BerandaAl Washliyah StudiesGenerasi Pejuang Al Washliyah Dari Zaman ke Zaman

Generasi Pejuang Al Washliyah Dari Zaman ke Zaman

SENIN, 22 Agustus 2022, Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam acara Ya Salam serial ke-57. Ini merupakan kali kedua saya menjadi narasumber dalam acara ini setelah sebelumnya membahas tentang jejak intelektualitas dan nasionalisme para pendiri Al Washliyah. Untuk diskusi kali ini, saya diminta untuk mengulas sebuah tema menarik, yakni “Generasi Pejuang Al Washliyah dari Zaman ke Zaman.” Kegiatan diskusi kali ini dipandu oleh Ustaz Anas Abdul Jalil, dan dihadiri oleh unsur Pengurus Besar, Dewan Fatwa, LKSA PB Al Washliyah, Pengurus Wilayah, pengurus organisasi bagian Al Washliyah, serta dosen dan mahasiswa UNIVA Medan.

Dalam diskusi yang diadakan secara virtual ini, saya telah menyampaikan beberapa slide terkait lima poin. Pertama, arti pejuang Al Washliyah yang saya maksudkan untuk mendudukan persoalan dan fokus pembahasan. Kedua, beberapa nama penting yang termasuk dalam kategori pejuang Al Washliyah terutama bagi kemerdekaan Indonesia dan juga kemajuan organisasi. Ketiga, keterbatasan informasi biografis tentang para pejuang Al Washliyah. Keempat, solusi kreatif yang bisa dikerjakan pengurus organisasi di masa mendatang dalam rangka menuntaskan masalah keterbatasan studi biografis tersebut. Kelima, beberapa contoh dedikasi yang telah disumbangkan oleh pendiri Al Washliyah terutama Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab dan M. Arsjad Th. Lubis bagi kemerdekaan Republik Indonesia, dan dari sini akan terlihat bahwa ketiganya layak dan pantas diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Demi kepentingan penguatan literasi Kealwashliyahan, saya kemudian mendeskripsikan secara tertulis apa yang telah saya sampaikan dalam diskusi kali ini.

Kegiatan Ya Salam saat ini sudah memasuki serial ke-57, dan tentu akan sangat menarik manakala semua narasumbernya dapat menuliskan ringkasan diskusi dari tema yang dibahas, kemudian Pengurus Besar Al Washliyah menerbitkannya dalam sebuah buku yang pastinya akan bermanfaat bagi seluruh warga Al Washliyah, kaum Muslim di Indonesia dan para peneliti Islam di Indonesia hari ini dan di masa mendatang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pejuang” berarti “orang yang berjuang dan prajurit.” Kata pejuang berasal dari kata “juang” yang artinya “berlaga/berlawan; memperebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga; berperang, berkelahi; berlanggaran; berusaha sekuat tenaga tentang sesuatu; berusaha penuh dengan kesukaran dan bahaya.” Kata “pejuang” juga sering dikaitkan dengan kata pahlawan yang artinya “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero.”

Sebagian pejuang kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia diberi gelar pahlawan nasional. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 disebutkan bahwa pahlawan nasional adalah “gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.” Sebelumnya juga dikenal istilah pahlawan kemerdekaan nasional sebagaimana disebut dalam Keppres 228/1963 dimana artinya adalah “seseorang yang semasa hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta tanah air sangat berjasa dalam memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di Indonesia, melawan musuh dari luar negeri ataupun sangat berjasa, baik dalam lapangan politik, ketatanegaraan, sosial-ekonomi, kebudayaan maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan dan perkembangan Indonesia.”

Berdasarkan pengertian secara harfiah di atas, term “pejuang Al Washliyah” bisa diartikan dalam dua konteks, yakni perjuang kemerdekaan dari kalangan Al Washliyah dan pejuang organisasi Al Washliyah. Arti dari pejuang kemerdekaan dari kalangan Al Washliyah adalah mereka yang karena terdorong oleh rasa cinta tanah air turut merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia”. Sedangkan pejuang organsiasi Al Washliyah adalah “figur yang menonjol di internal organisasi karena berusaha sekuat tenaga dan rela berkorban untuk mengembangkan, memajukan dan membela organisasi Al Washliyah meskipun harus ditimpa kesukaran atau bahkan bahaya sekalipun,” atau juga “mereka yang sangat berjasa bagi perkembangan dan kemajuan organisasi.”

Sesungguhnya, Al Washliyah memiliki banyak figur yang berjasa dalam upaya merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Semua pendiri dan tokoh awal Al Washliyah termasuk pejuang kemerdekaan. Mereka di antaranya adalah Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab, M. Arsjad Th. Lubis, Udin Sjamsuddin, Baharuddin Ali, O.K.H. Abdul Aziz, Abdul Wahab, Adnan Lubis, M. Ali Hanafiah Lubis dan Bahrum Djamil. Selain mereka, Al Washliyah memiliki sejumlah figur yang melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh di atas dimana figur pelanjut tersebut secara aktif menjadi bagian dari penyelenggara negara terutama melalui jalur legislatif di tingkat nasional. Mereka adalah Dja’far Zainuddin, O.K.H. Abdul Aziz, Umaruddin Sjamsuddin, Fathi Dahlan, Muis AY, Harun Amin, Aziddin, M. Kaoy Syah, Abdul Halim Harahap, M. Yusuf Pardamean Nasution, Rijal Sirait, Lukman Hakim Hasibuan, Dedi Iskandar Batubara dan Ahmad Doli Kurnia. Secara langsung maupun tidak langsung, kehadiran mereka di parlemen pusat turut mengharumkan nama organisasi. Mereka dapat dikatakan sebagai pejuang dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Tokoh-tokoh awal Al Washliyah ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan fatwa jihad, ikut latihan militer, mengangkat senjata, serta berperang dan bergerilya untuk melawan agresi tentara sekutu yang mendukung penjajahan kembali Belanda di Indonesia. Sebagian dari mereka, karena pro dengan kemerdekaan Indonesia, ditangkap dan dipenjara oleh Belanda dan para pembantunya. Tokoh berikutnya juga turut melanjutkan perjuangan para tokoh awal tersebut untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dan organisasi Al Washliyah di jalur legislatif.

Selain pejuang dalam konteks kemerdekaan dan kehidupan berbangsa dan bernegara, Al Washliyah juga memiliki sederetan figur yang memperjuangkan kemajuan organisasi. Mereka yang disebut sebagai pejuang organisasi adalah pendiri Al Washliyah, pemimpin Al Washliyah (terutama Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal), pimpinan Dewan Fatwa dan Dewan Pertimbangan Al Washliyah, pemimpin majelis/lembaga otonom, pemimpin organisasi bagian Al Washliyah yakni Muslimat, GPA, APA, IPA, HIMMAH, ISARAH dan IGDA, serta para rektor/ketua perguruan tinggi Al Washliyah. Para pemimpin Al Washliyah dan organisasi bagian di tingkat wilayah, daerah, cabang bahkan ranting juga merupakan pejuang organisasi yang tak kalah pentingnya. Terlepas dari kelemahan yang ada, mereka telah sangat berjasa bagi perkembangan dan kemajuan organisasi. Apresiasi terhadap mereka perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan cara menuliskan biografi mereka untuk menunjukkan kiprah dan capaian yang berikan demi kemajuan organisasi. Gaya mereka dalam memimpin dan capaian yang dihasilkan akan menjadi teladan dan inspirasi bagi generasi Al Washliyah di masa mendatang.

Sekadar contoh, Al Washliyah memiliki dua belas ketua umum di tingkat pusat. Mereka, yang merupakan pejuang organisasi di level pusat, adalah Ismail Banda, Iljas, Abdurrahman Sjihab, T.H.M. Anwar, M. Arsjad Th. Lubis, Udin Sjamsuddin, Bahrum Djamil, M. Ridwan Ibrahim Lubis, Aziddin, Muslim Nasution, Yusnar Yusuf, dan Masyhuril Khamis. Menarik juga bahwa Al Washliyah juga memiliki pejuang dari kalangan perempuan dimana mereka pernah menjadi pemimpin organisasi perempuan Al Washliyah yakni Muslimat Al Washliyah, Angkatan Puteri Al Washliyah (APA) dan Ikatan Pelajar Al Washliyah Puteri. Para pemimpin Muslimat di tingkat pusat adalah Zubaidah Tamin, Zahara Dar, Asiah Lubis, Nur’aini R. Lubis, Azizah, Nurliati Ahmad.

