Oleh: Irwansyah [irwansyah.mui@gmail.com]
TULISAN ini dimaksudkan untuk merespon kasus yang terjadi pada MTQ Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan di Tebing Tinggi pada September 2020. Seorang peserta musabaqah yang memilih untuk didiskualifikasi daripada harus tampil dengan membuka cadarnya menjadi perhatian publik dan viral di berbagai media. Komentarpun banyak bermunculan dari masyarakat dan netizen mulai dari arah interpretasi positif, sampai pada tanggapan dengan nuansa negatif, bahkan sekalipun tidak mengetahui duduk persoalan dan informasinya secara utuh.
Penulis tidak ingin berkutat pada hukum memakai cadar bagi wanita, karena persoalan cadar merupakan ranah khilafiah, yang dari dahulu sampai sekarang terbagi kepada dua pendapat. Ada yang berpaham bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sehingga menutup wajah dan telapak tangan tidak wajib, namun bukan berarti tidak boleh. Inilah pendapat mayoritas ulama (Jumhur). Di sisi lain, ada yang berpandangan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya. Karena itu wajah juga adalah bagian yang harus ditutupi. Dalam batas-batas tertentu, menurut penulis penggunaan cadar adalah lebih baik dilakukan. Selain dari bentuk sikap keluar dari perkara khilafiah (al-khuruj minal khilafi, mustahabbun), juga prilaku positif sebagai bentuk usaha untuk memenuhi protokoler kesehatan pada masa Pandemi Covid-19 sebagaimana yang masih terjadi sampai saat ini.
Terlepas dari itu semua, penggunaan cadar dalam pelaksanaan permusabaqahan ada aturan dan mekanisme yang mengikat dan telah ditetapkan secara nasional sebagaimana yang telah disebutkan salah seorang Dewan Hakim Nasional (dalam penggalan rekaman video viral tersebut). Sebagai Dewan Hakim, dalam proses penilaian harus patuh dan tunduk pada ketentuan yang berlaku. Kecuali mungkin pada kebijakan-kebijakan yang disepakati untuk dilaksanakan di daerah karena pertimbangan kondisional.
Ketentuan dan aturan dalam permusabaqahan dibuat dan diperbaharui secara berkala berdasarkan pertimbangan maslahat dan mafsadat. Tujuannya agar terciptanya sportivitas dalam pelaksanaan kompetisi dalam bidang seni baca Alquran. Pernah ada kasus yang terjadi pada pelaksanaan MTQ di salah satu daerah di Indonesia, peserta yang tampil bukanlah orang yang sesungguhnya, melainkan orang lain dan tidak diketahui karena wajahnya tertutup cadar. Agaknya, untuk meminimalisir terjadinya ketidakjujuran seperti itulah yang menjadi alasan dan pertimbangan mengapa peserta yang memakai cadar harus membuka cadarnya untuk dilihat wajahnya oleh petugas wanita pada ruangan khusus untuk disesuaikan dengan dokumen peserta sebelum naik ke atas mimbar.
Alasan lain, bahwa ketika membaca Alquran pada ayat-ayat tertentu, Dewan Hakim harus melihat mulut si pembaca supaya bisa menilai secara objektif bacaannya, apakah sudah sesuai dengan makhraj-nya atau tidak. Karena pada posisi ayat tertentu, ada yang tidak dapat dipastikan ketepatan pelafalannya secara jelas kecuali hanya dengan melihat gerak komponen mulut pelafaz-nya seperti posisi lidah dan bibirnya. Misalnya pelafalan ayat yang masuk pada kategori hukum ikhfa, iqlab atau bacaan itsmam dan lainnya. Mendengarkan suaranya saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan melihatnya secara visual agar memastikan ketepatan cara membacanya apakah sudah sesuai dengan makhrajnya atau tidak. Pembukaan cadar pun hanya ketika membaca ayat Alquran saja. Ini lah mengapa pada even MTQ disediakan monitor di depan Dewan Hakim untuk memastikan itu semua, yang tujuan dan alasan utamanya semata-mata adalah objektivitas penilaian, tidak lebih dari itu.
Dewan hakim yang menilai, terikat dengan ketentuan permusabaqahan yang berlaku secara nasional. Orang-orannya dipilih dan ditempatkan sesuai dengan bidang dan kompetensinya. Dalam Buku Pedoman Musabaqah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI disebutkan salah satu norma perhakiman adalah “hakim menguasai ilmu tentang bidang yang dinilai dan mempunyai kecakapan tentang cara penilaiannya”. Pada poin ini, dapat dimengerti bahwa hakim selain menguasai bidang yang akan dinilai, dia juga harus paham tentang cara menilai. Oleh karena, ilmu tentang bagaimana cara menilai pada even musabaqah berbeda dengan cara membaca Alquran. Qari, yang baik dan bagus membaca Alquran dan Hafiz Alquran belum tentu mampu untuk menjadi Hakim untuk menilai, meskipun pada bidang Mujawwad dan Tahfiz yang digelutinya.
Sebaliknya, pada cabang-cabang tertentu seseorang yang hanya menguasai ilmu bidang tersebut secukupnya saja, justru mampu memberikan penilaian yang objektif ketika dia menguasai metode penilaiannya. Cara menilai inilah yang diperoleh dalam pelatihan khusus calon hakim yang dilaksanakan oleh LPTQ baik tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional. Bahkan, syarat untuk menjadi Dewan Hakim dalam per-MTQ-an di antaranya adalah Pernah Mengikuti Pelatihan Perhakiman yang dibuktikan dengan Sertifikat. Karena itu, idealnya Dewan Hakim yang ditunjuk dan dilantik adalah orang-orang pilihan yang dianggap memiliki kompetensi, kapasitas dan kapabilitas untuk menilai sesuai bidangnya. Perlu di ingat, bahwa penilaian bacaan di dalam dan luar musabaqah, berbeda. Dalam musabaqah ada aturan dan ketentuan penilaian yang ditetapkan, yang itu semua tidak diatur pada bacaan di luar musabaqah.
Ala kulli hal, aturan dan ketentuan yang dibuat dan ditetapkan dalam sistem Musabaqah Tilawatil Quran adalah sebuah kemestian yang harus dipatuhi oleh seluruh peserta dan Dewan Hakim. LPTQ berkewajiban mensosialisasikan perkembangan aturan ter-update mengenai permusabaqahan itu kepada seluruh peserta. LPTQ dan panitia pelaksana hendaknya berkoordinasi secara intens untuk meminimalisir kesalahfahaman demi terciptanya even MTQ yang berkualitas. Jika itu telah diterapkan dan ada peserta yang tidak siap memenuhi aturan itu bahkan lebih memilih untuk konsisten dengan paham pengamalan Agamanya, maka pilihan untuk tidak ikut dalam permusabaqahan adalah sebuah alternatif. Toh tidak ada nas sharih dan qath’i yang mewajibkan untuk mengikuti even kompetisi dalam bidang seni baca Alquran itu.
Atas apa yang terjadi pada even MTQ di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara yang menjadi perhatian publik hari ini, menurut informasinya murni karena kurangnya koordinasi panitia pelaksana dengan Dewan Hakim yang bertugas. Demi untuk meredam psikologi masyarakat yang terlanjur “gerah” dengan kejadian itu, maka permintaan maaf dari panitia juga adalah sebuah keniscayaan. Wallahu a’lamu[]
Penulis adalah Anggota Dewan Fatwa Al Washliyah dan Pengurus MUI Sumut.