_Ngeshare bersama Diplomat Da’i Abdul Mun’im Ritonga_
Oleh: Fahmi Salim
ISLAM akan berbenturan dengan Barat, bukan disebabkan faktor ideologis atau ekonomi, tapi disebut oleh Samuel P. Huntington karena faktor benturan peradaban (the clash of civilization). Pada masa depan, identitas peradaban itu begitu penting untuk menguatkan siapa yang akan memenangkan peradaban. Namun, tesis ini tak semuanya benar. Karena, Islam sesungguhnya bukanlah representasi dari Timur, atau pun Arab. Islam adalah agama rahmat bagi alam semesta, yang artinya Islam bisa diterima dimana pun, sebab ia bersifat universal tanpa membedakan warna kulit atau suku bangsa mana pun.
Inilah yang bisa menjelaskan potret perkembangan Islam yang saat ini begitu pesat di beberapa negara barat. Sebagaimana pengalaman yang dituturkan Diplomat Senior Abdul Mun’im Ritonga, SH. MH. di KJRI Frankfurt Jerman, dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), _”Ngaji Dulu, Alim Kemudian.”_ “Saya menyaksikan langsung bagaimana perkembangan Islam di Eropa,” ungkap diplomat kelahiran Medan ini. Bahkan, ada kejadian unik yang terjadi di Georgia USA, setiap Sabtu, banyak orang ngantri untuk masuk Islam. Subhaanallah.
Saat ini, memang Barat menunjukan superioritasnya untuk hegemoni dunia dalam berbagai bidang, termasuk dalam diskursus intelektual. Barat berusaha mengkaji Islam dan Timur dengan istilah yang mereka sebut orientalisme. Sayangnya, masih banyak sarjana barat yang terpengaruh prasangka negatif terhadap Islam, apalagi disiplin keilmuan ini masih terkait dengan ambisi politik dan ekonomi. Begitu pula dengan media barat, masih ada yang menyajikan Islam dengan sinisme dan stereotype, yang merugikan dan membuat framing Islam dengan radikalisme dan terorisme.
Namun, munculnya islamphobia tak memancing reaksi negatif warga muslim, bahkan, generasi milenial umat Islam yang sudah menetap di negara-negara barat, sudah terintegrasi secara sosial, dan tak dipersoalkan lagi isu kewarganegaraannya. Menjadi muslim itu bisa berada di mana saja, bisa berwarganegara Amerika Serikat, Inggris, Belanda atau Jerman. Ditambah lagi, makin banyaknya mualaf dari orang-orang berkulit putih semakin menyatukan masyarakat muslim, dalam kehidupan yang plural. Karena itu, menurut Abdul Mun’im, sekarang tidak relevan lagi mengangkat isu barat dan timur dalam konteks agama Islam. Karena, Islam sudah diterima dengan baik oleh masyarakat barat.
Banyak ilmuwan barat yang melihat Islam secara jujur, misalnya John. L Esposito yang menulis sebuah buku berjudul “The Future of Islam.” Ia menjelaskan perkembangan Islam hari ini, sebagai agama yang tumbuh begitu pesat di Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Australia. Keberadaan umat Islam yang kini sudah memasuki berbagai elemen kehidupan, memengaruhi ekonomi, politik, budaya, pendidikan, menunjukkan keberadaan mereka sungguh strategis. Barat tak lagi bisa memaksakan cara pandangnya terhadap Islam yang keliru, karena Umat Rasulullah ini memiliki kekhasan dalam bersikap, sebagai bentuk kearifannya, karena terikat dalam ketundukan kepada Alloh dan Rasul-Nya, sekaligus bisa berbuat kebajikan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan latar belakang agama dan sosial budayanya.
Islam adalah agama yang relevan untuk setiap perkembangan zaman, tidak mengharamkan kemodernan, bahkan menjadi penggerak kemajuan, sekaligus memberi ruang spiritualitas yang tidak kaku. Karena itu, seorang orientalis terkenal, HAR Gibb memuji ajaran Islam. Menurutnya, “Islam bukanlah semata-mata ajaran ibadah dan upacara, bahkan Islam meliputi politik dan kenegaraan, sosial dan ekonomi, undang-undang dan kekuasaan, serta perang dan perdamaian. Islam adalah satu sistem yang hidup.”
Setiap muslim menjadi duta bagi agamanya sendiri, sebagaimana yang dirasakan oleh Abdul Mun’im. Diplomat yang juga aktivis dakwah sejak masih muda ini merasa bertanggungjawab untuk membangun citra Islam lebih baik, yang ia sebut dengan istilah ‘diplomasi religius’. Selain menjalankan tugas kedinasannya sebagai diplomat, beliau juga aktif sebagai pimpinan sebuah ormas Islam, PB Al Washliyah.
Dalam dunia diplomasi, menurut Abdul Mun’im, menggunakan pendekatan agama itu terbukti lebih sukses, karena melibatkan ikatan emosional. Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim, seharusnya menjadikan sebagai aset dalam dunia diplomasi untuk ikut berperan dalam dialog antar agama, untuk menepis kesalahpahaman dalam kehidupan beragama. “Kalau kita masih mau, ayo kita angkat harkat dan martabat bangsa ini sebagai pemimpin dunia Islam,” tegasnya.
Kesalahpahaman terhadap Islam saat ini mulai menurun, apalagi sejak peristiwa serangan ke menara kembar World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di Amerika Serikat. Umat Islam yang awalnya tertuduh sebagai teroris, akhirnya terungkap drama konspirasi yang dilakukan Amerika Serikat sendiri. Begitulah, Allah Ta’ala membuka semua makar musuh-musuh Islam. Warga barat menjadi penasaran dengan Islam, dan mereka mulai mempelajarinya, sehingga Allah memberi mereka hidayah.
Masyarakat barat mulai menyadari bahwa selama ini mereka tertipu dengan kampanye negatif tentang Islam. Mereka sudah membuktikan langsung kebaikan orang-orang Islam yang tinggal bersama mereka. Di Jerman, misalnya, sejak tahun 1950-an, banyak pendatang dari Turki yang menetap di Jerman, yang membentuk pluralitas etnis dan keyakinan agama. Jumlah umat Islam di Jerman mencapai sekitar 4,5 juta, atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk Jerman yang mayoritas sekuler, sebagaimana yang dilaporkan Goethe-Institute Indonesia.
Kota-kota seperti Berlin, Cologne dan Hamburg selain memiliki bangunan-bangunan masjid yang representatif juga merupakan pusat dari kehidupan umat dan budaya Islam di Jerman. Sikap warga Jerman yang hormat dengan perbedaan agama, menurut Abdul Mun’im, menunjang kehidupan umat Islam menjadi lebih baik dalam menjalankan syariat, misalnya mereka tidak pernah mempersoalkan muslimah yang mengenakan jilbab.
Masyarakat barat yang rasional juga menerima beberapa imigran muslim yang berprestasi untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan. Di Amerika Serikat, misalnya Sadaf Jaffer yang menjabat sebagai Wali Kota Montgomery, New Jersey, pada Januari 2019. Selain sebagai muslimah pertama yang menjabat wali kota di AS, dia juga perempuan keturunan Pakistan pertama yang menjadi wali kota di Negeri Paman Sam itu.
Contoh lainnya, Dr. Saud Anwar, yang pernah menjadi wali kota di South Windsor, Connecticut selama dua periode, kini menjabat Senator dari Partai Demokrat yang terpilih pada Februari 2019. Keith Ellison juga menjadi muslim pertama anggota Kongres AS. Awalnya, ia dibesarkan dalam keluarga Katholik di Detroit, Michigan, kemudian pada usia 19 tahun, ia berpindah agama dari Katholik ke Islam. Selain itu, masih banyak lagi orang-orang Islam yang memegang jabatan penting di birokrasi.
Perkembangan Islam di dunia terus meningkat. Jumlah populasi umat Islam yang saat ini 1,7 Miliar orang. Menurut data PEW Research Center, diperkirakan akan mencapai 2,7 Miliar orang pada tahun 2050 dan suatu saat umat Islam akan mendominasi penduduk bumi ini. Meski demikian, perkembangan Islam ini bukan tanpa kendala. Justru, seperti yang dilaporkan Amnesty Internasional pada 2012, kaum muslim termasuk yang paling banyak menjadi korban diskriminasi di negara-negara Eropa. Gelombang Islamphobia sudah berlangsung lama, dan muncul secara terorganisir melibatkan pemerintah dan media massa.
Namun, upaya untuk menutup cahaya Islam itu tak akan berhasil. Karena, Allah Azza wa Jalla pemilik agama ini. Bahkan, masyarakat barat yang hidup dalam dunia materialisme menemukan titik frustasinya. Karena, apa yang diberikan dunia materi hanya memberikan kebahagiaan yang semu. Materialisme telah melahirkan kehidupan individualisme dan hedonisme. Hidup mereka hanya untuk bersenang-senang, karena tidak percaya adanya hari akhir. Mereka pun tidak suka dengan semua aturan yang ditetapkan agama, karena membatasi kebebasannya. Maka, lahirlah sekularisme. Mereka tinggalkan rumah ibadah dan menolak agama ikut campur dalam urusan dunia.
Islam hadir dengan memberikan cara pandang yang lain. Kenikmatan dalam Islam bukanlah kesenangan yang bersifat materialistik. Puncak kenikmatan adalah kenikmatan iman. Karena itulah, yang membedakan manusia dengan binatang, yang tidak memiliki akal untuk merancang visi dan misi hidupnya.
Kehidupan orang yang mementingkan kenikmatan dunia sudah diulas dalam surah al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya “Orang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan sekitarnya mereka dahulu (di dunia) menjadi seorang muslim” (QS Al-Hijr: 2). Pada ayat selanjutnya, ayat ke-3 dalam surat al Hijr, Alloh kembali menegaskan, “Biarlah mereka di dunia ini, makan dan bersenang-senang dan dihalalkan oleh angan-angan (kosong) mereka kelak, mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” Rangkaian ayat 1-5 surah Al-Hijr ini dibaca oleh Abdul Mun’im dengan sangat baik dan merdu.
Orang yang beriman itu memiliki tujuan hidupnya yang mulia, akan rela berkorban di dunia demi kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Mereka rela untuk menjalani kehidupan di dunia dengan penuh kesulitan dan kesengsaraan, sebagaimana yang dahulu ditunjukan oleh para pejuang kemerdekaan. Mereka rela dijebloskan ke dalam penjara, merasakan berbagai siksaan fisik demi memperjuangkan sebuah prinsip dalam agamanya. Mereka pun berkata, “lebih baik berkalang tanah daripada hidup dijajah.”
Inilah ajaran Islam yang menjadi penggerak jiwa bagi orang-orang beriman. Semua orang akhirnya merindukan ketenangan batin dan kebahagiaan yang hakiki, berjumpa dengan Robb Penguasa alam semesta ini. Cara pandang hidup ini telah dan akan selalu mengetuk pintu hati umat manusia dan fitrah kemanusiaannya. Tak mengherankan, banyak penelitian yang meyakini bahwa Islam akan menjadi agama yang mendominasi di muka bumi.
Begitulah Alloh mentakdirkan agama hanif ini, sebagaimana dalam sebuah hadist nabi shallaallahu alaihi wa sallam, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghimpun (mengumpulkan dan menyatukan) bumi ini untukku. Oleh karena itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku itu”. (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi)
Namun, kejayaan Islam akan kembali bangkit, bukan tanpa ikhtiar manusia. Kita diperintahkan Allah Ta’ala berjuang di jalan-Nya, untuk membuktikan siapa diantara kita, yang telah melakukan amal sholeh terbaiknya dan lolos dalam berbagai ujian hidup di dunia.[]
Wallahu ‘alam.
Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI.
Saksikan sajian lengkapnya di link ini: