BerandaDunia islamLarangan Puasa Sunnah Setelah Nishfu Sya`ban

Larangan Puasa Sunnah Setelah Nishfu Sya`ban

PERTANYAAN: Assalamu’alaikum Pak Kiai. Apa hukumnya berpuasa sunnah setelah lewat Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Karena saya pernah mendengar seorang ustad yang mengeluarkan Hadis bahwa Rasulullah Saw melarang puasa sunnah apabila sudah lewan pertengahan bulan Sya’ban. Wassalam dari Ainun Mardiyah Medan Belawan – Sumatera Utara.
JAWABAN:

Nishfu Sya’ban (النصف من شعبان ; pertengahan bulan Sya’ban). Bulan Sya’ban atau bulan yang kedelapan daripada bulan Hijriyah. Pada bulan Sya’ban terkhusus pada pertengahan bulan Sya’ban mayoritas para ulama mengagungkannya dengan memperbanyak amalan pada malam harinya dan berpuasa pada siang harinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Dar Al Quthni, Ibnu Syahin, Ibnu Majah bersumber dari Imam Ali Karramallahu Wajhah, beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda,

إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصومو نهارها فإن الله ينزل فيها لغروبها الشمس إلى سماء الدنيا : فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ؟ ، ألا من مسترزق فأرزقه ؟ ، ألا من مبتلى فعافيه ؟ ، ألا كذا ؟! ألا كذا ؟! حتى يطلع الفجر.

Apabila tiba malam Nishfu Sya’ban, maka bangunlah pada malamnya (memperbanyak amal) dan berpuasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun (pada malam Nishfu Sa’ban) ketika waktu Magrib ke langit dunia, lalu berkata: Apakah tidak ada orang yang ingin meminta ampun kepada-Ku (jika mereka memohon ampun) maka Aku akan mengampuni mereka, siapa yang memohon rizqi, Aku akan memberikan rizki kepadanya. Barang siapa yang memohon agar terhindar dari bala, maka aku akan berikan kesehatan kepada mereka, dan begitulah seterusnya (dari apa yang diinginkan oleh hamba Allah yang ingin berdo’a), sampai waktu fajar tiba.

Di dalam Alqur’an disebutkan tentang kemulian Nishfu Sya’ban, sebagaimana Allah Swt berfirman sebagai berikut,

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ . فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {الدخان [٤٤] : ٣-٤}

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad-Dukhan [44] : 3-4)

Di dalam Tafsir Jalalain (Jalaluddin Almahalli dan Jalaluluddin As-Suyuthi yang keduanya adalah bermadzhab Imam As-Syafi’i) memaknai Surat Ad-Dukhan ayat 3-4 sebagaimana di atas adalah sebagai berikut:

1.Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi (ليلة مباركة) adalah malam Qadar (ليلة القدر) atau Malam Nishfu Sya’ban (ليلة النصف من شعبان).
2.Pada malam ini (malam Qadar atau malam Nishfu Sya’ban) Al Quran pertama kali diturunkan dari langit yang ketujuh ke langit dunia.
3.Yang dimaksud dengan urusan-urusan (كل أمر) di sini ialah pada malam Qadar atau malam Nishfu Sya’ban Allah Swt menentukan segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya.

Pemindahkan Kiblat Dan Malam Nishfu Sya’ban

Malam Nishfu Sya’ban ini memiliki kesucian dan sejarah yang begitu tinggi. Pada siangnya Allah telah membalikkan kiblat dari baitul Makdis ke Baitul ‘Atik (Kaabah). Perkara ini di-ijabah Allah atas do’a dan keinginan Rasul Saw, dimana ketika itu kebanyakan orang-orang Yahudi ribut dan tidak suka disebabkan kiblat umat Islam ketika itu mengarah ke Baitul Makdis, meskipun yang asal muasal kiblat ini adalah merujuk kepada keturunan ayahnya Nabi Ibrahim. Akhirnya Rasulullah Saw memohon dan menengadah kelangit sambil berdo’a mengharapkan agar Allah merubah kiblat itu dengan keredhaan-Nnya agar ditetapkan satu tempat dan terus menerus, dan tujuan ini untuk menunjukkan kepada orang Yahudi akan kebesaran Allah dan kemandirian umat Islam dalam satu kiblat. Ketika Rasulullah sedang shalat Zhuhur di Mesjid Bani Salam, sedangkan beliau lagi shalat menghadap ke Masjid Aqsha di Syam. Ketika itu juga turunlah firman Allah:

﴿…. فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ …. ﴾

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.(QS. Al Baqarah: 144)

Ketika itu Rasulullah Saw mula-mula melakukan shalat dua rakaat Zuhur menghadap kiblat ke Baitul Makdis, lalu dua rakaat lagi berpaling menghadap kiblat ke Ka’bah, atas sebab turunnya wahyu untuk memalingkan ke Masjidilharam. Sehingga disebutlah nama Mesjid tempat Rasul shalat ini dengan “Masjid Al-Qiblatain”. Mesjid ini dapat dilihat siapa saja yang ingin berjirah ke Madinah.

Sebahagian ulama mengatakan di Mesjid Kiblatain inilah Rasulullah melakukan shalat hingga waktu shalat ashar. Sejak inilah Rasul melaksanakan shalat menghadap kiblat ke Masjidil Haram. Ditempat inilah ketetapan hukum arah kiblat umat Islam ditetapkan. Yang bertujuan mengelakkan permusuhan orang-orang kafrir terhadap umat Islam atas peristiwa ini. Yang akhirnya perobahan kiblat tersebut berlaku sampai sekarang ini yang asal mulanya kiblat umat Islam di Baitul Makdis. Peristiwa perobahan kiblat ini terjadi perbedaan dikalangan ulama masalah waktunya yaitu: Ada yang mengatakan turun wahyu setelah Rasul Saw selesai shalat ‘Asyar, ada juga yang mengatakan ketika sedang melaksanakan shalat Zuhur, dan pendapat terakhir mengatakan turunnya wahyu (yang memerintahkan perobahan kiblat) ketika sedang melaksanakan shalat Asyar (dua rakaat menghadap ke Baitul Makdis dan dua rakaat terakhir menghadap ke Masjidil haram).

Memang ada perbedaan riwayat dikalangan ulama tentang peristiwa di atas, ini tidak menjadi permasalahan yang mendasar, terserah para ulama yang ingin menentukan riwayat itu mana yang lebih kuat. Wallahua’lam. (Lihat kitab: Lailah an Nishfu Min Sya’ban fi Mizan Al Inshaf wal ‘Ilmi oleh Imam As Said Muhammad Zaki Ibrahim Syeikh Thariqah Al ‘Asyirah Al Muhammadiyah Cairo Mesir, kitab ini sudah di terjemahkan oleh KH.Ovied.R pada tahun 2008)

Larangan Puasa Sunnah Setelah Nishfu Sya’ban

Ulama Fikih berbeda pendapat tentang bolehnya berpuasa sunnah setelah pertengan Sya’ban. Jumhur Fuqaha’ (جمهور الفقهاء ; mayoritah ulama ahli fikih) membolehkan melakukan puasa sunnah setelah pertengahan bulan Sya’ban.

Terjadinya perbedaan dikalangan para ulama fikih boleh atau tidaknya berpuasa sunnah setelah pertengahan bulan Sya’ban, karena ada Hadis yang menyebutkan sebagai berikut,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “إذا إنتصف شعبان فلا تصوموا حتى يكون رمضان” (رواه أحمد و الترمذي و أبو داود و النسآئي وإبن ماجة و إبن حبان والحاكم)

Rasulullah Saw bersabda: “Apabila pertengan nishfu Sya’ban maka janganlah kamu berpuasa sampai datangnya bulan Ramadhan” (HR. Ahmad, At-Turmudzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Alhakim)

Pengertian Hadis di atas menurut Madzhan Imam Syafi’i dan sebagian pengikut Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal (Hanabilah) adalah tidak boleh puasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban terkecuali bagi orang-orang yang sudah terbiasa melakukan ibadah puasa sunnah seperti seseorang yang biasa berpuasa sehari, berbuka sehari atau bagi orang-orang yang biasa melakukan ibadah puasa sunnah senin dan kamis, maka bagi mereka boleh berpuasa sunnah meskipun lewan pertengahan Sya’ban.

