BerandaAl Washliyah StudiesMemperingati 88 Tahun Dewan Fatwa Al Washliyah

Memperingati 88 Tahun Dewan Fatwa Al Washliyah

TANGGAL 10 Desember 2021 merupakan salah satu tanggal bersejarah dalam organisasi Al Jam’iyatul Washliyah (Al Washliyah). Betapa tidak, delapanpuluh delapan (88) tahun lalu, tepatnya 10 Desember 1933, Al Washliyah mengesahkan sebuah majelis yang mengurusi masalah keagamaan yang diberi nama dengan Madjlis Al Fatwa yang saat ini bernama Dewan Fatwa Al Washliyah. Tentunya, Dewan Fatwa Al Washliyah termasuk lembaga fatwa tertua di Indonesia, bahkan jauh lebih tua dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru diresmikan pada tahun 1975.

Secara historis, Madjlis Al Fatwa disahkan oleh pengurus Al Washliyah yang saat itu masih berpusat di Medan pada tanggal 10 Desember 1933. Majelis ini, yang lahir tiga tahun pasca Al Washliyah diresmikan, didirikan dengan tujuan untuk “memberikan khittah dan keputusan suatu masalah yang dirasa sulit mengenai persoalan agama dan sebagainya.” Sejak didirikan, kata H. Udin Sjamsuddin, majelis ini berhajat “untuk memberikan tuntunan dan garis perjuangan bagi umat Islam yang bercita-cita bagi berlakunya hukum-hukum Tuhan di permukaan bumi.” Dengan demikian, pendirian dan keberadaan Madjlis Al Fatwa menjadi sedemikian strategis bagi kaum Muslim, khususnya konstituen Al Washliyah di seluruh negeri dimana majelis ini diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan pelik yang dihadapi organisasi dan masyarakat Muslim, terutama masalah-masalah keagamaan, untuk kemudian menjadi tuntunan dan pedoman perjuangan bagi kaum Muslim.

Untuk mencapai tujuan dan hajat di atas, pengurus Al Washliyah menyusun struktur pengurus Madjlis Al Fatwa yang terdiri atas ulama senior yang berpengaruh dan produktif serta ulama muda yang energik dan visioner. Pada saat disahkan pertama kali, sebanyak delapan belas (18) orang diamanahkan sebagai pengurus majelis ini. Mereka adalah Syekh Hasan Ma’sum, Syekh Muhammad Yunus, Syekh Dja’far Hassan, Syekh M. Sjarief, Syekh Iljas, Syekh Mahmud Isma’il Lubis, Syekh Abd. Malik, Syekh Abd. Djalil, Syekh Dahlan, Syekh M. Ali, Syekh Usman Sulaiman, Syekh M. Djamil Dahlan, Syekh M.Tahier, Ustaz Yusuf Ahmad Lubis, Ustaz M. Arsjad Th. Lubis, Ustaz Fachruddin (Suhailuddin), Ustaz Abdurrahman Sjihab dan Ustaz Abdul Wahab Lubis. Menurut Usman Pelly dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi (2013: 228), saat itu majelis ini dipimpin oleh Syekh Hasan Ma’sum (yang merupakan murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi) yang kemudian menjadi sosok ulama yang paling berpengaruh dan produktif di Sumatera Timur saat itu.

Pada era berikutnya, Madjlis Al-Fatwa Al Washliyah yang kemudian bernama Dewan Fatwa Al Washliyah terus dipimpin oleh ulama senior berpengaruh dan produktif. Mereka di antaranya Ustaz M. Arsjad Th. Lubis, Ustaz Abdul Wahab Lubis, Ustaz Yusuf Ahmad Lubis, Ustaz M. Arifin Isa, H. Bahrum Djamil, Ustaz M. Ridwan Ibrahim Lubis, Ustaz Jalaluddin A. Muthalib, KH. Totoh Abdul Fattah dan Ustaz Ramli Abdul Wahid. Pengaruh mereka dalam organisasi Al Washliyah terbilang besar, dan produktivitas mereka dalam menghasilkan karya akademik dari artikel sampai buku tak diragukan lagi. Sampai saat ini, karya-karya mereka masih bisa diakses publik, dan dapat memberikan pencerahan bagi konstituen Al Washliyah. Saat ini, Dewan Fatwa Al Washliyah dipimpin oleh Ustaz Abdul Hamid Usman.

Menarik diungkap bahwa dalam masa genting sekali pun, Madjlis Al Fatwa Al Washliyah tetap sigap memberikan tuntunan kepada umat. Satu di antara banyak buktinya adalah setelah 105 hari usia proklamasi kemerdekaan Indonesia, majelis ini berani mengeluarkan resolusi jihad untuk menolak kedatangan Belanda dan para pembantunya yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Pada Kongres Al Washliyah ke-5, 30 November-6 Desember 1945 di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Madjlis Al-Fatwa Al Washliyah mengeluarkan fatwa tentang hukum mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dimana ditegaskan bahwa (1) wajib atas tiap-tiap umat Islam di Indonesia menolak kedatangan orang-orang Belanda dan pembantu-pembantunya yang hendak berkuasa di Indonesia ini. (2) Orang Islam yang mati dalam pertempuran menolak orang Belanda dan pembantu-pembantunya itu, dan matinya disebabkan pertempuran tersebut dengan niat menegakkan Agama Islam, dihukumkan syahid fî sabîlillâh.

Jelas bahwa fatwa ini dikeluarkan saat bangsa Indonesia baru saja meraih kemerdekaan, dan para pengurus Madjlis Al Fatwa tanpa rasa takut menginisiasi pengambilan putusan fatwa tentang hukum mempertahankan kemerdekaan yang kemudian menjadi tuntunan bagi kaum Muslim di Indonesia, khususnya para pendukung Al Washliyah yang sudah tersebar di berbagai daerah di pulau Sumatera, khususnya di Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli, dan mereka tentu sangat menyadari implikasi fatwa tersebut terhadap keselamatan diri dan keluarga mereka mengingat kondisi sosial politik di Indonesia saat itu masih begitu labil.

Tegas bahwa Dewan Fatwa Al Washliyah terbukti telah memberikan kontribusi bagi agama, bangsa dan negara. Sampai saat ini, lembaga ini sudah menghasilkan banyak fatwa, dan atas inisiatif dan motivasi almarhum Ustaz Ramli Abdul Wahid, fatwa-fatwa itu kemudian dibukukan dan diterbitkan dengan judul “Keputusan-keputusan Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah (1933-2020)”. Keberadaan buku ini diperkuat oleh sebuah buku lainnya yang memberikan deskripsi tentang sejarah Dewan Fatwa Al Washliyah yang berjudul “Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah: Sejarah dan Fatwa-fatwa”. Keduanya diterbitkan atas kerjasama penerbit Perdana Publishing dan Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah pada tahun 2020, dan tentunya atas kebaikan serta bantuan moril dan materil dari Profesor Aslim Sihotang yang saat itu menjabat sebagai Pejabat Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah. Dari kedua buku itu, dapat diketahui bahwa Dewan Fatwa Al Washliyah selama ini giat memberikan pencerahan kepada umat mulai dari menerbitkan fatwa, mengeluarkan pernyataan sikap, himbauan dan tausyiah, sampai pada persoalan merumuskan dan menegaskan konsep-konsep kunci organisasi.

Dalam konteks saat ini, sesuai Anggaran Dasar (AD) Al Washliyah hasil muktamar ke-22, disebutkan bahwa tujuan dan fungsi Dewan Fatwa Al Washliyah di antaranya adalah “menetapkan fatwa hukum Islam berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di kalangan anggota, pengurus, dan masyarakat pada umumnya”. Dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Al Washliyah disebutkan bahwa salah satu kewenangan lembaga syariah Al Washliyah ini adalah “menerbitkan fatwa hukum untuk menjadi pedoman bagi organisasi, warga Al Washliyah, dan masyarakat pada umumnya dalam bidang agama.”

Dalam organisasi Al Washliyah, sesuai amanat AD & ART, persoalan fatwa keagamaan merupakan wewenang mutlak dari Dewan Fatwa Al Washliyah sebagai lembaga syariah yang hanya berkedudukan di tingkat Pengurus Besar. Lembaga ini tidak ada di level pengurus Al Washliyah tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan maupun desa.

Konstituen Al Washliyah yang terdiri atas jutaan orang yang tersebar dari Aceh sampai Papua tentu perlu senantiasa mendapatkan pencerahan dalam bidang keagamaan, terutama dalam bentuk fatwa, dari lembaga yang mereka miliki, Dewan Fatwa Al Washliyah. Lembaga ini memiliki beban moral untuk terus mengawal religiousitas umat terutama di masa pandemi saat ini. Apalagi, masalah fatwa-fatwa keagamaan adalah wewenang mutlak lembaga ini. Fakta bahwa Dewan Fatwa Al Washliyah hanya ada di tingkat pusat menunjukkan bahwa kedudukan lembaga ini sangat urgen dan strategis karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya akan menjadi acuan dan pedoman jutaan konstituen Al Washliyah yang berdomisili di seluruh Indonesia dan juga luar negeri.

Di sini, kita harus salut juga kepada Nahdlatul Ulama (NU) yang tanpa henti terus memberikan sinaran pencerahan dalam bidang keagamaan kepada para pengikut setianya melalui berbagai platform digital. NU Online adalah contoh konkretnya. NU Online selama ini selalu memberikan pencerahan bukan saja kepada warga NU, tetapi juga kaum Muslim di Indonesia, mungkin juga di dunia. NU Online kerap menerbitkan berbagai artikel secara online yang berisi respons Islam, tentunya perspektif ideologi NU, terhadap isu-isu terkini yang terjadi di dunia, khususnya Indonesia. Isu-isu yang dibahas bahkan terkadang adalah isu-isu yang cukup sederhana, akan tetapi sedang menjadi perhatian umat Islam di Indonesia. Tentu, penggunaan platform digital dalam menyampaikan pesan-pesan agama, terutama di masa pandemi, sebagaimana yang terus dilakukan NU sampai saat ini patut ditiru.

Tentunya, pada era revolusi industri 4.0 seperti saat ini, meskipun pandemi Covid-19 belum berakhir, Dewan Fatwa Al Washliyah dapat secara aktif dan kreatif berkontribusi bagi agama, bangsa dan negara dengan memanfaatkan seluruh platform digital secara maksimal dalam menjalankan semua program kerja yang telah disusun dalam rapat kerjanya demi memberikan pencerahan kepada umat dan bangsa terutama dalam bidang keagamaan. Karena itu, dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, pengurus Dewan Fatwa Al Washliyah saat ini tentu akan bisa lebih produktif dan kreatif dari para pendahulu mereka yang telah banyak berdedikasi di era tanpa komputer, internet dan media sosial.

Nashrun minallâh wa fathun qarîb, wabasysyiril mu’minîn.

Dr. Ja’far, M.A.

* Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Aceh.
* Ketua Lembaga Kajian Strategis Al Washliyah Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Periode 2021-2026.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille