Oleh: H. Abdul Mun’im
SEBUTAN ustadz kepada seseorang adalah suatu panggilan penghormatan, karena itu pengakuan orang lain, bukan karena dirinya sendiri yang mendeklarasikannya.
Seperti kita ketahui kata ustad itu berasal dari bahasa Arab artinya guru, tapi di kalangan tertentu termasuk di Indonesia, sebutan Ustad itu maknanya lebih dari guru, sudah menjadi ungkapan penghormatan, tanda respek yang diucapkan kepada seseorang yang sehari-harinya suka berdakwah, mengajarkan ajaran agama Islam, rajin beribadah, fasih mengucapkan lafaz Arabnya saat membacakan ayat suci Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Ustadz adalah orang yang menjaga akhlaknya dengan baik dan selalu memberi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatannya sehari-hari sesuai ajaran agama Islam, termasuk keteladanan dari keluarganya.
Sekali saja kedapatan orang tersebut sengaja melanggar perintah agama dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan panggilan ustadz, maka orang tersebut bisa kehilangan simpati dari orang yang mengenal dan mengikutinya atau penggemarnya.
Diplomat yang Ustadz
Suatu hari saat saya bersama Konsul Jenderal menghadiri suatu acara, pada kesempatan saya berbicara, ada salah satu jamaah yang bertanya, apakah bisa seorang diplomat itu juga bertindak menjadi ustadz?
Sebelum saya jawab saya menduga bahwa orang ini berpandangan seperti banyak orang yang beranggapan bahwa profesi diplomat ya diplomat, kalau ustadz ya jadi ustadz.
Saya jelaskan, bahwa salah satu tugas penting Diplomat Indonesia adalah melakukan pembinaan bagi masyarakat Indonesia. Jadi sekiranya ada diplomat yang juga digelar sebagai ustad, itu berarti dia punya nilai tambah yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang diplomat. Tidak banyak orang bisa melakukannya.
Dengan status sebagai Ustadz, seorang diplomat akan lebih sukses melakukan tugasnya dalam membina masyarakatnya, ia dengan mudah melakukan pendekatan, baik yang Muslim maupun yang Non Muslim, karena kelebihannya itu. Mudah meyakinkan orang karena dipercaya dan disegani.
Seorang Ustadz selalu hadir di tengah-tengah masyarakatnya dalam suasana suka dan duka, punya ikatan batin yang kuat dengan komunitasnya, selalu hadir melakukan people to people contact.
Beda dengan diplomat biasa, hubungan emosional seorang ustadz yang diplomat dengan komunitasnya dekat sekali, cukup dekat bagaikan bersaudara, ada gelombang batin yang sangat kuat, mencintai dan dicintai masyarakatnya.
Ucapan seorang ustadz selalu didengar dengan seksama, selalu diikuti dengan sopan santun yang tinggi, selalu dijadikan contoh untuk keluarga dan masyarakat, isinya selalu bermuatan nasehat dan menyuarakan persatuan dan perdamaian, menabur rasa cinta dan menabur kasih sayang, terasa hidup lebih indah, pergaulan yang hangat dan lebih mesra di dalam lingkungan komunitasnya.
Ustadz itu selalu dicari, dinanti dan diharapkan kehadirannya, jika dia hadir dalam satu acara tertentu terasa ada nilai tambah bobot acaranya. Jika dia tidak hadir dimana seharusnya dia datang, banyak orang yang bertanta-tanya dimana keberadaannya.
Ustadz itu termasuk ibarat garam dalam gulai, jika garam tak ada maka gulainya terasa hambar. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Jika hadir selalu diminta untuk bicara, paling tidak membaca doa.
Status seseorang sebagai ustadz selalu mendapat extra respek dari komunitasnya, biasanya tidak menimbulkan iri bagi yang lainnya, karena dalam masyarakat seorang yang diberi gelar ustadz sangat disayang dan dicintai bahkan dilindungi, selalu diistimewakan. Kehadirannya selalu disambut dengan suasana hangat dan istimewa, pulangnya juga dilepas dengan kehormatan.
Namun demikian, sang ustadz tidak merasa dirinya besar sebagaimana orang menghormatinya, tidak membanggakan diri, tidak merasa dirinya sangat istimewa, dia tetap mensejajarkan diri dengan siapa saja orang yang dijumpainya dan biasanya seorang ustadz bersifat egaliter dalam tindakan sehari-harinya, suka senyum dan bersahabat bagaikan teman, saudara, bahkan kadang dianggap sebagai ayah, jika wanita bagaikan ibu.
Indikatornya akan terlihat dengan kasat mata saat ustadz yang diplomat akan kembali ke tanah air mengakhiri tugasnya. Betapa komunitas yang mencintainya merasa sedih yang mendalam dari lubuk hatinya, mengapa akhirnya harus berpisah, ada yang menangis, ada yang ingin sebelum pulang mengudang singgah makan bahkan ditawarkan menginap di rumahnya, mereka membuat acara perpisahan secara khusus dan memberi kenangan spesial yang ingin dijadikan memori yang istimewa, mereka menitip pesan yang sangat berharga, kiranya persaudaraannya tidak terputus sampai disitu saja.
Ini sekelumit kisah alami yang dirasakan oleh seorang yang mendapat gelar ustadz yang diplomat atau diplomat yang ustadz.
Semoga memberi nilai pendidikan, motivasi dan inspirasi bagi Diplomat Muda maupun yang masih aktif serta info untuk pengetahuan bagi kita semua para pembaca.
Jakarta, 29 Desember 2020.
Salam hangat untuk para pembaca semua.[]
Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Ketua Majelis Dakwah PB. Al Washliyah.