BerandaDunia islamImsakiyah Dalam Kajian Pemahaman Bahasa dan Syar'i

Imsakiyah Dalam Kajian Pemahaman Bahasa dan Syar’i

1. Pengertian selama ini.

Imsakiyah dari kata imsak untuk menunjukan waktu imsak. Adapun yang dimaksud waktu imsak itu adalah waktu tertentu sebagai batas akhir makan sahur bagi orang yang akan melakukan puasa pada siang harinya. Waktu imsak ini sebenarnya merupakan langkah kehati-hatian agar orang yang melakukan puasa tidak melampaui batas waktu mulainya yakni fajar shiddiq. Sementara waktu yang diperlukan untuk membaca 50 ayat Al-Qur’an itu sekitar 8 menit, maka waktu imsak terjadi 8 menit sebelum waktu shubuh.

Oleh karena 8 menit itu sama dengan 2 (dua) derjat. Maka tinggi matahari pada waktu imsak (h im ditetapkan – 22 derjat di bawah ufuk timur atau h im = – 22 derjat. Dalam praktek perhitungan , waktu imsak dapat pula dilakukan dengan cara waktu shubuh yang sudah diberikan ikhtiyat dikurangi 10 menit. ( Muhyiddin Khazin dalam bukunya Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik).

Pada dasarnya para ahli Falak sepakat mengartikan waktu imsak walaupun redaksinya berbeda. Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat (oleh al-Mukarram DR. H. Susiknan Azhari M.A.) mengartikan waktu imsak adalah waktu tertentu sebelum shubuh, saat seseorang bersiap-siap untuk mulai berpuasa. Sebetulnya puasa dimulai sejak terbitnya fajar shodiq, sebagaimana dimulainya waktu shalat Shubuh.

Oleh karena itu puasa yang dimulai sejak imsak, adalah merupakan ikhtiyat (pen. Puasa dalam arti kebahasaan, bukan puasa dalam istilah syar’iy), sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik. Jarak antara waktu imsak dengan shalat shubuh selama membaca 50 ayat Al-Qur’an, yang relatif jangka waktunya sehingga ada yang memperkirakan 12 menit ada yang 7 menit dan ada yang memperkirakan 10 menit. Akan tetapi pada intinya untuk bersiap-siap sebagai peringatan untuk memasuki puasa secara syar’i ( imsak ‘ani al-mufatthirati = menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa) pada mulai memasuki awal waktu shubuh.

2. Antara Imsak dalam kajian bahasa dan as-shaum dalam kajian syara’.

Imsak dalam bahasa Arab: – amsaka – yamsiku- imsakan- dalam bentuk amar amsik sinonimnya al-habsu artinya menahan. Lawan katanya al-Farq artinya lepaskan atau pisahkan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “ Amsik arbaan wa fariq saira hunna” Kisah sahabat yang mempunyai isteri 11 orang pada awal Islam, maka datang syari’at firman Allah yang membatasi empat orang. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan untuk pertahankan yang empat orang, lalu lepaskan atau diceraikan yang selainnya.

Imsak dalam arti al-habsu yakni menahan ( dalam Fiqih wakaf), yakni menahan asli benda miliknya dan mensedekahkan hasilnya. Sehingga dengan demikian maka kata imsak bisa saja menahan berbicara- menahan buang air, menahan makan-menahan minum dan sebagainya yang bersifat menahan diri dari hal-hal yang dilarang (diharamkan) oleh Allah.

Oleh karena itu dari segi lughat (kebahasaan) “ as-shaum adalah al-imsak menahan. Namun dari segi syara’ as-shaum al-imsak ‘anil mufaththirati min thulu’il fajri ila ghurubis syamsi ma’anniyyati, yang artinya menahan dari segala yang membatalkan ibadah puasa dari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Sehingga dengan demkian imsak belum tentu as-shaum, akan tetapi as-shaum dipastikan terdapat di dalamnya imsak. Oleh karena itu ada arkanu as-shaum, dan tak ada arkanul al-imsak. Jelasnya imsak merupakan salah satu unsur dari dari as-shaum.

3. Al-Imsak dalam Syari’ atau As- Shaum dalam Syar’i

Puasa menurut bahasa al-Imsak, Al-Imsak menurut syara’ tidak ada aturan hukumnya, jadi orang yang menahan bicara, menahan makan, menahan minum, menahan pendengaran, hal tersebut di kategorikan as-sahaum fi al-lughat.. Berpuasa secara bahasa adalah segala yang bersifat dan beraktifitas menahan, jadi bukan puasa yang sesungguhmnya menurut syara’.

“As-shaum fi syar’i , imsakun makhshushin an syai’in makhshushin fi zamanin makhshushin min shakhshin makhshushin wayuqolu ramadhan wa syahri ramadhan hadza huwa as shahih. Sebagaimana dikutif dari sumbernya:

هــو اللــغــة الا مـســا ك ……………….. وفى الــشــر ع امـســا ك مخــصــو ص عــن شــيء مخــصــو ص فى ز
مــن مخـصــو ص مــن شـحــص مخـصــو ص و يــقــل ر مــضــا ن و الـشــهــر ر مـضــا ن هــ1 ا هــو

Definisi as-shaum menurut syara’i, ternyata mengandung beberapa unsur khusus:

a. Imsakun makhshushin ’an sya’in makhshushin.
b. Fi zamanin makhshushin,
c. Min shakhshin makhshushin,
d. Wayuqalu ramadhan wa syahrun ramadhan hadza.

Dalam memahami puasa mendurut syara’ “ imsakun makhshushin ‘an syai’in makhshushin” , dalam Fiqhuh as-Sunah Syekh Sayyid Sabiq menyatakan” imsakun ‘ani al-mufaththirati. Oleh karena itu as-shaum fi al-lughat al-imsak, dan tidak dapat dikatakan al- imsaku fi aluhgati as-shaum. Sehingga memahami kata “IMSAK” adalah “puasa dalam arti bahasa, bukan puasa dalam arti syara’.

Memasuki waktu imsak berarti memasuki tahap proses puasa secara bahasa dalam jangka waktu yang diperkirakan memakan tempo bacaan 50 ayat al-Qur’an, yang diperkirakan memerlukan waktu 7 atau 8 atau 10 atau maksimum 12 menit (menurut beberapa pendapat) adalah suatu persiapan keseriusan menuju puasa syar’iy (shaumun syar’iyun) tepat waktu memasuki waktu shubuh.

Dengan demikian pemahaman bahasa kata “ imsak “ tidak dapat dipahami sebagai puasa secara syara’, tetapi ikhtiyat menjelang shaum secara syara’, sehingga tidak terjebak dalam perangkat waktu yang diharamkan untuk makan minim dan segala yang membatalkan puasa. Semua orang bisa melakukan “ imsak” akan tetapi belum tentu bahkan mungkin tidak sanggup melakukan “as-shaum secara syara’”.

Sebagaimana lebih jauh memahami as-shalatu fi al lughati ad-adzikru atau ad du’a u . Lalu orang yang berdzikir atau berdo’a dianggap sudah shalat. Padahal shalat dalam syara’ “ as- shalatu , af’a-lun, wa aqwa-lun muf tatahatun bit at-tabir wa mukhtatamatun bit taslim bi niyyatin makhshushatin : Maka banyak orang yang nyleneh menyesatkan diri dengan mamahami bahasa dan pemahaman syara’ akhirnya cukup zikir saja atau (eling = ingat : Jawa) tidak perlu shalat (na’udzubillah min dzalik).

4. Kesimpulan dan saran

Oleh karena itu kata “ IMSAK” yang terdapat dalam jadwal Imsakiyah jangan diartikan puasa yang sesungguhnya, tetapi puasa dalam arti lughawiyan (kebahasaan). Waktu shubuh sudah dipahami orang memasuki garis start memasuki puasa yang syar’i, dan waktu maghrib adalah tanda memasuki garis finish untuk berbuka, tak disebutkan kata-kata berbuka puasa, karena sudah dipahami bahwa waktu berbuka puasa adalah waktu maghrib.

Oleh karena itu tak usah mencari sensasi dalam memahami “kebahasaan” dan “kesyari’atan “ bahwa apa yang selama ini dipahami kata imsak dalam jadwal imsakiyah sudah mapan dan dapat dipertanggung jawabkan. Insyaallah !

Wallahu a’lamu bis-shawab.

Nashrun minallahi wa fat hun qarib wabasy-syiril mukminiin.

Oleh: Drs. H. Arso, SH. M.Ag, Ketua Badan Hisab dan Rukyah PB Al Washliyah

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille