankam.