Pertanyaan
Assalamu’alaikum. Pak Kiyai, saya membaca tulisan Pak Kiyai yang berjudul “Hukum Masjid Dan Perbedaannya Dengan Mushalla (Langgar)” di media online www.kabarwashliyah.com. Bahwa syarat Masjid itu harus tanahnya wakaf dan didirikan shalat berjemaah 5 waktu terus menerus, sedangkan yang dimaksud dengan Masjid Jami’ ditambah syaratnya dengan adanya didirikan shalat Jum’at. Pertanyaan saya adalah bahwa saya sering shalat di Masjid Kubah Emas di Depok dan terkadang saya i’tikaf di situ sambil membaca Al Qur’an, kebiasaan saya ini sudah berjalan lebih kurang tiga tahun lamanya. Tetapi saya pernah bertanya tentang setatus tanah dan Masjid Kubah Emas tersebut apakah sudah diwakafkan atau belum atau masih berstatus hak milik pribadi kepada petugas di Masjid Kubah Emas tersebut. Mereka mengatakan sampai sekarang setatus Masjid Kubah Emas milik peribadi belum diwakafkan. Pak kiyai, lantas apakah sah i’tikaf saya selama ini di Masjid tersebut? Atas jawaban Pak Kiyai semoga bermanfaat bagi saya khususnya dan umat. Terimakasih.
Assalamu’alaikum. Dari Hj. Nagita Slavina, M.Pd. Cinere – Depok
Jawaban:
Istilah Masjid dan Mushalla di Indonesia tidak bisa dijadikan patokan hukum syari’at (Fikih), apakah kedudukan Masjid atau Mushalla itu sah atau tidak sahnya kita beri’tikaf, shalat tahyat Almasjid atau bolehkah orang yang lagi berhadas besar seperti orang yang sedang Haidh, Nifas atau Junub berdiam didalamnya. Di maqalah ini akan kita defenisikan secara singkat istilah masjid atau musahallah sebagaimana pertanyaan di atas.
Tempat ibadah menurut istilah budaya yang berkembang di Indonesia selama ini diantaranya sebagai berikut:
a. Masjid adalah tempat ibadah yang ada didirikannya shalat Jum’at di samping tempat shalat lima waktu dan ibadah lainnya.
b. Mushallah (Langgar, Surau, Manossa, dll) tempat ibadah seperti tempat mengaji (belajar Al Qur’an) tempat shalat berjemaah shalat lima waktu, namun tidak ada didirikan shalat Jum’at, bahkan paham yang berkembang tidak sah i’tikaf di tempat seperti ini meskipun setatus tempat ibadahnya adalah wakaf, mereka juga beranggapan tidak ada shalat tahyatul masjid di dalamnya dan boleh orang berjunub berdiam di dalamnya.
Seluruh istilah, defenisi dan pemahaman tentang masjid dan mushallah yang berkembang selama ini di masyarakat Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan pada poin-poin di atas, maka tidak dapat dijadikan rujukan sebagai hukum syari’at (Fikih). Lihat dalil-dalil, pendapat para ulama dan kitab rujukannya didalam tulisan KH.Ovied.R dengan judul “Hukum Masjid Dan Perbedaannya Dengan Mushalla (Langgar)” telah dikeluarkan oleh media resmi Al Washliyah www.kabarwashliyah.com
Adapaun pengertian tempat ibadah menurut syari’at (Fikih) jika kita sederhanakan atau disimpulkan sebagai berikut:
a. Masjid adalah tempat (bangunannya) yang dikhususkan untuk shalat fardhu lima waktu berjamaah yang bersifat terus menerus (كل ما أعد ليؤدي فيه المسلمون الصلوات الخمس جماعة) atau tempat ibadah lainnya, setatus tanahnya adalah wakaf (المكان الموقوف للصلاة) bukan milik sendiri atau milik kelompok tertentu (yayasan, perusahaan, perguruan, dll yang bukan diwakafkan) dan tidak ada didirikannya shalat Jum’at. Jika tempat ibadah yang sifatnya seperti ini (tempatnya wakaf dan didirikan shalat fardhu 5 waktu) meskipun namanya mushalla, surau, langgar, monassa, dll maka hukumnya menurut syari’at (Fikih ) adalah sama statusnya dengan “Masjid (مسجد)”. Maka status masjid (Mushalla, Surau, Langgar, Manossa, dll) seperti ini haram hukumnya dijual, dipindahkan tanpa sebab dharurat, disunnahkan shalat tahyatul masjid, sunnah i’tikaf di dalamnya, haram berdiam didalamnya orang yang sedang berhadas besar seperti junub, haidh, dan nifas.
b. Masjid Jami’ dalam istilah fikih adalah statusnya sama dengan masjid sebagaimana defenisinya pada poin (a) sebagaimana di atas, namun ditambah dengan adanya didirikan di dalamnya shalat Jum’at. Jadi menurut hukum syari’at (Fikih) tidak ada perbedaan antara Masjid (مسجد) yang tidak ada didirikannya shalat Jum’at dengan Masjid Jami’ (مسجد الجامع) yang ada didirikannya shalat Jum’at. Hanya fadhilahnya (keutamaannya) saja yang berbeda. Maka fadhilah i’tikaf lebih baik di Masjid Jami’ (yang ada didirikannya shalat Jum’at) ketimbang di Masjid (yang tidak ada didirikannya shalat Jum’at). Namun perlu diketahui syarat didirikannya shalat Jum’at tidak mesti di masjid atau Masjid Jami’. Shalat Jum’at boleh didirikan di mana saja yaitu di masjid, masjid jami’, mushallah, surau, langgar, dll atau di tempat rumah ibadah baik setatusnya wakaf ataupun tidak wakaf, jika sudah memenuhi syarat sahnya shalat dan khotbah Jum’at (diantara syarat sah Jum’at, Khotbah sebelum Shalat menurut Madzhab Ahlussunnah Waljama’ah yaitu: Madzhab Hanafi sekurang-kurangnya 1 orang atau 2 orang dengan imam dapat mendengan khotbah. Madzhab Imam Malik sekurang-kurangnya ada 12 orang yang mendengan dalam 2 khotbah. Madzhab Imam Syafi’i sekurang-kurangnya 40 orang dengan imam yang mendengar khotbah Jum’at. Madzhab Imam Ahmad pendapat yang mu’tabar 40 orang atau lebih yang mendengar khotbah Jum’at, sebagian pendapat madzhab ini boleh 12 orang). Bahkan menurut Madzhab Imam Hanafi boleh didirikan shalat Jum’at di Padang Pasir, di Kapal Laut atau di gedung-gedung perkantoran, mall, gedung perparkiran, pom bensin, market-market, dll yang setatus tempat ibadanya bukan wakaf. Dan orang-oran yang mendirikan Jum’at tidak mesti mustautin (penduduk setempat yang menetap).
c. Mushalla (مصلى) menurut istilah syari’at (Fikih) bukan istilah budaya Indonesia adalah tempat shalat atau ibadah lainnya yang setatus tempatnya tidak terus menerus didirikan shalat fardhu 5 waktu berjemaah, setatus tanahnya tidak wakaf. Maka tempat shalat seperti ini tidak sah i’tikaf di dalamnya, tidak ada anjuran shalat tahyatul masjid di dalamnya, tempatnya boleh dijual atau dipindahkan, tidak mengapa (tidak berdosa) orang yang berhadas besar (Junub, Haidh, Nifas) masuk, berdiam atau menetap di dalamnya. Jadi seluruh tempat ibadah jika status tanahnya tidak “Wakaf” maka hukumnya menurut istilah syari’at (Fikih) disebut dengan “Mushalla; tempat shalat (مصلى)”, meskipun namanya ditulis (disebut) dengan masjid, mushalla, langgar, surau, manossa, dll atau sering kita jumpai sekarang ini masjid-masjid di gedung-gedung perkantoran, Mall, gedung perparkiran, Pom-Bensin, Market-market, dll.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, meskipun nama dan sebutannya adalah Masjid Kubah Emas yang besar, megah dan mewah, jika status tanahnya tidak wakaf, maka status tempat ibadah seperti ini menurut syari’at (Fikih) adalah disebut dengan “Mushallah (مصلى)”. Maka tempat shalat (rumah ibadah) seperti ini tidak sah i’tikaf di dalamnya, tidak ada anjuran shalat tahyatul masjid di dalamnya, tempatnya boleh dijual atau dipindahkan, tidak mengapa (tidak berdosa) orang yang berhadas besar (Junub, Haidh, Nifas) masuk, berdiam atau menetap di dalamnya.
Wallahua’lam Bis-Shawab
Penulis adalah KH. Ovied.R- Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020. Sekretaris Majelis Masyaikh Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 0813.824.972.35. Email: dewanfatwa_alwashliyah@yahoo.com
Ra jelas..pegangannya al quran aja bro…kg percaya gw sm yg bginian..i’tikaf mah i’tikaf ajeee brayy kg usah mikir tanaf wakaf kek apa kek..