Renungan menjelang akhir tahun 2020.
Oleh: Abdul Mun’im
Ulama raja dapat dimaknai dengan dua hal.
1. Ulama yang dalam kedudukannya sebagai Ulama yang bertindak menjadi penasehat raja. Kedudukannya sungguh mulia sesuai dengan kemuliaan agama. Nasehatnya di dengar, dipatuhi dan dilaksanakan oleh sang raja. Raja selalu bertanya kepadanya. Inilah hakikat kedudukan ulama yang selalu ada bersama raja dalam mengambil langkah dan sikap. Ulama seperti ini sangat tergantung karakter rajanya, kadang ada yang sangat disayang oleh raja tapi kadang tidak disukai karena sangat kuat memegang prinsip, bahkan kadang dikucilkan.
2. Ulama yang dalam kedudukanya menjadi terompet raja. Ulama yang dinasehati raja. Apa yang dipesankan raja sesuai keinginannya atau keinginan lingkungan raja dia ikut menyuarakannya, ada yang sesuai dengan ajaran agama tapi seringkali sesuai dengan kehendak raja dan kroninya tapi bertentangan dengan ajaran agama, bahkan kadang harus berhadap-hadapan menentang ulama lainnya untuk membela kepentingan sang raja dan kroninya ia lakukan. Yang penting baginya dia bisa memuaskan kehendak raja dan kroninya. Biasanya dia dekat dengan lingkungan komunitas istana kerajaan dan sering dipuj-puja oleh raja dan lingkungan istana, serta selalu mendapatkan imbalan berbagai bentuk, apakah dapat uang atau kedudukan dan puji-pujian.
Raja yang Ulama dapat dimaknai.
Seorang yang memiliki kedudukan sebagai Raja yang menguasai ilmu agama dengan baik dan senantiasa bertindak baik dan benar serta mempunya prinsip yang lurus sesuai ajaran agama Islam. Ia bertindak seperti ulama, dalam menjalankan kepemimpinannya, ia selalu bermusyawarah dengan ulama dan berbagai pihak agar dia tidak salah dalam bertindak menjalankan kepemimpinannya terutama dalam mengambil keputusan. Dalam sehari-hari dia sangat taat melakukan ibadah kepada Allah, bertindak adil dan bijaksana serta bertindak dengan sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathonah.
Wallahu a’lam.[]
Penulis adalah Ketua Majlis Dakwah dan Komunikasi PB. Al Jam’iyatul Washliyah