YOGYAKRTA – Visa berbayar yang direncanakan akan diterapkan pemerintah Arab Saudi pada Muharram mendatang saya kira sudah tepat. “Alasannya jelas dan rasional,” kata Pengurus Besar Ormas Islam Al Washliyah Affan Rangkuti melalui pesan singkatnya menanggapi rencana visa bayar tersebut, Jumat (23/09/2016).
Pertama, ditinjau dari stabilitas ekonomi. Pemerintah Arab Saudi mengalami defisit anggaran yang tidak kecil jumlahnya. Dan akan melakukan stabilitas pertumbuhan ekonomi pasca turunnya harga minyak dunia dengan menaikkan GDP mereka mencapai 20 persen dari haji, umrah dan wisatawan jejak sejarah Islam.
Kedua, ditinjau dari pengeluaran. Memangkas anggaran subsidi dan berbagai layanan umum sebagai bagian dari langkah pengetatan anggaran menyusul defisit yang terjadi.
Ketiga, aktivitas adalah biaya. Kemungkinan yang dinilai visa tadinya tidak berbiaya, namun sebenarnya berbiaya. Namun dapat disubsidi melalui pendapatan negara yang mengandalkan minyak sebagai andalannya.
Keempat, pengeluaran bermultiplier effect. Sebagai dampak defisit tentu mempengaruhi biaya layanan lainnya seperti kesehatan yang selama ini gratis dan hal lainnya.
Kelima, sebelum 3 Maret 1938 Arab yang penduduknya dulu nomaden mengandalkan pendapatan dari para jemaah yang beribadah ke Makkah dan Madinah. Sebagai untuk mendongkrak pendapatan perkapita dalam pertumbuhan ekonomi juga untuk pembiayaan dua Kota Suci.
Ekonom Syariah ini juga mengatakan bahwa langkah yang dilakukan pemerintah Arab Saudi adalah langkah bijaksana. Kita harus ingat bahwa sebelum minyak ditemukan sebelum tahun 1930-an, Arab saudi mengandalkan jemaah yang datang. Jadi untuk apa dipersoalkan pengenaan biaya visa. Apalagi haji dan umrah memang untuk kalangan yang mampu. Lagi pula apa yang kita nikmati sekarang dalam layanan di Makkah dan di Madinah yang diberikan Arab Saudi adalah untuk umat Islam.
“Pernahkah kita berfikir, bahwa Dua Kota Suci itu biayanya tidak kecil untuk perawatan agar jemaah merasa nyaman. Apakah cukup dana perawatan itu mengandalkan dari jemaah yang datang. Kalau visa berbayar lantas kita keberatan atau protes, maka sama halnya kita mempertontonkan sikap anti tesis dengan makna apa itu mampu dalam aspek haji dan umrah,” kata Affan di Yogyakarta.
Kata Affan lagi, “Ya janganlah kita alergi jika terkait sesuatu harga naik. Contoh minyak naik kita ribut, sembako naik kita protes. Analisa dulu kenaikan itu apa yang melatarbelakanginya.”
(rilis/mrl)