Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Pak Kiyai. Saya merasa bingung tentang hukum “’Aqiqah/Mengakikahkan anak yang baru lahir”. Banyak pengajian yang saya ikuti, begitu juga buku dan tulisan-tulisan seputar hukum akikah yang saya baca, namun saya jumpai banyak perbedaan tentang hukumnya. Ada ulama yang mengatakan hukum akikah “Sunnah Muakkad”, ada yang mengatakan “Sunnah Saja”, ada yang mengatakan “Wajib” dan ada pula yang mengatakan hukumnya “Mubah”. Pak Kiyai yang mulia, mohon jelaskan kepada saya mana diantara hukum akikah yang lebih benar dan shahih diantara para pendapat ulama di atas. Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih. Dari Muhammad Bahrum – Sulawesi Selatan.
Jawaban:
Akikah (العقيقة) kalimat ini berasal dari kalimat Al’aqqa (العق) yang bermakna Syaqqa (شق ; cleave[mebelah, memotong, memecah]) dan Alqath’u (القطع ; cutting[memotong]). Akikah adalah penyembelihan (الذبيحة ; sacrifice[korban]) yang dilakukan untuk menyembelih hewan tersebut karena sebab adanya kelahiran. (hal, 97 Kitab Subulussalam oleh Syeikh As-Shan’ani).
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum “’Aqiqah/Akikah”. Perbedaan ini disebabkan banyaknya riwayat hadis yang berbeda-beda dari segi makna kandungan hadis yang ada, maupun dari segi perawi hadis dilihat dari segi shahih tidaknya derajat dan kedudukan hadis-hadis tersebut. Perbedaan kandungan (matan) hadis yang satu dengan hadis yang lainnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan dikalangan para ulama, diantaranya sebagai berikut.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : “الغلام مرتهن بعقيقته” (رواه الترمذي وقال حسن صحيح ، و الحاكم ، و البيهقي)
Rasulullah Saw bersabda: “Anak (yang dilahirkan itu) tergadai dengan akikahnya” (HR. At-turmudzi beliau berkata hadis ini “Hasan Shahih”, Alhakim, dan Albaihaqi)
قال النبي صلى الله عليه وسلم : كل غلام رهينة بعقيقته ، تذبح عنه يوم سابعه و يحلق رأسه و يسمى (رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح و النسآئي و إبن ماجة)
Rasulullah Saw bersabda: “Setiap Anak (yang dilahirkan) tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya (akikah) pada hari yang ketujuh, dicukur rambutnya dan ditabalkan namanya” (HR. At-turmudzi beliau berkata hadis ini “Hasan Shahih”, Annasai’, dan Ibnu Majah)
ثبت بقول عائشة : نسخت الأضحية كل ذبح كان قبلها (ص : ٢٧٤٥/ج : ٤/ الفقه الإسلامي و أدلته)
Berkata Saidah ‘Aisyah: “Sembelihan kurban menghapus seluruh sembelihan yang ada sebelumnya (sebelum disyari’atkannya berkurban)”. Sebelum disyari’atkannya berkurban (الأضحية) ada dikenal sembelihan dikalangan Arab pada masa itu yang disebut dengan: Alhadyu (الهدي), Akikah (العقيقة), Al’atirah (العتيرة), Alfar’u (الفرع), dll (halaman: 2745, Juz: 4, Alfiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili)
قال النبي صلى الله عليه وسلم : إن الله لا يحب العقوق . رواه النسآئي و أبو داود و الحاكم و البيهقي و أحمد و إسناده حسن و صححه (ص : ٢٣٤-٢٣٥/ج : ٥/ المغني و الشرح الكبير)
Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai (mencintai) akikah” (HR. An-Nasa’, Abu Dawud, Alhakim, Albaihaqi dan Ahmad). Yang dimaksud hadis ini adalah akikah yang dilakukan oleh budaya Arab Jahiliyah yang melakukan sembelihan akikah tersebut bukan karena Allah Swt, jadi akikah tidak boleh dilakukan karena ada unsur-unsur syirik dan khurafatnya.
قال روي عن بريدة : أن الناس يعرضون يوم القيامة على العقيقة كما يعرضون على الصلوات الخمس (ص : ٤٨ ، تحفة المولود بأحكام المولود لإبن القيم الجوزية (الإمام شمس الدين محمد بن أبي بكر بن أيوب الزرعي الدمشقي- المتوفى سنة ٧٥١)
Diriwayatkan oleh Buraidah : “Sesungguhnya setiap manusia (beriman) akan diperlihatkan akikahnya kelak pada hari kiamat sebagaimana mereka (kelak pada hari kiamat) akan diperlihatkan kepada mereka tentang kewajibannya shalat lima waktu”. (lihat kitab Tuhfatul Maulud, hal: 48, oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah).
Dari hadis-hadis sebagaimana di atas maka para ulama Ahlussunnah Waljama’ah yang mu’tabar (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal) berbeda pendapat tentang hukum “’Akikah” yaitu sebagaimana berikut,
1. Madzhab Imam Hanafi. Menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Mubah [Jika dilakukan tidak berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa]”. Pendapat ini sama dengan pendapat Ashab Ar-rakyu (أصحاب الرأي) bahwa hukum berkurban tidak sunnah, karena akikah itu adalah budaya pada zaman Jahiliyah. Karena Nabi Muhammad Saw pernah ditanya oleh sahabat tentang akikah, beliau menjawab, sebagaimana sabda beliau,
فقال النبي صلى الله عليه وسلم : إن الله لا يحب العقوق . رواه النسآئي و أبو داود و الحاكم و البيهقي و أحمد و إسناده حسن و صححه (ص : ٢٣٤-٢٣٥/ج : ٥/ المغني و الشرح الكبير)
Maka Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai (mencintai) akikah” (HR. An-Nasa’, Abu Dawud, Alhakim, Albaihaqi dan Ahmad).
Makna hadis ini bukan larangan untuk berakikah, melainkan seolah-olah sebutan itu (akikah) kurang disukai (karena dianggap kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyah sebelum datangnya ajaran Islam). Jadi, makna hadis ini bukan berarti tidak boleh untuk berakikah, melainkan dan tetap didiperbolehkan bagi yang ingin berakikah. Silahkan untuk berakikah, bagi yang mau, namun jika tidak mau maka tidak mengapa, tidak melakukannya, karena Rasulullah juga mengatakan dengan sabdanya sebagai berikut,
وقال : من ولد له مولود فأحب أن ينسك عنه فليفعل (رواه أبو داود و النسآئي و أحمد وقال أحمد شاكر : إسناده صحيح)
Dan Rasulullah Saw berkata: “Barang siapa yang melahirkan anak, maka bila ia menyukai untuk menyembelih (berakikah), maka lakukanlah” (HR. Abu Dawud, An-nasa’i, dan Ahmad)- (lihat hal, 234-235, Juz: 5, Almughni Wa-As-Syarhul Kabir Ibnu Qudamah)
2. Madzhab Imam Malik. Menurut Madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”
3. Madzhab Imam Syafi’i. menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”.
4. Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingalkan]”.
5. Menurut pendapat kebanyakan Ahlul’ilmi (أهل العلم) hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”. Pendapat ini didukung diantaranya oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Saidah ‘Aisyah, para ahli fikih dari kalangan Tabi’in, dan para Imam Anshar (Madinah). (lihat halaman: 234-235, Juz: 5, Almughni wa As-Syarhulkabir oleh Ibnu Qudamah).
Dari hadis-hadis di atas pula ada sebagian kecil pendapat dikalangan ulama diluar pendapat mayoritas Ahlussunnah yang mu’ktabar tentang hukum akikah sebagai berikut:
1. Dawud Zhahiri, Al-Laits dan Alhasan hukum berakikah adalah “Wajib”.
2. Hasan Basri berkata: “Akikah terhadap anak yang baru lahir hukumnya wajib disembilih akikahnya pada hari yang ketujuh” (Lihat hal, 49, Tuhfatul Wadud Biahkam Almaulud oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah)
3. Berkata Abu Az-Zinad: “Akikah adalah perintah anjuran kepada umat Islam, maka hukumnya “Makruh” jika ditinggalkan.”(Lihat hal, 49, Tuhfatul Wadud Biahkam Almaulud oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah)
4. Syeikh Said Sabiq menyebutkan hukum akikah adalah “Sunnah Muakkadah; سنة مؤكدة; anjuran yang dikuatkan”, meskipun sang ayah dalam kondisi susah, karena Rasulullah Saw dan para sahabatnya melakukan akikah (meskipun kondisi mereka fakir dan miskin). Hukum akikah sama halnya dengan hukum Udh-hiyah (berkurban), namun akikah tidak boleh patungan bersama-sama sebagaimana berkurban (lihat Fiqhussunnah, oleh Syeikh Said Sabiq, hal: 279, Juz: 3). Berbeda menurut Ibnul Qayyim Aljauziyah tentang patungan bersama-sama (المشاركة ; Musyarokah) dalam akikah, menurut beliau kalau akikah sebanyak 7 orang dengan menyembelih satu ekor sapi atau lembu (kerbau) atau unta, maka cara patungan bersama-sama (المشاركة ; Musyarokah) seperti ini diperbolehkan. (lihat Tuhfatulmaulud Ibnu Alqayyim Aljauziyah).
Hukum akikah sunnah muakkad menurut Said Sabiq ini sama persis dengan sebagian pendapat yang tidak kuat yang terdapat di dalam kitab Mughni wa Syarhulkabir oleh Ibnu Qudamah. Keterangan “Sunnah Muakkadah” ini tidak memiliki dalil yang kuat dikalangan mayoritas ulama Ahlussunnah Waljama’ah.
Pendapat yang lebih benar dan lebih shahih tentang hukum akikah adalah pendapat Madzhab Imam Syafi’I yaitu hukum akikah adalah “Sunnah” saja, bagi orang yang memiliki kemampuan. Sebagaimana madzahab ini mengatakan sebagai berikut,
وقال الشافعية : تسن لمن تلزمه نفقته (ص : ٢٧٤٥ ، ج : ٤ ، الفقه الإسلامي و أدلته – الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي – دار الفكر المعاصر ، بيروت لبنان .)
Berkata madzhab Syafi’i: “Disunnahkan (melakukan akikah) bagi orang yang memiliki tanggung jawab dalam memberikan nafkahnya (yaitu bagi sang ayah) ” (hal, 2745, Juz: 4, Alfiqhul Islami wa-Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili)
Pendapat madzhab Imam Syafi’I ini didukung oleh mayoritas madzhab Ahlussunnah (Imam Malik, dan Imam Ahmad) bahwa hukum akikah adalah “Sunnah” saja, bukan sunnah muakkadah, bukan wajib dan bukan pula mubah. Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah (Mughni wa Syarhulkabir), Wahbah Zuhaili (Alfiqhul Islami wa-Adillatuhu), Imam Shan’ani (Subulussalam) dan juga menurut pendapat kebanyakan Ahlul’ilmi (أهل العلم) bahwa hukum akikah adalah “Sunnah” diantaranya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Saidah ‘Aisyah, para ahli fikih dari kalangan Tabi’in, dan para Imam Anshar (Madinah). (lihat halaman: 234-235, Juz: 5, Almughni wa As-Syarhulkabir oleh Ibnu Qudamah).
Karena kedudukan hukum akikah ada perbedaan mendasar dengan hukum Udh-hiyah (berkurban). Anjuran berkurban ada nashnya dari Alqur’an (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ; Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah [QS.Alkautsar/108:2]) dan juga terdapat di dalam hadis, sedangkan anjuran akikah tidak terdapat didalam Alqur’an, hanya terdapat di dalam hadis saja. Jadi kedudukan berkurban lebih tinggi daripada kedudukan anjuran berakikah. Lihat tulisan KH.Ovied.R tentang hukum berkurban.
Adapun anjuran akikah tesebut sebagaimana yang telah diterangkan hukumnya di atas, disunnahkan bagi orang yang memiliki kemampuan, jika sang ayah atau orang yang menafkahinya tidak memiliki kemampuan, maka bagi sanganak boleh mengakikahkan dirinya sendiri kapan saja jika sudah ada memiliki kemampuan, karena Rasulullah Saw mengakikahkan dirinya sendiri dan beliau berakikah setelah dirinya menjadi rasul, sebagaimana sabda beliau di bawah ini,
عن أنس رضي الله عنه : “أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه” (رواه البيهقي و الطبراني و عبد الرزاق)
Dari Anas r.a : “Bahwasannya Nabi Muhammad Saw mengakikahkan dirinya sendiri” (HR. Albaihaqi, At-Thabrani, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah- hal: 73/Tuhfatul Maudud)
عن آل أنس : ” أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة” (ص : ٧٤ ، تحفة المولود بأحكام المولود لإبن القيم الجوزية (الإمام شمس الدين محمد بن أبي بكر بن أيوب الزرعي الدمشقي- المتوفى سنة ٧٥١)
Dari keluarga Anas r.a: “Bahwa Nabi Muhammad Saw mengakikahkan dirinya sendiri setelah datangnya kenabian- yaitu setelah beliau menjadi rasul” (Halaman: 74, Tuhfatul Maudud)
Wallahua’lam Bis-Shawab.[]
Kitab Rujukan:
(١) المغني و الشرح الكبير – تأليف : الشيخ الإمام العلامة إبن قدامة و الشيخ الإمام إبن قدامة المقدسي- دار الحديث القاهرة .
(٢) تحفة المولود بأحكام المولود لإبن القيم الجوزية (الإمام شمس الدين محمد بن أبي بكر بن أيوب الزرعي الدمشقي- المتوفى سنة ٧٥١)
(٣) سبل اسلام – تأليف : السيد الإمام محمد بن إسماعيل الكحلاني ثم الصنعاني المعروف بالأمير (١٠٥٩-١١٨٢) – شرح بلوغ المرام ، من جمع أدلة الأحكام للحافظ شهاب الدين أبي الفضل أحمدبن علي بن محمد بن حجر الكناني العسقلاني القاهري .
(٤) فقه السنة للشيخ السيد سابق – دار الفكر ، بيروت لبنان
(٥) الفقه الإسلامي و أدلته – الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي – دار الفكر المعاصر ، بيروت لبنان .
Penulis adalah KH. Ovied.R Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020. Sekretaris Majelis Masyaikh Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 0813.824.972.35. Email: dewanfatwa_alwashliyah@yahoo.com