JAKARTA – Kedatangan ulama dari Mesir Syeikh Mustafa Amr Wardani yang diinfokan berbagai media akan menjadi saksi ahli meringankan dalam kasus penistaan Al Quran oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mendapat perhatian luas berbagai kalangan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sampai mengeluarkan surat ‘protes’ ke Grand Syeikh Al Azhar Prof. Ahmad Thayyib terkait maksud kehadiran ulama tersebut.
Hadirnya ulama Mesir itu juga ditanggapi salah satu alumni Universitas Al Azhar Kairo, Mesir Gio Hamdani. Menurutnya seorang ulama dari Mesir yang datang untuk memberikan fatwa harus membawa surat resmi dari Grand Syeikh Al Azhar. Karena banyak yang mengaku dari Al Azhar tetapi pendapatnya berbeda dari pemikiran lembaga tertua itu.
“Saksi ahli dari Al Azhar harus resmi dari Grand Syeikh Al Azhar, karena kita tidak boleh percaya begitu saja jika saksi ahli tersebut menjual-jual nama Al Azhar tanpa ada surat resmi menyatakan beliau memang dari Al Azhar dan direkomendasikan Al Azhar, karena ada beberapa alumni Al Azhar yang dianggap membelot dari pemikiran Al Azhar,” kata Gio Hamdani pada Selasa (15/11).
Selain itu, fatwa ulama Indonesia tidak boleh di tentang oleh fatwa ulama lainnya. Artinya fatwa ulama yang satu tidak gugur dengan adanya fatwa ulama yang lain. “Fatwa mayoritas ulama satu wilayah tidak boleh ditentang atau didebat dengan seorang ulama yang lain wilayah,” terangnya.
Diungkapkannya itu merupakan manajemen yang diatur dalam fiqih yang selalu dipelajari di Universitas Al Azhar Mesir. “Jika saksi ahli tersebut mengaku seorang Al Azhar yang benar maka dia tidak akan mencampuri apa yang sudah menjadi ijma’ ulama di wilayah berbeda,” jelas Gio Hamdani di Jakarta.
Lebih tegas lagi kata Gio intinya fatwa tidak akan bisa membatalkan fatwa atau ijma’ ulama di Indonesia yang diakui secara jama’, karena setiap wilayah berbeda kondisinya. “Makanya ada kaedah fiqih Al Adatul Mahkamah,” ingatnya.
Sementara di Mesir, menurutnya negara piramid tersebut hanya mengakui Agama Kristen yang dianut bangsa Mesir yaitu Kristen Qibti. “Jadi sangat beda situasinya di Indonesia dengan Mesir,” ungkapnya. Kemudian untuk menjadi Presiden Mesir harus beragama Islam. “Itu tertulis dalam Undang-undang Mesir. Sementara di Indonesia tidak tertulis,” jelasnya lagi.
Jika mengacu pada pelajaran-pelajaran di Universitas Al Azhar tidak satupun ada yang menafsirkan boleh mengangkat pemimpin bagi orang muslim di luar orang Islam. “Karena diktat atau mata pelajaran di Mesir telah ditulis dan disusun ratusan tahun dan hinggah saat ini tidak berubah,” tutur alumni Mesir tersebut.
Untuk itu ditegaskannya tidak ada yang harus diambil fatwanya dari lembaga fatwa Al Azhar Kairo. Lembaga fatwa Al Azhar hanya untuk hal-hal yang kontemporer, bukan hal yang sudah baku. “Apa lagi terkait Surat Al Maidah 51, semua ulama dari dulu hinggah sekarang sepakat bahwa ayat tersebut bukan ayat multi tafsir. Dan itu tertera di seluruh ahli tafsir klasik yang menjadi acuan umat Islam seluruh dunia,” tutur pria yang menimba ilmu di Al Azhar Kairo tersebut.
(mrl)