BELANGAN ini semakin ramai tajuk utama di media massa yang membingkai perkembangan politik di Indonesia seperti seolah menunjukkan gejala yang membahayakan. Gejala yang dinilai membahayakan itu disebut sebagai ‘politik identitas’ dan ‘segregasi ideologis’ akibat merebaknya ‘politisasi agama’, ‘fundamentalisme’, dan ‘radikalisme.’. Semua orang yang sudah mafhum pasti mengetahui ke mana ujung percakapan yang menggunakan istilah-istilah seperti itu. Dalam ungkapan yang lebih eksplisit oleh Prof. Arbi Sanit, yakni ‘bahaya laten Islamisme’.
Perbincangan mengenai keislaman dalam politik semakin menjadi-jadi terutama pasca demonstrasi 4 November lalu, di mana ratusan ribu umat Islam turut serta berunjuk rasa.menuntut percepatan proses hukum terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Ahok. Perdebatan yang sengit pecah di mana-mana antara warga yang mendukung maupun yang menolak aksi tersebut. Komentar para buzzer komersil tentunya dapat kita kesampingkan karena layaknya lalat yang merubung sampah, kebisingan yang mereka ciptakan tidak ada maknanya. Diskusi yang lebih layak diperhatikan adalah pada kalangan akademisi dan para warga sungguhan yang menyuarakan aspirasi mereka di berbagai saluran seperti media social dan media massa cetak maupun elektronik.
Di antara semua perdebatan yang muncul selalu ada saja pertanyaan yang bernada bingung, mengapa keislaman harus berkelindan dengan politik? Para aktivis politik Islam pasti sudah berulangkali menjelaskan bahwasanya Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan aliran pemikiran lain. Islam tidak pernah hanya sekedar agama yang dipraktekkan di rumah ibadah, tetapi Islam juga merupakan sekaligus ideologi, sistem hukum, norma sosial, dan budaya. Mencakup aspek tauhid dan muamalah. Tidak ada sekulerisme dalam keislaman, karena kehidupan di dunia dan akhirat memiliki esensi yang sama: mencari keridhaan Sang Pencipta. Jika paradigma ini ditarik ke ranah politik, maka kita akan melihat Islam sebagai sebuah gerakan ideologis.
Lantas apakah yang sebenarnya dimaksud dengan ideologi? Louis Althusser mendefinisikan ideologi sebagai ‘representasi imajiner dari hubungan yang nyata dan hidup antara para individu dan dengan kondisi-kondisi eksistensial mereka’. Ideologi memiliki sejarahnya sendiri, berdiri secara otonom sebagai suprastruktur, dan merupakan determinan bagi setiap praksis sosial. Sehingga sebagai suatu abstraksi, ideologi selalu memiliki manifestasi material. Bentuk manifestasi material ini bermacam-macam, ada yang berupa sistem politik dan kenegaraan, sistem ekonomi, simbol-simbol kebudayaan, dan lain sebagainya. Ambil contoh liberalisme, beberapa manifestasinya adalah bank konvensional, industri, demokrasi mayoritarian, kebebasan individual, dan kesetaraan gender. Demikian juga Islam memiliki manifestasi berupa hukum dan ekonomi syariah, syuro, dan yang paling sensitif adalah ‘khilafah’.
Melihat kenyataan ini sedikit, tentunya di Indonesia, yang sudi mengakui Islam sebagai ideologi. Bagi yang menolak keberadaan Islam sebagai ideologi berargumen bahwa menjadikan Islam sebagai suatu ideologi sama dengan mempolitisasi dan menghilangkan ‘kesuciannya’ sebagai agama. Dari sini kita masuk kepada pandangan Althusser bahwa ideologi memiliki ‘sejarahnya’ sendiri. Sehingga suatu ideologi hanya dapat dipahami berdasarkan proses perkembangan, terminologi dan prinsip-prinsip pemikiran atau paradigmanya sendiri. Maka alangkah sangat salah kaprah jika Islam dipahami berdasarkan paradigma sekuleris, dengan mengatakan agama dalam politik merupakan sesuatu yang tabu. Tentu tidak tabu bagi umat Islam karena justru terdapat perintah-perintah dalam Al Quran yang menyinggung perihal politik yang prakteknya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW berserta para sahabatnya. Lantas jika kita tidak boleh mengikuti anjuran dari Nabi kita sendiri maka siapakah yang harus kita jadikan pedoman dan suri tauladan? Jika terdapat larangan dalam kitab suci kita untuk tidak menjadikan orang-orang bukan Islam sebagai pemimpin apakah lantas kita boleh melanggarnya? Dan kemudian ketika kitab suci kita dihina kita tidak boleh menunjukkan kemarahan dan melancarkan protes? Melaksanakan perintah agama, menjauhi larangannya, dan membela nilai-nilainya merupakan wujud dari keimanan, dan kita tidak bisa dipersalahkan karena kita beriman.
Demonstrasi 4 November 2016 lalu merupakan manifestasi nyata dari gerakan ideologis Islam di Indonesia yang semakin tidak terbendung. Tuduhan bahwa gerakan tersebut ditunggangi aktor-aktor politik tertentu tentulah sangat sukar dibuktikan. Bagi mereka yang pernah mempelajari proses terjadinya gerakan massa, dapat kembali melakukan refleksi terhadap Revolusi Bolshevik di Russia, Revolusi Perancis, dan bahkan Revolusi Kemerdekaan Indonesia sendiri. Apakah pada semua revolusi tersebut terdapat ‘dalang’ yang membiayai dan mengatur segala skenario? Tidak. Faktor-faktor determinan terjadinya revolusi selalu melibatkan merebaknya perasaan frustrasi dan ketidakpuasan, kebangkitan ideologi tandingan, keambrukan ekonomi, kemunculan para intelektual dan kelas menengah anti status quo, dan melemahnya sistem politik yang ada.
Gerakan demonstrasi Islam terbesar sepanjang sejarah Republik ini pada hari Jumat lepas merupakan sebuah gejala yang menunjukkan keberadaan faktor-faktor determinan revolusi tersebut. Masyarakat semakin frustrasi terhadap kepemimpinan nasional yang terlalu banyak berbasa-basi dan tampil di depan kamera, selalu menjual pernyataan normatif tanpa realisasi; ekonomi sedang mengalami perlambatan pertumbuhan dan jurang kesenjangan antar kelas semakin menganga; sistem politik yang sekarang mengalami krisis legitimasi akibat korupsi dan terus menerus didera instabilitas karena persaingan kepentingan; dan kini Islam sedang mengalami kebangkitan bagi sebagian kalangan kelas menengah dan akar rumput sebagai ideologi tandingan terhadap liberalisme yang dominan pada pemikiran para elit, akademisi, dan media. Dan yang terakhir, tidakkah ada yang menyadari bahwa katalis dari gerakan massa yang begitu besar ini adalah fatwa para ulama dan mobilisasi ormas Islam yang merupakan kekuatan besar yang selama ini tidak pernah secara serius diperhitungkan?
Demikianlah perkembangan yang harus dipahami dan direnungkan bagi kita semua. Adalah tidak bijak bagi sebagian besar dari para opinion leader serta masyarakat umum untuk terus menerus terjebak pada pemahaman yang salah mengenai realita gerakan Islam di Indonesia dewasa ini. Kelompok-kelompok Islamis bukanlah lagi kelompok tradisional yang lemah dan selalu berpecah belah. Mungkin selama ini mereka nampak tertidur dan apatis, namun ketika para ulama mereka bersatu menyerukan hal yang sama maka kelompok ini pun akan bangun dan menghasilkan gelombang yang sangat besar. Para ulama, aktivis ormas Islam, dan warga masyarakat yang turut serta dan mendukung Demonstrasi 4 November 2016 tidaklah dapat disamakan dengan para politisi dan aktivis gamang yang oportunis, materialistis, dan berpolitik tanpa cita-cita. Mereka adalah kelompok ideologis yang tidak dapat dibeli dengan uang, dan ideologi mereka adalah Islam.
Penulis: M.R. Indra Hakim Hasibuan, Aktivis muda Al Washliyah.