ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan yang tidak suka menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Mâ’ùn, 107:1-3).
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apakah engkau señang bila hatimu menjadi lunak dan dapat menemukan apa yang diperlukan; kasihanilah anak yatim; usaplah kepalanya dan berilah ia makan dari makananmu, niscaya hatimu lunak dan engkau dapat menemukan apa yang dibutuhkan.” (HR. Thabrani melalui Abu Darda).
Barangsiapa yang menginginkan hatinya menjadi lemah lembut dan berhasil memperoleh apa yang diperlukannya, maka hendaklah kita menyantuni anak yatim. Perlakukanlah ia dengan kasih sayang, berilah ia makan dari makananmu, niscaya lambat laun hati kita akan menjadi lembut dan berhasil memperoleh apa yang kita butuhkan, sebab anak yatim sangat memerlukan pertolongan, terlebih lagi apabila kedua orang tuanya tidak meninggalkan apa-apa.
Allah Swt. kelak akan membalas orang yang memuliakan anak yatim dengan pahala yang berlimpah, tidak hanya di akhirat saja, bahkan di dunia pun kita akan menerima pahala-Nya, antara lain seperti yang disebutkan dalam hadits ini bahwa yang bersangkutan akan mudah memperoleh sesuatu yang diinginkannya, sebab Allah Swt. selalu menolong hamba-Nya selagi yang bersangkutan (kita) menolong saudaranya.
*Nabi* Muhammad Saw. telah bersabda, “Barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim laki-laki atau perempuan, maka aku dan dia berada di surga sama seperti ini.” (HR. Hakim melalui Anas r.a.).
Barangsiapa yang memperlakukan anak-anak yatim yang berada di bawah tanggungannya, dengan baik seperti terhadap anaknya sendiri maka kelak di hari kiamat ia akan bersama-sama dengan Nabi Saw. karena beliau sangat mencintai anak-anak yatim.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa, ” Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk. Aku dan orang yang menjamin anak yatim di surga seperti ini.” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah r.a.).
Hadist ini menceriterakan tentang besarnya pahala yang diberikan kepada orang yang memelihara anak yatim, hingga dikatakan oleh Nabi Saw.: ” Aku dan orang yang menjamin anak yatim seperti ini di dalam surga”, seraya mengisyaratkan dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengahnya. Makna yang dimaksud ialah kelak di surga pemelihara anak yatim akan memperoleh kedudukan yang tinggi hingga ia duduk bersanding dekat Nabi Saw.
Dalam hadits senada Rasulullah Saw. bersabda, “Rumah kalian yang paling disukai Allah adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang dimuliakan.” (HR. Baihaqi melalui Ibnu Umar r.a.).
Memelihara anak yatim adalah amal kebajikan yang dianjurkan oleh syariat Islam dan pelakunya akan mendapat pahala yang besar sehingga digambarkan oleh hadits ini bahwa bukan pelakunya saja yang disukai oleh Allah, tetapi rumah yang ditempatinya pun disukai oleh Allah. Atau dengan kata lain, Allah Swt. menyiraminya dengan rahmat dan karunia yang berlimpah karena di dalamnya terdapat anak yatim yang dipelihara dan dihormati serta tidak disia-siakan.
Juga dalam hadits yang lainnya, beliau juga telah bersabda, “Demi yang mengutus aku dengan hak. Allah tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya. Demi yang mengutus aku dengan hak. Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat.” (HR. Athabrani).
Yang harus mendapat perhatian juga bagi yang mengurus keperluan anak-anak yatim dan menjaga hartanya akan menghadapi cobaan dan kesulitan yang tidak sedikit, karena mengandung banyak madharatnya. Karena itu, hendaknya orang yang telah menerima amanat dan tanggung jawab yang berat ini senantiasa berhati-hati dan memperhatikan urusan mereka, khususnya dalam masalah harta, di samping memelihara pokok (modal), hendaklah yang diberi amanah berusaha mengembangkannya. Jangan sekali-kali menyia-nyiakannya, membelanjakannya pada jalan-jalan yang salah, memakannya tanpa hak, atau boros.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa menjadi wali atas harta anak yatim hendaklah diperkembangkan (diperdagangkan) dan jangan dibiarkan harta itu susut karena dimakan sodaqoh (zakat).” (HR. Al-Baihaqi).
Dalam hal ini Allah Swt. telah berfirman, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisâ, 4:2)
Dan dalam Firman-Nya lagi dinyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisâ, 4:10).
Sebab turunnya ayat ini berasal dari pertanyaan Urwah bin Az-Zubair, dia bertanya kepada Aisyah r.a. tentang hal tersebut, Aisyah r.a. berkata, “Wahai keponakanku, anak yatim ini berada dalam perawatan walinya, yang hartanya bergabung dengan harta walinya, lalu walinya tertarik terhadap kecantikan dan hartanya. Kemudian walinya ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam maharnya, maka dia memberikan kepadanya tidak seperti dia memberikan kepada yang lainnya. Maka menikahi mereka terlarang, kecuali jika dia berlaku adil kepada mereka dalam menyempurnakan maharnya, lalu mereka disuruh untuk menikahi wanita-wanita yang disenangi para lelaki selain wanita-wanita itu.”
Juga dalam riwayat lain, dari Muqatil bin Hayyan, bahwasanya seorang pemuda dari Ghathafan bernama Martsad bin Zaid menjadi wali harta keponakannya yang seorang yatim, lalu dia memakan harta itu.
Juga dalam riwayat lain, Aisyah r.a. berkata, “Ayat ini diturunkan mengenai anak yatim perempuan yang tinggal dengan seorang laki-laki yang mengasuhnya, padahal hartanya telah dicampurkan atau diserikati pengasuhnya, sedang dia tidak mau menikahinya dan tidak pula melepaskannya dinikahi orang lain. Jadi, harta anak itu di kuasainya sedang diri anak itu ditelantarkannya, dinikahinya sendiri tidak, diserahkannya supaya dinikah orang lain pun tidak.”
Rasulullah Saw. telah menggolongkan pemakan harta anak yatim ke dalam kategori tujuh bencana yang besar, dan di antara dosa-dosa besar yang membinasakan.
Agar kita senantiasa mendapat ridha dan keberkahan dalam kehidupan ini, maka kita hendaknya memuliakan dan memperlakukan anak-anak yatim dengan baik dan ikhlas. Wallahu a’lam bish-Shawab.
Drs.H.Karsidi Diningrat M.Ag
* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.