Hadis di atas menurut Imam Ahmad, Ibnu Mu’in, Abu Zar’ah, Al-Atsram, Albaihaqi dan para ulama hadis lainnya adalah Hadis Dha’if (lemah). Menurut Alhafizh Imam Ibnu Hajar: “Jikapun Hadis di atas adalah Shahih, larangan itu masih bersifat tertentu yaitu jika di akhir bulan Sya’ban terjadi keraguan (Yaum As-Syak), apakah sudah masuk bulan Ramdhan ataupun belum seperti terjadinya mendung, awan gelap, maka pada hari itu dilarang untuk berpuasa sunnah ”.

Menurut mayoritas para ulama ahli fikih, karena banyak Hadis-hadis yang membolehkan untuk memperbanyak puasa sunnah pada bulan Sya’ban yang tidak terbatas sampai pertengahan Sya’ban saja bahkan diperbolehkan satu bulan penuh pada bulan Sya’ban tersebut, sebagaimana hadis-hadis di bawah ini,

عن عائشة رضي الله عنها قالت : “ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إستكمل صيام شهر قط إلا رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان” (رواه البخاري و مسلم)

Dari ‘Aisyah r.a berkata: “Tidaklah aku melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau banyak melakukan ibadah puasa sunnah (pada bulan-bulan lain) melainkan pada bulan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis lain yang membolehkan puasa pada bulan Sya’ban seluruhnya, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

عن عائشة رضي الله عنها قالت : “ولم أره صائما من شهر قط أكثر من صيامه من شعبان كان يصوم شعبان كله ، كان يصوم شعبان إلا قليل ” (رواه البخاري و مسلم)

Dari ‘Aisyah r.a berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang banyak melakukan puasa sunnah pada setiap bulan, sebanyak puasa sunnah Rasulullah Saw pada bulan Sya’ban, beliau berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban seluruhnya, orang-orang yang melakukan puasa sunnah ini hanya sedikit” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis lain yang menyatakan bolehnya puasa pada bulan Sya’ban yang tidak dibatasi hanya sampai pada pertengan bulan Sya’ban saja, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

عن أسامة بن زيد قال : “قلت : يا رسول الله ، لم أراك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان، قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب و رمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين ، فأحب أن يرفع عملي و أنا صائم” (رواه أبو داود و النسآئي و صححه إبن خزيمة)

Dari Usamah bin Zaid berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw: Ya Rasulullah aku tidak pernah melihat (banyaknya) kamu berpuasa pada bulan-bulan lain sebagaimana (banyaknya) kamu berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban. Rasulullah Saw menjawab: Orang-orang melupakan di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan yaitu Bulan Sya’ban. Pada bulan Sya’ban inilah diangkatnya seluruh amal perbuatan kehadapan Tuhan semesta Alam, maka aku menyukai ketika amal-amalku diangkat, aku sedang melakukan ibadah puasa sunnah” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I dan di shaihkan oleh Khuzaimah)

KESIMPULAN

Dengan demikian, maka sebagaimana keterangan hadis-hadis shahih di atas menunjukkan bahwa bolehnya berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban tidak terbatas hanya sampai pertengahan Sya’ban saja, bahkan diperbolehkan melakukan puasa sunnah sampai satu bulan penuh pada bulan Sya’ban tersebut, dan inilah pendapat yang diperpegang oleh mayoritas para ulama-ulama ahli fikih, Wallahu a’lam bis-Shawab

KH. Ovied.R
Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020. Sekretaris Majelis Masyaikh Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 0813.824.972.35. Email: dewanfatwa_alwashliyah@yahoo.com

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille