BerandaOpiniPancasila, Demokrasi, dan Hipokrisi Intelektual

Pancasila, Demokrasi, dan Hipokrisi Intelektual

REPUBLIK Indonesia yang kita cintai ini didirikan dengan sebuah cita-cita luhur yang dirumuskan oleh para bapak pendiri negara dalam lima prinsip yang kita kenal sekarang sebagai Pancasila. Namun tidak banyak dari generasi muda di masa sekarang yang memahami apa makna Pancasila sesungguhnya. Pancasila kian menjadi slogan kosong yang terus menerus diulang tetapi jauh dari pelaksanaan di segala lini kehidupan. Hal ini terjadi tidak lain karena penafsiran terhadap Pancasila itu sendiri telah berubah. Untuk memahami tentang perubahan penafsiran ini, maka kita harus kembali melakukan refleksi kepada sejarah.

Semua bermula pada tanggal 29 Mei 1945 yang merupakan hari bersejarah yang teramat penting dalam perumusan Pancasila. Pada hari itu Muhammad Yamin memberikan pidato di hadapan Badan Persiapan Upaya Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang “Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Muhammad Yamin menuangkan pemikiran kenegaraannya ke dalam lima poin, yakni Peri Kebangsaan (nasionalisme), Peri Kemanusiaan (humanisme), Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan (demokrasi representatif/permusyawaratan), dan Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial). Muhammad Yamin secara tegas menyatakan bahwa dirinya menolak paham-paham yang bersifat federalisme, feodalisme, liberalisme, otokrasi, monarki, dan demokrasi Barat. Sehingga yang ia harapkan adalah pendirian Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang diperintah mengikut prinsip syuro (keislaman) atas dasar asas nasionalisme.

Pada kesempatan sidang BPUPKI berikutnya yakni pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno kemudian menyusul memberikan pemikirannya mengenai dasar negara. Beliau juga mengajukan lima poin yang terdiri dari nasionalisme, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Meskipun pada poin-poin yang lain tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemikirannya dan Yamin, namun Soekarno sangat jauh berbeda dalam tiga butir pemikiran, yakni internasionalisme, perwakilan, dan ketuhanan. Internasionalisme merupakan merupakan kelanjutan dari nasionalisme di mana Soekarno meyakini bahwa Indonesia sewajarnya tidak boleh mengisolasi dirinya dari urusan global dan antar negara. Hal ini tentunya untuk menghindari chauvinisme atau nasionalisme yang eksklusif dan untuk menghormati solidaritas kemanusiaan yang universal. Sedangkan dari segi perwakilan, sesungguhnya Soekarno menyepakati nilai musyawarah sebagai yang terbaik, namun ia menganjurkan suatu pemahaman yang lebih universal dan dapat diterima oleh umat agama lain. Soekarno tidak menganjurkan sistem syuro melainkan murni demokrasi representatif yang mayoritarian. Dalam hal ketuhanan Soekarno kurang lebih sepakat dengan Yamin, namun ia lebih banyak menekankan pada unsur toleransi antar umat, di mana ketuhanan yang ia maksud merupakan suatu inklusivitas, suatu kebebasan berkeyakinan. Dalam pidatonya Soekarno berulangkali merujuk kepada San Min Chu I (prinsip nasionalisme, demokrasi, dan kebangsaan Republik Nasionalis Cina) dan mengutip pendapat-pendapat dari Ernest Renan, Otto Bauer, serta Gandhi yang mencerminkan bahwa pemkirannya itu menerima banyak pengaruh dari pemikiran-pemikiran lain.

Kedua pandangan dari Yamin dan Soekarno kemudian dikombinasikan menjadi Piagam Jakarta. Namun oleh karena ketidaksetujuan dari para perwakilan Indonesia Timur di sidang BPUPKI terhadap penerapan syariah Islam, maka poin tersebut dihapus sehingga menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang. Dengan demikian merupakan suatu kesalahpahaman jika dikatakan bahwa Soekarno merupakan satu-satunya perumus dari Pancasila. Pancasila juga bukanlah adaptasi dari Tat Twam Asi dalam Negara Kertagama karena Pancasila itu sendiri merupakan suatu aglomerasi pemikiran modern. Sifatnya sangat sinkretis dan merupakan perpaduan antara tradisi sosio-legal Eropa kontinental, pemikiran nasionalisme Timur, dan Islam yang sesungguhnya saling bertolak belakang. Sehingga semenjak hari pertama perumusannya hingga penetapannya sebagai dasar negara, Pancasila pada hakikatnya bukanlah sebuah ideologi melainkan suatu pernyataan konsensus politik antara seluruh golongan yang tergabung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan suatu kesepakatan yang menjembatani pandangan yang berbeda-beda dari kaum nasionalis, Islamis, dan Sosialis. Oleh karena negara masih dalam periode formatif awal dan baru akan memasuki masa revolusi, kesepakatan ini masih belum ditindaklanjuti lebih jauh untuk melahirkan ideologi yang utuh dalam rangka pembangunan kebangsaan hingga selesai masa revolusi.

Setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1949 hingga tahun 1959 para pemimpin kita masih belum sanggup menemukan kata sepakat dalam hal menentukan haluan dan panduan kehidupan bernegara hingga akhirnya Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah masa itu proses pembangunan kebangsaan diambil alih secara langsung oleh Soekarno dengan memberlakukan kembali UUD 1945 serta memperkenalkan sistem demokrasi terpimpin, Sosialisme, Ekonomi Terpimpin, dan kepribadian Indonesia melalui pidatonya yang dikenal sebagai Manipol Usdek. Pedoman pelaksanaan pembangunan kebangsaan lebih banyak disandarkan pada prinsip-prinsip sosialisme ala Indonesia yang disebut oleh Soekarno sebagai Marhaenisme. Sebagai konsekuensinya pada masa Orde Lama, Pancasila ditafsirkan sebagai suatu bentuk Marxisme yang disesuaikan dengan kepribadian Indonesia.

Setelah kejatuhan Soekarno, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto mengubah haluan pembangunan kebangsaan Indonesia mengikut pengalamannya sebagai seorang perwira militer. Seoharto mengedepankan prinsip negara integralistik di mana rakyat diperlakukan kurang lebih seperti sebuah organ negara yang diarahkan oleh sebuah pemerintahan korporatis demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sebagaimana halnya Soekarno, Soeharto juga melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Namun perbedaannya Seoharto tidak melakukan itu melalui persuasi massa melainkan dengan indoktrinasi formal dengan membentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas menjalankan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada masa ini Pancasila ditafsirkan sebuah ideologi organisis yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Supomo (negara gotong royong) dan Nasution (Dwifungsi ABRI/militerisme moderat) dengan bungkus supremasi budaya Jawa.

Tiga puluh dua tahun kekuasaan Soeharto yang otoriter mengakibatkan munculnya gelombang ketidakpuasan yang memberi angin bagi kemunculan kelompok pro-demokrasi. Puncaknya terjadi pada tahun 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Sejak saat itu kelompok pro-demokrasi mengambil alih pemerintahan dan pembangunan kebangsaan pun diberikan arah yang baru. Pada masa orde yang menyebut dirinya ‘Reformasi’, Undang-undang Dasar 1945 diamandemen sebanyak empat kali serta sistem ketatanegaraan dan kepemerintahan Indonesia direkonfigurasi ulang. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi dijadikan lembaga tertinggi negara, Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tidak lebih dari lima tahun, serta desentralisasi diberlakukan. Menariknya perubahan UUD 1945 mencerminkan corak ideologi baru yang kini dominan yakni liberalisme. Hal ini sangat terlihat terutama pada Pasal 28 a-j tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan pasal terpanjang dan paling terperinci dalam konstitusi kita. Sehingga jika kita ingin memahami apa penafsiran pada masa sekarang, maka sebaiknya merujuk kepada pasal-pasal UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut. Di satu sisi Pancasila terkesan ditafsirkan sebagai pluralisme, sementara di sisi lain ia merupakan sekulerisme dan demokrasi libertarian yang merupakan jiplakan dari demokrasi Barat.

