ZAKAT fitrah merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Tujuannya adalah untuk membersihkan orang yang berpuasa dan memberi makan orang miskin (tuhratan li as-shaim wa thu`matan li al-masakin). Syarat diwajibkan zakat fitrah adalah Islam; mempunyai harta pada waktu terbenam matahari di akhir bulan Ramadan lebih dari kebutuhan hidupnya dan orang-orang yang ditanggungnya sehari semalam; hidup pada akhir Ramadan dan awal Syawal, yakni hidup sebelum terbenam matahari akhir Ramadan dan sesudah terbenamnya matahari kendatipun hanya sebentar. (H. M Arsyad Thalib Lubis, Ilmu Fiqih, hlm. 72). Karenanya, anak yang lahir setelah terbenam matahari akhir Ramadan, tidak wajib zakat fitrah. (al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm. 193).
Jika ketiga syarat ini terpenuhi, maka seseorang sudah dibebankan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Karena itu, orang miskin yang memiliki makanan yang lebih daripada kebutuhan malam dan siang Hari Raya Fitrah untuk dirinya dan orang yang ditanggungnya, wajib mengeluarkan zakat fitrah. Jadi, pada saat yang sama, ia berhak menerima zakat fitrah, sekaligus wajib mengeluarkannya. Ia boleh membayarkan zakat fitrahnya dari hasil zakat yang diterimanya.
Zakat fitrah seyogianya ditunaikan dengan makanan pokok suatu negeri di mana dia tinggal. Di Indonesia, tentu dengan menggunakan beras. Mengeluarkan zakat fitrah jika dengan benda/makanan pokok (`ain) ukurannya adalah 2.7 kg, inilah yang tertera dalam berbagai literatur mazhab as-Syafii. Zakat fitrah boleh juga ditunaikan dengan uang (qimah) sesuai dengan pendapat Hanafi dengan ukuran 3.8 kg. Memberikan harga (qimah) zakat fitrah terkadang dipandang lebih maslahat karena mempertimbangkan kondisional si mustahiq yang lebih membutuhkan uang daripada beras. Begitu juga dengan kondisi muzakki (orang yang membayar zakat) untuk lebih praktis dan efisien.
Dalam pada itu, hampir setiap tahunnya persoalan zakat fitrah tidak sunyi dari berbagai persoalan. Di antaranya adalah kebolehan mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (qimah) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Persoalan lainnya adalah banyaknya masyarakat yang memahami bahwa menunaikan zakat fitrah setelah salat ‘Id, tidak sah dan terhitung sebagai sedekah sunat biasa. Pemahaman ini didasarkan pada hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibn Majah yang mengatakan, “Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum salat ‘Id maka itu adalah zakat fitrah yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah salat, maka dia terhitung menjadi sedekah biasa”.
Menurut zahir hadis ini, seolah-olah menjelaskan bahwa waktu menunaikan zakat fitrah terbatas waktunya sebelum selesai salat ‘Id saja. Jika zakat fitrah ditunaikan setelah salat ‘Id, tidak lagi termasuk dalam kategori zakat fitrah (tidak sah) melainkan menjadi sedekah biasa. Inilah pendapat Ibn Hazm dari mazhab Zahiri dan Muhammad bin Ismail as-Shan`ani penulis kitab Subul as-Salam. Akan tetapi, menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), hadis di atas tidak diartikan secara zahirnya oleh karena hadis itu kontroversial (bertentangan) dengan hadis sahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari bahwa Abu Sa`id al-Khudri mengatakan, “Kami mengeluarkan zakat fitrah pada masa Nabi Saw. pada Hari Raya ‘Id satu gantang dari makanan.” (HR. al-Bukhari). Dalam hadis ini terdapat kalimat “yaum al-fitri” artinya Hari Raya Fitri yang terhitung dari mulai terbit fajar (thulu` al-fajr) sampai terbenam matahari (ghurub as-syams). Dengan kata lain, sehari itu adalah waktu mengeluarkan zakat fitrah.
Melihat dua hadis di atas yang tampaknya bertentangan (ta`arudh), maka dalam kaidah usul fikih disebutkan, “apabila bertentangan dua nas yang sahih, sepanjang masih dapat diamalkan keduanya, wajib mengamalkan keduanya.” Untuk itulah MUI Sumatera Utara melalui Komisi Fatwa-nya memahami dua nas yang kontradiksi ini dengan arti, “Jika zakat fitrah ditunaikan sebelum salat ‘Id, zakat fitrahnya sah dan mendapat pahala wajib, sementara jika dikeluarkan setelah Salat ‘Id, zakat fitrahnya tetap sah, namun hanya mendapat pahala sunat.” (Fatwa MUI SU No. 368/MUI-SU/X/1985). Jadi, pada prinsipnya mengeluarkan zakat fitrah setelah salat ‘Id sebelum terbenam matahahari, sah.
Dalam berbagai literatur pun waktu mengeluarkan zakat fitrah itu ada lima tempat. Pertama, waktu jawaz (boleh), yang dimulai sejak awal Ramadan. Kedua, waktu wajib, semenjak terbenam matahri akhir Ramadan. Ketiga, waktu afdal, setelah terbit fajar pada Hari Raya ‘Id sebelum salat. Keempat, waktu makruh yakni setelah selesai Salat ‘Id sebelum matahari terbenam. Kelima, waktu tahrim (haram) yakni setelah terbenamnya matahari pada hari raya ‘Id. (Lihat: Muhammad Bakri Syatha, I`anah at-Thalibin, juz II, hlm. 175. Bandingkan dengan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin salim al-Kaf, at-Taqrirat as-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, hlm. 418).
Memang, seyogianya mengeluarkan zakat fitrah dilakukan sebelum salat ‘Id, supaya bisa diberdayakan oleh si mustahiq. Akan tetapi, jika memang secara kondisional hanya bisa dikeluarkan setelah salat ‘Id, misalnya dikarenakan baru memiliki harta yang cukup pada hari raya itu, atau tidak menemukan mustahiq yang mungkin sudah berangkat untuk Salat ‘Id, maka zakatnya ditunaikan setelah Salat ‘Id. Makruhnya mengeluarkan zakat fitrah setelah selesai Salat ‘Id dikecualikan jika ada uzur, seperti karena ingin memberikannya pada kerabat atau orang miskin yang salih. (Ibid., hlm. 175). Zakat fitrah yang tidak dibayarkan setelah berlalunya Hari Raya ‘Id, tetap jadi beban/hutang yang harus ditunaikan.
Pemahaman tentang tidak sahnya menunaikan zakat fitrah setelah Salat ‘Id sebagaimana yang berkembang di masyarakat, perlu diluruskan. Oleh karena, pemahaman semacam ini masih banyak disampaikan para da’i di masyarakat. Persoalannya sederhana, tapi sifatnya prinsipil karena menyangkut sah atau tidaknya suatu ibadah. Kenyataan ini adalah salah satu dari sederetan kasus yang menyangkut ibadah Ramadan yang keliru difahami umat. Masih banyak masalah lain yang masih perlu diluruskan di tengah-tengah masyarakat.
Nasrun min Allah wa fathun qarib, wa basysyiril mukminin.
Oleh: Irwansyah Anggota Dewan Fatwa Pengurus Besar Al Washliyah Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI Kota Medan dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara.
Email: asseikepayangi@ymail.com