Oleh. Irwansyah, M.H.I
MENGUTIP pendapat guru penulis, alm. Buyah Ramli Abdul Wahid Allah Yarham tentang ulama, dia menjelaskan bahwa, “ulama adalah orang yang menjadi tempat bertanya tentang masalah-masalah Agama Islam, dan jawabannya dipercaya dan dipepegangi karena percaya pada ilmu dan ke istiqamahannya. Tidak setiap ustaz, dai, penceramah, habib, kiyai, intelektual, sarjana, otomatis menjadi ulama. Lebih ekstrim lagi, bukan setiap ulama dapat dipercaya, karena orang ‘alim yang meguasai ilmu agama pun ada yang tidak istiqamah pendiriannya”.
Satu paragraf kalimat ini jika difahami secara mendalam menimbulkan kesan bahwa tidak mudah menjadi “ulama panutan”. Dimana, keulamaannya tidak hanya tercermin dari penguasaan ilmu Agamanya saja, namun terbentuk menjadi karakter hidupnya, baik dalam sikap, tingkah laku, cara berbicara, cara berpakaian, lebih-lebih ke istiqamahannya untuk menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi ketentuan Allah di atas segala kepentingan. Dia hanya takut kepada Allah, tidak takut kepada selain-Nya.
Ulama sejatinya adalah panutan. Dia adalah pola yang ditiru dan dijadikan contoh tanpa rasa ragu oleh umat, karena memang posisinya adalah sebagai pewaris Nabi. Namun terkadang, kenyataan tidak berbanding lurus dengan konsep dan defenisinya. Bahkan, kadang-kadang orang-orang yang menguasai ilmu Agama, mampu membaca dan memahami dengan baik teks wahyu, intelektual yang dianggap sebagai orang yang layak dijadikan contoh, namun tidak “menerjemahkan” apa yang dibaca dan difahaminya dalam aspek kehidupannya.
Foto: Penulis (sebelah kiri) saat menghadiri Musda MUI Sumut beberapa waktu lalu di Medan.
Wajar ketika Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumiddin membagi ulama kepada dua bentuk, ulama dunia dan ulama akhirat. Penyebutan ini pada masa klasik memang terkesan aneh, mengapa harus dibagi menjadi dua klasifikasi. Namun jika ditelusuri sejarah peradaban keulamaan, pendapat al-Gazali tadi bukanlah sekedar pengelompokan tanpa makna, melainkan memang merujuk dan cermin dari kenyataan yang sesungguhnya, bahkan sudah ada sejak masa lampau, berabad-abad yang lalu.
Ulama seharusnya tidak hanya sebatas alim dalam ilmu, namun juga mengamalkan segala ilmunya. Dia bukan hanya tempat bertanya, tapi juga tempat meniru sikap. Dia tegas dan istiqamah menyuarakan dan membela kebenaran, jujur, tidak mau berbohong walau pada hal kecil sekalipun, tidak mau mengambil yang bukan haknya, perilakunya jadi ikutan, fatwanya di dengar, ucapannya disegani.
Penulis ingin mengajak sejenak pembaca meresapi kisah nyata Arsyad Thalib Lubis pada masa hidupnya saat menjabat sebagai Ketua Jawatan Agama Provinsi Sumatera Utara (Saat ini disebut Ka.Kanwil Kemenag-SU), saat itu dia diberi mobil dinas karena jabatannya. Saat pulang ke rumah, anak perempuannya Chaerat Lubis melambaikan tangan di persimpangan karena melihat mobil ayahnya (Arsyad Thalib Lubis) sedang melintas untuk pulang ke rumah. Chaerat berharap ayahnya berhenti dan aziah ikut bersamanya pulang. Namun, saat itu Arsyad Thalib Lubis tidak berhenti, bahkan terus melaju pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Chaerat bertanya, “Apakah ayah tidak melihat saya tadi melambaikan tangan?” dengan lembut Arsyad Thalib Lubis menjawab, “ayah melihat, namun itu mobil dinas nak.., minyaknya dibayar dari uang negara,”. Kisah ini penulis dengar langsung dari Puteri Beliau Ibu Nur Aziah Hikmah Lubis saat mendampingi alm. Ustaz Ramli menerima wakaf buku-buku Arsyad Thalib Lubis yang diserahkan ke MUI SU.
Cerita ini adalah sekelumit pelajaran penting yang amat sangat berharga betapa ulama itu bahkan tidak mau memakai fasilitas jabatannya, di luar dari keperluan yang diamanahkan, walau hanya sebatas membawa anaknya sendiri yang kebetulan pun pada satu tujuan perjalanan yang sama. Penulis jadi teringat dengan kisah Umar bin Abd Aziz yang mematikan lampu saat anaknya mengajaknya berbicara persoalan pribadi, karena minyak lampu tersebut dibayar dari uang kas negara.
Jika ini salah satu contoh refresentatif dari kriteria ulama panutan, agaknya sukar untuk menemukannya saat ini. Walau bukan berarti tidak ada. Ini adalah bentuk integritas pribadi, yang hanya tumbuh dengan konsistensi dan kesadaran akan bahwa semua akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Mahkamah Akhirat. Seorang ulama panutan, di samping menguasai ilmu agama yang mumpuni, tegas dalam membela dan menyuarakan kebenaran, juga menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi melakukan hal yang salah dan melanggar syariat.
Ala Kulli Hal, supaya tidak salah dimengerti, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi apalagi mengkerdilkan siapa pun. Namun, paling tidak ini adalah bahan renungan bagi penulis dan mungkin pembaca, walau agaknya banyak yang tidak sependapat. Yang jelas, penulis sendiri menyadari bahwa penulis sendiri hari ini jauh dari kriteria ulama panutan sebagaimana yang dimaksudkan. Sarjana mungkin jutaan, intelektual mungkin ribuan, ustaz dan penceramah mungkin susah meghitung angka nominalnya, namun “ulama panutan” ? agaknya ini adalah pertanyaan yang tak perlu jawabannya dituliskan. Sekali lagi, bukan berarti tidak ada. Mengutip kembali pendapat Alm. Ustaz Ramli, “Kesarjanaan tidak menjamin keberilmuan seseorang. Ke-Ustaz-an tidak menjamin keshalihan seseorang”. Wallahu a’lamu.[]
Penulis Adalah : Anggota Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah, Wakil Ketua Ikatan Guru dan Dosen (IGDA) Al Washliyah Kota Medan, Anggota Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyah (BHR) Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah.
irwansyah.mui@gmail.com