Pancasila dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi tunggal dan penafsirannya dibiarkan menjadi terbuka. Dengan kata lain, negara tidak lagi menetapkan suatu penafsiran resmi mengenai Pancasila. Hal ini merupakan suatu hal yang janggal karena dengan ketiadaan pembatasan terhadap definisi Pancasila secara formal, maka setiap kelompok akan merasa berhak untuk memiliki penafsirannya masing-masing. Mereka yang berhaluan nasionalis akan mengaku Pancasilais, begitu juga dengan yang Liberalis, sosialis, komunis, dan pro kedaerahan. Ini sesungguhnya mengakibatkan kekacauan dan menyebabkan lemahnya ketahanan ideologis kita dewasa ini. Berbagai ide dengan mudahnya menginfiltrasi pikiran generasi muda kita yang kemudian terhasut oleh pemikiran-pemikiran yang entah dari mana datangnya. Dalam keadaan sekarang para intelektual publik cenderung membeo dengan mengulang-ulang argumentasi yang sama bahwa segala sesuatu yang seolah-olah bersifat seragam itu berlawanan dengan demokrasi, mengungkung kebebasan berpendapat, dan selalu membawa-bawa Pancasila sebagai istilah pamungkas. Padahal yang mereka katakan itu sesungguhnya bukanlah suatu pembelaan terhadap Pancasila, melainkan liberalisme. Paham ini justru sangat dibenci oleh para Bapak Pendiri Bangsa kita dan selalu dihindari oleh rezim-rezim terdahulu. Namun mengapa justru ini yang sekarang dipropagandakan secara membabi-buta?

Kita terus menerus ditipu melalui pembentukan opini di media bahwa seolah-olah pandangan para intelektual liberal adalah yang paling terjustifikasi secara moral dan rasional. Sehingga menjadi terpatri dalam pikiran kita bahwa liberalisme adalah demokrasi yang sejati sedangkan yang lainnya bukan. Hal ini keliru. Sebab jika kita mau membuka mata dan melihat contoh dari negara-negara lain, maka kita akan menyadari bahwa demokrasi liberal itu hanyalah salah satu varian dari sistem demokrasi. Singapura adalah negara totaliter dengan satu partai. Malaysia adalah monarki parlementer yang diperintah oleh koalisi yang sama semenjak merdeka hingga sekarang. Pakistan dan Iran adalah republik Islam. Belum lagi negara-negara komunis seperti Vietnam dan China. Tetapi sesungguhnya semua negara tersebut masih tergolong ke dalam kategori demokrasi hanya saja mereka memilih jalan non liberal. Selain itu syarat-syarat demokrasi yang kerap dirujuk dari buku teks karangan Miriam Budiardjo, setidaknya secara formal, kenyataannya sudah ada pada hampir seluruh negara di dunia. Syarat-syarat ini antara lain adalah perlindungan konstitusional akan hak warga negara; badan kehakiman yang netral dan independen; pemilihan umum yang bebas; kebebasan berpendapat; kebebasan berserikat; dan pendidikan kewarganegaraan. Asumsi ini juga diperkuat oleh pendapat Fareed Zakaria bahwa setidaknya 118 dari 193 negara di dunia saat ini sudah demokratis jika dinilai dari spektrum yang lebih luas terlepas dari liberal atau tidaknya.

Perbedaan sesungguhnya adalah terletak pada derajat penerapan demokrasi sesuai dengan haluan ideologis dan kebutuhan masing-masing negara. Tentu tidak salah jika masing-masing negara memiliki caranya sendiri-sendiri dalam menerapkan demokrasi. Kesalahan kita adalah memandang demokrasi dengan kacamata kuda dan menjadikan demokrasi Barat sebagai kiblat tunggal. Padahal tidak mesti demikian karena ideologi dan sistem politik sewajarnya disesuaikan dengan historisitas masing-masing negara-bangsa sehingga tidak dapat serta merta diimpor dan disalin dari luar. Di Kalangan negara-negara ASEAN, Indonesia selalu membanggakan diri sebagai negara paling demokratis. Namun predikat tersebut tidak lantas membuat negara-negara tetangga berkeinginan meniru sistem demokrasi kita. Mengapa? Jawabannya mudah saja: karena mereka tidak membutuhkannya. Dari sepuluh negara anggota ASEAN hanya Filipina dan Thailand saja memiliki sistem demokrasi liberal menyerupai kita. Itu pun mereka sudah menerapkannya labih dahulu daripada Indonesia.

Sadarkah kita bahwa liberalisme yang kita terapkan ini justru menghasilkan suatu pemerintahan yang lemah, tidak stabil, dan mudah dikontrol oleh kepentingan pemilik modal dan negara asing? Sedikit yang mengetahui dan mau percaya bahwa sejumlah aktivis ormas yang menyebut dirinya pro demokrasi, para intelektual publik yang katanya progresif, dan para politisi yang mengaku mewakili rakyat itu seringkali berperan tidak lebih dari sekedar pion dari kepentingan-kepentingan yang tidak terlihat oleh publik. Belum lagi media arus utama, baik cetak maupun elektronik, yang pandangan ideologisnya cenderung sama meskipun menyuarakan agenda politik yang berbeda-beda tegantung pesanan. Para intelektual publik, aktivis, politisi, dan media sama-sama menyerukan demokrasi di setiap kesempatan padahal yang mereka maksud adalah tirani dalam bentuk yang lebih halus melalui pembodohan massal. Mereka berkilah menyampaikan pendapat secara bebas padahal pendapat yang mereka utarakan itu sesungguhnya sudah disaring terlebih dahulu dan dibingkai sesuai kebutuhan para elit. Mereka mengaku mewakili kepentingan rakyat padahal yang mereka wakili itu sebenarnya kepentingan penguasa, pemilik modal, dan diri mereka sendiri. Inilah senyata-nyatanya bentuk hipokrisi intelektual yang sungguh memalukan dan dipertontonkan kepada kita setiap hari. Hipokrisi intelektual seamcam itu telah lama membunuh Pancasila.

Demi menghidupkan Pancasila agar tidak lagi menjadi slogan kosong, maka tidak ada salahnya jika pemerintah kembali menghidupkan program pembangunan kebangsaan sebagaimana yang pernah dilakukan pada era Orde Baru di masa lampau. Bukanlah suatu hal yang salah jika pemerintah menetapkan suatu penafsiran resmi terhadap Pancasila karena demikianlah hakikatnya suatu ideologi negara. Yakni memiliki batasan yang jelas dan berdimensi formal. Berhubung satu-satunya panduan penafsiran Pancasila paling sistematis yang masih ada hingga sekarang hanyalah yang dahulu disusun pada masa Orde Baru, maka tidak masalah jika kita kembali menggunakannya. Sekiranya ada perkara-perkara yang dianggap kurang relevan masih dapat direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan sekarang. Janganlah kita membuang sumbangsih pemikiran dari generasi pendahulu kita dan menggantinya dengan sesuatu yang belum tentu lebih baik hanya karena kita kecewa pada masa lalu. Sebaiknya kita menyadari bahwa pembangunan kebangsaan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan tidak dapat kita biarkan vakum terlalu lama.[]

Penulis: M.R. Indra Hakim Hasibuan, Aktivis muda Al Washliyah.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille