Oleh: Tgk. A. Hamid Usman
NAMA aslinya adalah Bahauddin Syah Naqshabandi, 717 H (1317 M). Beliau lahir Di Qasr Hinduan yang kemudian dikenal dengan Qasr al Arifan. Letak makam beliau dipinggir jalan raya yang menghubungkan Provinsi Bukhara dengan Samarqan. Tanah disekitar makam sangat subur, lahan pertanian nan hijau. Angin semilir bertiup dari dedaunan, membuat suasana seperti di tengah perkebunan padang sahara.
Di depan komplek makam Imam Bahauddin Naqsyabandi berdiri pintu gerbang yang sangat kokoh. Bila dipandang dari jalan raya, dapat dibaca tulisan kaligrafi ayat-ayat Alquran yang sangat indah, ditulis dengan kramik berwarna, dengan pewarnaan yang teduh, bercirikan khas Persia.
Ketika kita memasuki gerbang, kita akan menoleh kekanan dan kekiri. Para pekerja mengurus makam dengan ramah menghampiri, mempersilakan untuk berwudhuk atau sekedar qadha hajat. Para petugas ini pegawai negeri yang digaji oleh negara, mereka tidak meminta uang tip atau sedekah lainnya, seperti laiknya ziarah ditempat lain. Cara seperti ini membuat para peziarah merasa sangat nyaman.
Suasana di tempat wudhuk ini sangat bersih, tertata, dan tidak ada sepotong sampah terbuang di lantai, apalagi kotoran. Kebersihan ini didukung oleh pembangunan yang terencana. Usai berwudhuk, bekas kaki yang mebasahi lantai langsung di pel oleh petugas agar cepat kering. Menariknya, usai wudhuk, petugas memberikan handuk kecil untuk mengelap muka, tangan dan kaki. Handuk bekas tersebut kemudian disimpan dalam keranjang plastik untuk dicuci. Saya perhatikan semua orang usai berwudhuk diberikan kain handuk kecil itu, sebagai bagian dari pelayanan kepada orang yang datang berziarah.
Tidak ada tulisan dilarang memakai alas kaki, sendal atau sepatu kedalam ruang wudhuk, semua orang masuk memakai sendal dan sepatu. Karena itu setiap orang keluar dari tempat tersebut, segera di pel dengan handuk pengepel khusus, bersih tidak ada kotoran sekecil apapun jua.
Jalan menuju masjid di sisi kanan dan kiri ditanami pohon dan bunga. Saat kami berziarah, bunga2 tersebut sedang semerbak, mengeluarkan bau harum yang sangat menggoda. Taman kecil itu juga ditanami kayu pelindung. Di tengah antara satu pohon dengan pohon yang lain, ungkapan Imam Bahauddin al Naqshabandi ditulis dengan hurup kapital, dalam dua bahasa, Rusia dan Inggris, mengingatkan orang akan nasehat dan petuah-petuah beliau untuk pegangan hidup.
Di depan jalan menuju makam, beberapa orang duduk mendengarkan bacaan Alquran dari seorang anak muda, dengan mengenakan peci khas muslim Uzbek. Saya ikut duduk dan menyimak bacaan Alquran. Bacaannya murattal, dan iramanya hampir sama dengan suara saudara kita yang berasal dari Turkye.
Saya salah persepsi dengan majlis bacaan Quran ini. Saya berpikir, usai majlis ini akan ada pemberian uang kepada ustad tersebut, baik berupa sedekah, infak atau lainnya. Ternyata tdk ada pemberian sedekah, yang ada hanya sebuah kotak amal yang terbuat dari besi, dan disegel dengan kertas berwarna kemerahan, bertuliskan jumlah penerimaan kotak amal waktu dibuka sebelumnya. Kotak amal ini dikelola oleh negara, bukan atas nama pribadi. Masya Allah transparansi keuangan ummat yang luar biasa, perlu dicontoh guna menghindari fitnah dalam pengelolaan uang milik ummat.
Saya mengajak ustad ini untuk bercakap2 sejenak tentang al Imam Bahauddin Naqsyabandi, saya memulai dengan bahasa arab fushha (fasih). Beliau menjawabnya dengan fasih. Tetapi sayang, tamu peziarah lain datang, beliau harus membaca alQuran dan doa untuk jamaah tersebut. Pembicaraan kami berakhir dengan photo berdua sebagai kenangan.
Makam Imam Bahauddin berada di tengah halaman dalam (suhun) masjid. Makam imam dipagar dengan beton. Di sekitar tembok beton tersebut ditanami bunga berwarna-warni, terawat rapi. Tidak ada kesan makam ulama besar ini angker dan kotor. Kita tidak dapat melihat bentuk makam Imam Bahauddin. Di atas dinding beton dibuat ornamen berbentuk kubah kecil, sebagai ciri khas arsitektur masjid.
Di arah kepala makam terdapat dua pohon rindang sebagai pelindung dan penghijauan. Di bawah pohon tersebut terdapat kursi. Di depan tempat duduk yang melingkar, terdapat tulisan dalam bahasa Arab, menjelaskan tentang imam Bahauddin Naksyabandi. Tidak jauh dari tulisan tersebut terdapat kotak amal dari besi, disegel dengan kertas kwitansi, yang bertuliskan jumlah angka infak kotak amal terakhir dibuka.
Saya memperhatikan setiap peziarah tidak ada yang mambawa amplop/kertas bertuliskan pesan-pesan kepada Imam Bahauddin, seperti yang dilakukan orang awam, syiah serta lainnya ketika menziarahi makam sesepuh mereka. Juga tidak ada orang menangis sembari meratap sambil menepuk-nepuk dada. Rata-rata ketika para peziarah memasuki komplek pemakaman membaca doa ziarah kubur, seperti yang diajarkan oleh baginda Nabi Saw. Ini salah satu ciri orang berpikir cerdas, bahwa orang yang berpulang kerahmatullah itu telah selesai urusan dunianya, tinggal orang hidup yang mendoakannya.
Apa yg dilakukan oleh para peziarah di makam Bahauddin al Naksyabandi, menarik untuk dikaji, karena para pengikut tarekat beliau di luar kota Bukhara, atau wilayah lain dunia ini, mereka membuat aturan yang menyalahi apa yang diajarkan oleh Imam Naqsyabandi dan adab berziarah ke makam.
Di bagian belakang masjid ini terdapat menara yang sangat tinggi. Menara ini dibuat dengan menggunakan batu bata, bentuknya bulat melingkar. Tidak menggunakan besi baja untuk penguat bangunan. Cara pembangunan menara masjid seperti ini hampir sama di seluruh masjid Uzbekistan, seperti bangunan-bangunan bersejarah di Bukhara, tempat kelahiran al Imam al Bukhari ra.
Bangunana di sekitar menara masjid Imam Bahauddin terdapat ruang perkantoran pengelola masjid. Bangunan terakhir dari masjid ini terdapat bangunan masjid zaman dahulu, menjadi bukti sejarah bahwa tarekat an Naqsyabandiyah terus berkembang dan dilanjutkan oleh para murid beliau sampai saat ini.[]
Bukhara, 22 Juli 2019
Penulis adalah Anggota Dewan Fatwa Al Jamiyatul Washliyah