Oleh. Irwansyah, M.H.I
WALAU telah berulang kali menjadi topik pembahasan dalam tulisan maupun ceramah, kelihatannya tema tentang ibadah kurban dan seluk- beluk hukum pelaksanaannya masih tetap hangat untuk dibicarakan. Persoalan boleh atau tidaknya panitia kurban atau pekurban untuk menjual kulit dan bagian lain dari hewan kurban, berkurban produktif dengan uang tunai atau dengan memberikan langsung hewannya untuk dipelihara tanpa menyembelihnya, dan tidak sahnya berkurban jika belum berakikah, terus menjadi pertanyaan di berbagai majelis taklim. Secara sederhana, penulis akan mengulasnya dalam tulisan ini dan mengemukakan fatwa-fatwa MUI Sumatera Utara seputar ibadah kurban dengan harapan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang bagaimana seyogianya pelaksanaan ibadah kurban yang sesuai dengan syariat Agama Islam.
Pertama, persoalan menjual kulit hewan kurban atau menjadikannya sebagai upah. Dari beberapa informasi yang penulis terima, lazim panitia kurban menjual kulit dan bagian lain dari hewan kurban dengan alasan supaya bisa dimanfaatkan sudah lazim terjadi. Uang hasil penjualannya didistribusikan kepada panitia pekerja yang mengelola kurban atau orang miskin dan anak yatim di seputar lingkungan tempat di mana kurban disembelih. Praktik seperti ini terus berlangsung sepanjang tahun, namun bagaimana seharusnya menurut pandangan syariat, apakah hal itu dibenarkan?
Nabi saw. dalam sebuah hadis mengatakan, “Siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya”. Dalam hadis lain riwayat Ahmad, Nabi Saw. juga melarang untuk menjualnya. Ali ra. juga meriwayatkan, bahwa “Rasulullah saw. memerintahkan aku untuk mengurusi untanya (yakni ketika nahar), dan aku mendistribusikan kulit dan bulunya dan tidak memberikan sesuatu apapun kepada penyembelih hewan kurban itu.” Rasul berkata, “Kami memberikan kepada penyembelih dari sisi kami” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama juga banyak menjelaskan ketidakbolehan untuk menjualnya atau memberikannya sebagai upah kepada penyembelih. Di antaranya, dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah az-Zuhaily, jilid IV halaman 2741, menjelaskan “Tidak boleh memberikan kulitnya atau sesuatu apapun dari kurbannya kepada penyembelih sebagai upah karena menyembelih.”, dalam kitab al-Kalam at-Thayyib Fatawa ‘Ashriyah karya Syekh Ali Jum’ah halaman 386, menjelaskan, “Adapun memberikannya kepada si penyembelih tidak boleh bahwa itu sebagai upahnya. Maka mestilah hal itu di luar dari upahnya.”
Selain itu, penjelasan yang senada juga bisa dibaca dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri, karya Syekh Ibrahim al-Baijuri, jilid II halaman 311; Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub, karya Imam al-Kurdi halaman 233; dan Fiqh as-Sunnah karya Syekh Sayyid Sabiq, jilid III halaman 192.
Merespon persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat di Sumatera Utara, MUI Sumatera Utara pada Agustus 2016 mengeluarkan fatwa, bahwa “Orang yang berkurban atau wakilnya, haram menjual dan menjadikan upah, kulit, daging dan bagian lainnya dari hewan kurban”. (Fatwa MUI SU/2016).
Kedua, kurban produktif dengan uang tunai atau hewan kurban tanpa menyembelihnya. Perlu difahami, bahwa kurban adalah sebuah terminologi ibadah yang berdiri dan terikat dengan makna isthilahi-nya. Defenisinya jamik dan manik. Secara syar’i, kurban berarti “Menyembelih hewan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. pada waktu tertentu (hari raya Adha dan tasyrik). Defenisinya jelas bahwa kurban haruslah dengan menyembelih hewan kurban, bukan degan memberikannya dalam bentuk hidup atau dengan nilai harganya saja.
Memberikan benda atau uang sebagai sebagai kurban, hukumnya tidak sah. Wahbah az-Zuhaily jelas dengan tegas menyebutkan ketidak-sah-annya dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz IV halaman 245. Karena persoalan ini sepanjang tahun juga terjadi, MUI Sumatera Utara sudah pernah mengeluarkan fatwa pada tahun 2014 yang di antara isinya: (1) berkurban adalah dengan menyembelih hewan tertentu, di antaranya sapi, lembu, kerbau atau kambing (2) tidak sah berkurban dengan menyerahkan hewan kurban tanpa disembelih, kecuali dengan mewakilkan penyembelihannya kepada panitia atau lembaga tempat penyerahan hewan kurban. Jika kita kembali pada sejarah awal, pada masa Rasul dan sahabat sudah ada mata uang dinar dan dirham, namun Rasul tetap berkurban dengan menyembelih hewan, bukan dengan uang setara nilainya. Karena itu, secara syar’i berkurban hanya sah dengan menyembelih hewan, bukan dengan memberikan nilainya dalam bentuk uang atau hewan hidup untuk dikembangbiakkan. Memberikan dalam bentuk uang dan hewan tanpa disembelih bisa dengan jalan lain seperti sedekah, hadiah dan lainnya.
Ketiga, tidak boleh/tidak sah berkurban sebelum berakikah. Jika dilihat dalam berbagai literatur, bahwa antara kurban dan akikah “tidak ada hubungan” yang bisa saling membatalkan antara keduanya. Hanya memang kriteria syarat hewan kurbannya adalah sama. Kurban dan akikah adalah ibadah yang masing-masing berdiri dengan defenisinya sendiri. Akikah memang menyembelih hewan sebagaimana kurban, hukumnya juga sunat, akan tetapi pembebanan kesunnahannya kepada orang tua dan waktunya dimulai sejak hari kelahiran bayi sampai sebelum habis masa nifas ibunya (H.M Arsyad Thalib Lubis, Ilmu Fiqih, hlm. 93).
Akikah boleh jika dilaksanakan setelah berakhir masa kesunahannya, bahkan seseorang boleh mengakikahkan dirinya sendiri pada usia dewasanya. Akan tetapi, berakikah ketika dewasa, adalah boleh, tidak sunnat lagi. Karenanya, jika pada hari raya kurban dan hari tasyrik seseorang hanya mempunyai kesanggupan untuk membeli seekor kambing saja, idealnya dia berkurban kendatipun belum pernah melaksanakan akikah, karena pada saat itu, berkurban hukumnya sunnat sementara akikah tidak.
Kendatipun jika tetap ingin melaksanakan akikah tanpa berkurban, hal itu sah-sah saja. Akan tetapi yang perlu jadi pertimbangan hukum adalah kurban waktunya terbatas pada hari raya kurban 10-13 Zulhijah saja, sementara akikah boleh kapan saja. Jadi, pemahaman tidak sahnya berkurban jika belum berakikah perlu diluruskan karena ini masalah ini bisa membingungkan umat dan secara syar’i juga menyalahi aturan Agama.
Berbagai masalah di atas adalah sebahagian persoalan yang terjadi di masyarakat terkait ibadah kurban. Masih banyak kasus lain yang jika dibahas secara rinci dan mendalam akan menghasilkan buku setebal tesis.
Memang, kurban adalah ibadah sunnat muakkad, tidak wajib. Akan tetapi tetapi jika pelaksanaannya menyalahi aturan syariat tentu kualitas dan nilainya akan berkurang bahkan tidak diterima Allah Swt. Karena itulah, walau telah berulang kali, nampaknya dakwah melalui tulisan dan lisan tentang tatacara pelaksanaan kurban perlu disampaikan kepada umat, dalam rangka meluruskan berbagai hal yang keliru dan tidak sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam []
Penulis adalah Anggota Komisi Fatwa MUI Kota Medan, Dewan Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah Pusat dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara. Email: asseikepayangi@ymail.com