Para pemimpin APA di tingkat pusat adalah Nurhayati Tamin, Salmah Marzuki, Maimunah Tamin, Maryam Lubis, Hasnah Nasution, Nur’aini R. Lubis, Hafsah Din, Chalidjah Hasanuddin, Rahmah Hawari, Yayah Nahdiyah, Mariam Sahar. Biografi mereka penting ditulis untuk sekadar menunjukkan bahwa Al Washliyah juga mengkader kaum perempuan untuk menjadi pemimpin.

Tegasnya, Al Washliyah perlu menulis biografi para pemimpinnya, termasuk biografi para tokoh perempuan Al Washliyah dan pemimpin organisasi bagian lainnya. Penulisan ini penting dilakukan terutama untuk mempromosikan Al Washliyah terutama figur-figur utamanya ke khayalak publik sembari membuktikan bahwa Al Washliyah secara kreatif terus melahirkan para pemimpin umat, bangsa dan negara untuk hari ini dan masa mendatang.

Tetapi disadari bahwa literasi tentang biografi para figur sentral Al Washliyah mulai dari tingkat pusat sampai daerah masih terbatas. Al Washliyah memiliki banyak tokoh penting, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang sudah dituliskan. Masih begitu banyak sekali tokoh yang belum ditulis dan akhirnya terabaikan. Generasi penerus organisasi dari kalangan milenial kehilangan informasi tentang mereka. Keterbatasan informasi tentang biografi mereka disebabkan banyak faktor, dua di antaranya adalah (1) keterbatasan sumber-sumber kealwashliyahan, termasuk data tertulis tentang mereka, yang membuat sulit untuk merekonstruksi biografi mereka, dan (2) kegiatan riset dan publikasi tentang biografi mereka kurang begitu berkembang.

Sekali lagi, penulisan biografi para pejuang Al Washliyah perlu dilakukan dalam rangka mempromosikan Al Washliyah sebagai organisasi Islam yang telah banyak melahirkan figur penting sejak era kolonial sampai era terkini. Kegiatan riset dan publikasi tentang mereka perlu dilakukan mengingat keterbatasan literasi mengenai mereka. Tiga hal berikut diharapkan dapat menjadi solusi kreatif di masa mendatang dalam rangka menyelesaikan persoalan keterbatasan literasi tersebut.

Pertama, Al Washliyah perlu memiliki/memperkuat majelis yang membidangi riset, literasi dan publikasi dengan tugas utama menelusuri dan mengoleksi arsip-arsip organisasi secara nasional yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi aktivitas riset di masa mendatang termasuk menerbitkan keputusan-keputusan organisasi secara profesional dan profil pengurus Al Washliyah di tingkat pusat maupun wilayah dan daerah. Dahulu, Al Washliyah pernah memiliki Majelis Pustaka.

Kedua, perguruan tinggi Al Washliyah memberdayakan dan memperkuat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) terkait riset dan publikasi tentang organisasi khususnya tokoh Al Washliyah lintas zaman. Dosen dan mahasiswa didorong untuk meneliti seputar Kealwashliyahan utamanya tokoh yang berdedikasi bagi organisasi, bangsa dan negara.

Ketiga, pengurus organisasi bagian membuat program publikasi terkait biografi mereka yang berjasa bagi organisasi terutama para ketua umum dan sekretaris jenderal di tingkat pusat dan wilayah.

Dengan mempublikasi perjuangan para pemimpin Al Washliyah terutama bagi bangsa dan negara, Al Washliyah memungkinkan untuk secara mudah mengusulkan sebagian dari mereka yang layak untuk menjadi pahlawan nasional. Pengusulan seorang pejuang dari kalangan Al Washliyah untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional harus didasarkan pada kegiatan riset ilmiah, bukan karena spontanitas dan juga bukan karena didasari oleh emosi berorganisasi dan fanatisme terhadap figur yang diusung. Dengan melakukan riset mendalam, Al Washliyah akan mampu untuk meyakinkan pemerintah bahwa pejuang yang diusul sangat layak dan pantas menjadi pahlawan nasional.

Adalah Ismail Banda, Abdurrahman Sjihab dan M. Arsjad Th. Lubis merupakan pejuang dari kalangan Al Washliyah yang pantas dan layak mendapatkan gelar pahlawan nasional mengingat jasa mereka dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Beberapa poin berikut menunjukkan kemungkinan Ismail Banda untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

(1) Pengakuan Mesir (kemudian negara-negara Arab) terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, 22 Maret 1946, merupakan hasil perjuangan Ismail Banda dan koleganya di Kairo, Mesir.
(2) Ia turut membentuk panitia enam semasa era kolonial dengan tugas merencanakan dan mengkoordinasi kegiatan perlawanan terhadap Belanda di Mesir.
(3) Pada bulan September 1944, ia dan M. Zein Hassan “menyusup” ke Kongres Pan-Arab/Liga Arab dan menyampaikan nota, di hadapan para Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri negara-negara Arab, yang berisi 3 tuntutan: pengakuan atas kemerdekaan Indonesia, jaminan kesatuan Indonesia, dan ikut serta wakil-wakil Indonesia dalam menentukan masalah perdamaian pasca perang.
(4) Pasca proklamasi kemerdekaan, ia menjadi pengurus Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Menjalin kerjasama dan dukungan berbagai partai politik, organisasi Islam dan pers demi pengakuan negara-negara Arab terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Ia ditugaskan untuk melobi Ikhwanul Muslimin.
(5) Kata Abdul Kahar Muzakkir, Ismail Banda sebagai Ketua Panitia Kemerdekaan Indonesia di Mesir menjadi penghubung pihak Indonesia dengan pemerintah Mesir, parpol, surat kabar dan kedutaan asing.
(6) Ia menghadiri Konferensi Arab Islam (dihadiri pejabat dan tokoh negara-negara Arab), 16 Oktober 1945, di Mesir dan menyampaikan dua tuntutan: menuntut negara-negara Arab menyokong perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya; dan menuntut negara-negara Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
(7) Ia berhasil melobi Dewan Fatwa al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk mengeluarkan fatwa tentang haji melalui NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie), fatwanya adalah “orang yang pergi haji melalui NICA itu tidak sah hajinya.”
(8) Ia mengkoordinir mahasiswa di Mesir untuk berdemonstrasi memprotes agresi militer Belanda. Banyak tokoh yang kemudian menjadi pahlawan nasional memberikan testimoni perihal peran Ismail Banda dalam perjuangan kemerdekaan di luar negeri. “Ismail Banda turut memperjuangkan pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia” demikian kata Jenderal Abdul Haris Nasution. “Ismail Banda termasuk yang menjalankan peranan penting untuk kemerdekaan kita di luar negeri” tutur Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Pasca kemerdekaan, Ismail Banda turut mengisi kemerdekaan, terutama menjadi diplomat.

Selain itu, Abdurrahman Sjihab sebagai pejuang kemerdekaan juga pantas diberi gelar sebagai pahlawan nasional. Beberapa poin berikut menjadi indikasi dari kepantasan tersebut.
(1) Ia menghadapi penguasa Jepang di Sumatera Timur untuk menyelesaikan masalah keharusan melakukan keirei bagi rakyat Indonesia, ketika para Sultan dan pemuka agama di Sumatera Timur, sebagaimana diungkap Buya HAMKA, hanya menyerahkannya pada takdir. Keirei adalah “memberi salam dengan membungkuk sedalam 30 derajat ke arah Istana Kaisar Jepang,” yang saat itu dinilai kaum Muslim seperti gerakan rukuk dalam salat dan melakukannya dinilai haram.
(2) Ia mengirimkan pesan ke Presiden Soekarno dan Gubernur Sumatera Mohammad Hassan pada tanggal 9 Oktober 1945 bahwa “Al Jam’iyatul Washliyah turut mempertahankan Republik Indonesia.”
(3) Ia menginisiasi rapat khusus Al Washliyah di Medan, 27-28 Oktober 1945, di antara keputusannya: mengirim pesan ke Presiden Soekarno “di atas nama 50.000 keluarga, Al Jam’iyatul Washliyah menghendaki 100%”, dan memerintahkan seluruh pengurus, anggota dan simpatisan Al Washliyah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan memberikan pengorbanan menurut kesanggupan masing-masing.
(4) Ia mendorong Madjlis Al-Fatwa mengeluarga fatwa jihad menolak kedatangan Belanda dan mati syahid bagi mereka yang mati dalam pertempuran menolak kedatangan Belanda dan pembantunya ke Indonesia.
(5) Ia turut menginisiasi pembentukan Majelis Pertahanan Kemerdekaan Al Jam’iyatul Washliyah dan mengharuskan keluarga besar Al Washliyah mengikuti latihan perang. Kemudian ia turut membentuk Badan Pertahanan Al Washliyah.
(6) Ia menolak keberadaan Negara Sumatera Timur yang dinilai sebagai negara boneka buatan Belanda, dan mendukung pembubarannya dalam Kongres Rakyat Sumatera Timur, kemudian secara aktif mengembalikan Sumatera Timur ke dalam pangkuan NKRI. Pasca kemerdekaan, Abdurrahman Sjihab secara aktif mengisi kemerdekaan. Ia pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota DPRS Republik Indonesia dan Ketua Majelis Syuro DPP Partai Masjumi. Kala itu, ia telah menjadi figur penting di pentas nasional.

Kemudian, M. Arsjad Th. Lubis (Tuan Arsjad) sebagai pejuang kemerdekaan juga layak diberikan gelar pahlawan nasional. Saat ini ia sedang diusulkan untuk mendapatkan gelar tersebut. Beberapa fakta berikut menjadi bukti bahwa ia layak dan pantas mendapatkan gelar tersebut.
(1) Ia menjadi Wakil Ketua Badan Pertahanan Al Jam’iyatul Washliyah Markas Besar Tebing Tinggi.
(2) Pada bulan Nopember 1945, ia menghidupkan kembali penerbitan majalah Medan Islam yang memuat “tuntunan perang sabil menurut ajaran Islam dan memuat pelajaran membaca doa qunut dalam sembahyang untuk mendoakan kemenangan kaum Muslimin dan kehancuran musuh.” Majalah ini berhasil menjadi “terompet membela kemerdekaan dan sebagai penghubung kantar keluarga Al Jam’iyatul Washliyah dan umumnya rakyat Indonesia.”
(3) Ia menerbitkan buku Toentoenan Perang Sabil dimana Tuan Arsjad menegaskan perihal ketetapan hukum perang melawan bangsa Belanda. Ia memfatwakan “… menurut paham dan pendirian saya, pertempuran dalam peperangan melawan bangsa Belanda dan pembantu-pembantunya yang hendak menguasai tanah air kita Indonesia ini, adalah termasuk dalam bahagian peperangan yang diridai Allah, peperangan yang melawan musuh-musuh Allah dan peperangan yang akan dapat mempertinggi kalimat Allah di Indonesia. Sebab itu, siapa yang turut dalam peperangan tersebut dengan niat yang ikhlas, dengan niat akan meninggikan kalimat Allah, dengan niat menuntut keridaan dan pahala dari pada Allah, dengan niat untuk membinasakan musuh-musuh Allah, maka adalah dia berperang itu di dalam sabîlillâh dan jikalau mati terbunuh, matinya syahîd fi sabîlillâh, surga menjadi tempatnya. Wa Allâhu a‘lam.” Kata Bahrum Jamil, buku Toentoenan Perang Sabil “disita dan diserobot Belanda dan kaki tangannya, karena buku itu sungguh-sungguh sangat ditakutkan oleh tentara pendudukan masa itu.” Buku tersebut berhasil menggelorakan semangat jihad melawan agresi Belanda dan para pembantunya yang hendak kembali menguasai Indonesia. Ia kemudian ditangkap dan dipenjara oleh Belanda selama 9 bulan, 29 Maret 1949–23 Desember 1949. Penangkapan ini merupakan bentuk “balas dendam politik” pihak musuh terhadap Tuan Arsjad yang dinilai sebagai figur berpengaruh kala itu dan fatwa jihadnya telah mengganggu kepentingan penjajah.

Dr. Ja’far, M.A.
Ketua LKSA PB Al Washliyah
Dosen Pascasarjana IAIN Lhokseumawe

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille