Oleh: Affan Rangkuti
SEKURANGNYA Allah Swt menyampaikan tentang haji dalam Alquran sebanyak 18 ayat dengan beberapa tematik. Tematik pertama tentang perintah haji, QS Ali Imran: 97 dan QS Al Hajj: 27-32. Tematik kedua tentang bulan haji, QS Al Baqarah: 197. Tematik ketiga temtang hewan kurban haji, QS Al Maidah: 2 dan 97. Tematik keempat tentang haji tamatu’, QS Al Baqarah: 196. Tematik kelima tentang haji akbar, QS At Taubah: 3. Tematik keenam tentang bulan sabit tanda waktu haji, QS Al Baqarah: 189. Tematik ketujuh tentang Nabi Ibrahim mohon petunjuk tentang cara haji, QS Al Baqarah: 128. Tematik kedelapan tentang tata cara berhaji, QS Al Baqarah: 196 dan 203. Tematik kesembilan tentang larangan selama berhaji, QS Al Baqarah: 197, dan Tematik kesepuluh tentang pemberian minum orang haji, QS At Taubah: 19.
Bahkan haji merupakan salah satu surah dari 114 surah, tepatnya pada surah yang ke-22 Al Hajj turun sebagian di Makkah dan sebagian lagi di Madinah dengan 78 ayat. Ada yang diturunkan saat malam dan ada pula disaat siang hari. Isinya ada yang berhubungan dengan peperangan dan ada pula yang berhubungan dengan perdamaian, ada ayat-ayatnya yang muhkam (mudah diketahui maksudnya) dan ada pula yang mutasyabihaat (diketahui maksudnya oleh Allah Swt).
Dari 6.348 ayat Alquran, 18 ayat mengupas tentang haji dan dari satu surah dari 114 bahkan menyematkan nama haji. Namun sungguh sangat disayangkan, rukun Islam yang kelima ini seolah menjadi rukun yang terisolasi dari 4 rukun Islam lainnya. Mengapa? Karena dakwah tentang haji biasanya dilakukan pada menjelang keberangkatan jemaah haji (walimatus safar) dan saat Wukuf di Arafah.
Lebih ironi lagi, ada prilaku-prilaku yang sepertinya mengabaikan muhkam atas ayat tentang haji. Misalkan saja yang menjadi umum terjadi, “Saya sudah tua, belum tentu esok lusa saya masih hidup. Percepatlah keberangkatan haji saya.”
Ada lagi hal yang serupa walau tak sama, “Saya sakit dan saya ingin mati dan dikuburkan di Makkah atau Madinah.” Pernyataan-pernyataan seperti ini bagai menafikan nash qod’i dan kisah-kisah sufi serta kisah-kisah sahabat lainnya. Belum lagi bagaimana beberapa pernyataan yang meracuni kontekstual perjalanan ibadah suci ini. Ditenggarai sebagai pemicu terpuruknya rupiah, koruptor banyak yang bergelar haji dan lainnya. Bagai menelan pil pahit dan digedor palu raksasa, panas hati dan terbakar jiwa untuk mematahkan tulang leher yang meberikan pernyataan tersebut. Namun, bagaimana lagi, pada kenyataannya apa yang disampaikan boleh jadi ada kebenarannya.
Memilih pilihan Iblis mungkin lebih tepat, daripada memilih perintah Allah Swt. Hingga salah satu ulama besar sampai meluapkan rasa emosionalnya dengan mengatakan Allah Swt tidak membutuhkan haji. Pernyataan keras ini melihat bagaimana hubungan manusia dengan manusia nyaris terputus. Angka kemiskinan tinggi, kriminalitas merajalela, sifat kedermawanan menjadi hal yang mahal. Seandainya Anda ingin dan mengebu-gebu untuk berhaji, namun disaat itu Anda melihat ada orang miskin yang sangat butuh melangsungkan hidupnya maka mana yang Anda pilih, memberikan uang untuk berhaji atau Anda melanjutkan niat dan membayar biaya haji?
Banyak literatur tentang haji yang mengharapkan kita untuk lebih memahami apa itu haji yang sebenarnya. Ada buku Al Hajj, karya besar Dr. Ali Syariati, Haji Pengabdi Setan, karya KH Ali Mustafa Yakub dll. Buku-buku ini mengkritisi personal-personal untuk mampu bermuhasabah bagaimana peran ibadah haji baik bagi diri maupun sosial secara general. Sayangnya, kita memang memiliki budaya yang gemar mendengar dan membaca hoaks daripada membaca literatur-literatur para pemikir dan ahli.
Banyak kekwatiran kita atas problematika haji dalam dimensi hubungan antar manusia dan manusia, manusia dengan Allah Swt. Perkembangan itu ditandai dengan ungkapan kebenaran dari sebuah konspirasi buah pikir tokoh agnostik ulung Snouck Hurgronje seabad silam, bahwa perbanyak jemaah haji dan tidak perlu untuk dibatasi dengan seleksi. Karena seleksi akan membuat tingkat ketakwaan dan memunculkan gerakan-gerakan masif perlawanan. Perlawanan yang akan membuat tidak nyaman kepemimpinan. Semakin banyak para haji tanpa seleksi maka gelar haji akan menjadi hal yang biasa-biasa saja.
Gelar haji saat ini menjadi hal yang biasa saja, bahkan cenderung bergeser pada arah yang tak diharapkan. Lebih terperanjat lagi, manakala perjalanan suci ini lebih menonjolkan kapitalistik dan hedonis daripada substansi ibadahnya. Penipuan bukan barang baru dengan beragam kemasan, anehnya tidak sedikit personal yang menginginkan sahwat berhajinya walaupun menabrak dan mencederai hukum positif maupun syariah. Akankah ini pertanda bahwa suatu ketika nanti akan ada ungkapan apakah surga dan neraka itu ada?
Bogor (13/10/2018).
Penulis adalah Anggota Pengurus Besar Al Washliyah.