PERTANYAAN: Assalamu’alaikum Wrwbr Pak Kiai. Apa hukumnya menurut ajaran Islam. Kami memiliki tempat tinggal, seperti rumah yang telah lama kami diami di wilayah tertentu, yang sebelumnya kami tidak mengetahui status tanah tersebut adalah milik pemerintah.
Ada yang mengetahui status tanah tersebut, tetapi ketika surat tanah diurus izinnya, ternyata pemerintahpun yang mengeluarkan surat izin atau surat tanahnya. Ternyata setelah ganti pemimpin/pemerintahan kebijakannnyapun berbeda, ternyata tanah tersebut milik pemerintah dan dikatakan jalur hijau, lalu pemerintah ingin mengambil alih dengan cara paksa untuk menggusur pemukiman yang kami tempati tanpa ganti rugi, dengan alasan sebagaimana disebut di atas. Kami menolak dan menentangnya karena alasan sebagai berikut:
1. Rumah yang kami diami telah lebih dari 10 tahun bahkan ada yang lebih dari 20 tahun.
2. Tanah yang kami tempati adalah hasil pembelian jerih payah hasil kerja kami bertahun-tahun yang kami kumpulkan.
3. Rumah yang kami bangun di atas tanah tersebut murni adalah uang yang kami keluarkan dari hasil pekerjaan kami.
4. Kami memiliki surat tanah dan adapula yang sudah memiliki sertifikat tanah. Sedangkan kami setiap tahunnya membayar pajak.
5. Kami di relokasi ke rumah rusun, dengan tempat yang sangat tidak memadai untuk jumlah banyaknya keluarga kami, jauh dari tempat kami bekerja, dan tempat anak-anak kami bersekolah. Kesemua itu sangat begitu berat kami menanggung dari segi waktu, ekonomi dan bagi pekerjaan kami sehari-hari.
6. Rumah rusun yang kami tempati ternyata disewa, yang setiap bulannya kami harus bayar.
Tindakan kesemena-menaan seperti di atas, bagaimana Islam memutuskannya dan apa hukuman bagi pemimpin dan orang-orang yang mendukung pemimpin tersebut yang bersikap arogan, semena-mena tidak memiliki kebijakan terhadap rakyat jelata seperti kami. Kami meminta keadilan ganti rugi terhadap harta yang telah kami keluarkan. Wassalam dari Asrorunniam – Tegal Jawa Tengah.
JAWABAN:
Fenomena penggusuran tidak asing di telinga kita. Peristiwa penggusuran oleh penguaasa kepada rakyatnya sudah ada ribuan tahun yang lalu. Penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah yang bersifat untuk kemaslahatan umat yang lebih besar lagi, agar dapat menggunakan hasil dan manfaatnya untuk kesejahteraan, menata dan membangun masyarakatnya kepada kemajuan yang lebih baik lagi. Alasan penguasa mengambil alih wilayah atau kawasan yang ditempati oleh penduduk rakyatnya seperti:
1.Tanah atau wilayah milik rakyat yang didiami ternyata terdapat ada kandungan benda berharga yang kegunaannya dapat diperuntukkan untuk kemaslahatan Negara dan rakyatnya seperti di wilayah tersebut terdapat memiliki kandungan minyak bumi, gas, emas, tembaga, perak, timah, biji besi, air untuk pengairan, dll.
2.Tanah yang letaknya sudah ditetapkan oleh undang-undang negara untuk keperluan negara yang akan difungsikan untuk kemaslahatan umat (masyarakat) sepeti ada istilah tanah milik negara, atau tanah milik rakyat namun letak dan fungsinya sudah ditetapkan oleh undang-undang sebagai jalur hijau (milik negara).
3.Tanah atau wilayah milik rakyat yang ingin dipergunakan oleh pemerintah untuk kemaslahatan umum seperti ingin membangun jalan Tol, jalan raya, jalur kereta, jalan gantung penyeberangan, dll.
4.Tempat, jalan umum, atau wilayah tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah tidak boleh difungsikan seperti, masyarakat tidak boleh berdagang atau berjualan sembarangan dipinggir jalan, di jalan Tol, tempat penyeberangan, dll
Adapun pengambil alihan oleh penguasa atau penggusuran terhadap wilayah atau tanah rakyat yang bersifat untuk kemaslahatan umat (kemaslahatan negara dan rakyatnya) sebagaimana disebutkan pada 4 poin di atas, maka hukumnya adalah “mubah/boleh” dan dapat hukumnya menjadi “wajib” jika kemaslahatannya sudah sangat mendesak, jika tidak dilakukan akan dapat menimbulkan keresahan dan merugikan bagi masyarakat, menimbulkan kerugian negara yang menyebabkan lemahnya tatanan agama, sosial, budaya, ekonomi, dll. Namun dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
1.Pemerintah tidak boleh menggusur dengan sewenang-wenang yang bersifat arogan sehingga melakukan kezaliman, merampas hak orang lain, merugikan hak milik orang lain apalagi sampai tidak peduli terhadap hak rakyat yang ekonominya masih lemah.
2.Pemerintah atau siapa saja pihak, maka hukumnya adalah “wajib” untuk memberi ganti rugi dalam penggusuran, jika tanah dan rumah (bangunan) itu memiliki bukti-bukti transaksi jual beli (hak kepemilikan) seperti surat tanah, sertifikat yang disertai ada saksi-saksi bahwa tanah dan bangunan tersebut murni di dibeli dan ada uang (harta) yang telah dikeluarkan untuk itu. Meskipun tanah tersebut milik pemerintah. Dan tidak ada alasan bagi pemerintah malah memutar balik dengan mengeluarkan argumentasi dengan mengatakan : “Karena tanah ini adalah milik negara, maka rakyat yang menempatinya selama ini, wajib membayar sewanya, seberapa lama ia menetap dan menggunakannya”.
Sehingga dengan argumentasi ini sang pemimpin memaksa untuk melakukan penggusuran dengan segala cara, meskipun harus mengeluarkan uang rakyat melalui dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) untuk membayar aparat agar dapat memaksa rakyatnya cepat digusur.
3.Meskipun tanah atau wilayah itu murni milik pemerintah dan ada undang-undang yang melegalkan untuk mengambil alih hak tersebut, maka wajib hukumnya bagi pemerintah tetap memberikan ganti rugi seperti ganti rugi tanah dan bangunan yang telah dibeli. Namun ganti rugi harga tanah tersebut tidak dapat disamakan dengan harga tanah yang memiliki setatus legalitas resmi yang telah ditetapkan oleh undang-undang pemerintahan (negara).
Terkecuali jika hak milik tanah tersebut adalah milik individu dengan cara dirampas/dikuasai dengan cara zalim oleh seseorang, maka penggusuran tersebut tidak wajib diganti oleh indifidu yang memiliki hak tanah tersebut. Namun berbeda jika hak itu adalah hak milik negara. Karena hak milik negara adalah hak rakyat, maka pemerintah selaku pengelola dan pelindung bagi rakyatnya harus memiliki kebijakan yang arif, adil dan beradap bukan bersifat biadab. Allah SWT sangat tegas menyebutkan di dalam Alqur’an sebagai berikut,
وَمَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ {أل عمران [٣] : ١٦١}
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (semena-mena) dalam urusan harta (hak milik orang lain). Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta (hak milik orang lain), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran [3] : 161)
4.Pemerintah harus memberikan solusi yang arif dan bijak apabila ingin merelokasi atau menggusur pemukiman rakyat. Dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab tentang hak-hak rakyatnya seperi hak tempat tinggal, hak hidup (pekerjaan), hak pendidikan anak-anaknya, hak perlindungan keluarga terutama pada wanita, anak-anak dan orang-orang yang telah lanjut usia.
Apabila penggusuran itu dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana poin di atas maka tidakan tersebut dapat disebut bersifat kesemena-menaan, kezhaliman dan bersifat merampas hak orang lain tanpa belas kasihan, maka hukumnya adalah “haram” dan Allah akan melaknatnya dunia dan akhirat, begitu juga Allah akan melaknat siapa saja orang-orang yang mendukung pemimpin tersebut baik di dunia dan akhirat.
Dalil-dalil tentang keharaman dan Laknat Allah Swt terhadap pemimpin yang zalim dan semena-mena, begitu juga terhadap mereka orang-orang para pendukung pemimpin tersebut adalah sebagai berikut,
a. Ada dua golongan yang tidak mendapat syafa’at oleh Rasulullah Saw yaitu pemimpin zhalim dan melakukan atau merampas hak rakyatnya dengan kesemena-menaan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam Hadis Shahih,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “صنفاني من أمتي لن تنالهما شفاعتي، إمام ظلوم وكل غال مارق” رواه الطبراني ، إسناده ثقات
Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua golongan dari umatku, selamanya mereka tidak akan mendapatkan kelak akan syafa’atku, mereka itu adalah para pemimpin zalim yang melakukan kesemena-menaan, dan siapa saja orang-orang (ahli agama) yang memiliki sifat ghulu (Tasyaddud atau keras dengan mudah untuk mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya)” (HR. At-Thabrani)
b. Pemimpin yang zalim, semena-mena merampas hak rakyatnya akan Allah SWT laknat dunia dan akhirat begitu juga para pengikutnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ .وَأَتْبَعُوا فِي هَذِهِ لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ بِئْسَ الرِّفْدُ الْمَرْفُودُ {هود [١١] : ٩٨-٩٩}
“Ia (para pemimpin zalim dan melakukan kesemena-menaan) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka (para pengikutnya) ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. Dan mereka (pemimpin dan pengikutnya yang melakukan kezaliman dan kesemena-menaan) selalu diikuti dengan kutukan (laknat) di dunia ini dan (begitu pula laknat) di hari kiamat. La’nat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.” (QS. Hud [11] : 98-99)
c. Pemimpin yang arogan, congkak, zalim, dan kesemena-menaan terhadap umatnya, akan Allah timpakan kehancuran dunia (azab dunia) dan azab akhirat. Sebagaimana Allah Swt berfirman,
أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَن يَخْسِفَ اللهُ بِهِمُ اْلأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لاَيَشْعُرُونَ {٤٥} أَوْيَأْخُذَهُمْ فِي تَقَلُّبِهِمْ فَمَاهُمْ بِمُعْجِزِينَ {٤٦} أَوْيَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ {٤٧} (النحل [١٦] : ٤٥-٤٧)
“Maka apakah orang-orang (para pemimpin) yang membuat kecurangan (zalim, melakukan kesewenang-wanangan, licik, mengingkari janji dengan sengaja) yang jahat itu, merasa aman (dari bencana), (maka mereka akan) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan (mati ditabrak kendaraan, jatuh, dll), maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu), atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (seperti penyakit, stres, ketakutan, dll sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (QS. Annahal [16] : 45-47)
KESIMPULAN
Kebijakan, kearifan dan moral seorang pemimpin dalam mengayomi rakyatnya adalah harga yang tidak dapat ditawar-tawar khususnya negara kita yang sedang membangun negara demokrasi yang yang bersifat Pancasila yaitu yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 27 ayat 2 – UUD-1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Ayat (2) Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Mari kita renungi sosok kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dengan kearifan, keadilan, kebijaksanaan, hikmah dan kemuliaannya, beliau pernah berujar ketika berkuasa betapa beratnya dan takutnya beliau untuk mempertanggung jawabkan kebijakannya dihadapan Allah SWT meskipun hanya kepada seekor binatang. Ucapan beliau sebagai berikut,
قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : “لئن ضلت شاة على شاطئ الفرات ، لخشيت أن يسألني الله عنها يوم القيامة” (ص : ٦٢١٣/ ج : ٨/ الفقه الإسلامي)
“Jika ada seekor kambingpun yang tersesat di tepi sungai Furot, aku sangat takut kelak pada hari ikiamat, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepadaku (sebagai seorang pemimpin).”
Seorang pemimpin yang shaleh, adil, bijaksana dan ‘Arif akan Allah berikan kecemerlangan pikiran hikmah yang dapat bermanfaat bagi alam semesta dan ia akan Allah SWT anugerahi kebaikan dan kemuliaan yang begitu banyak tak terhingga, sebagaimana firman-Nya,
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {البقرة [٢] : ٢٦٩}
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran, As Sunnah, dan nilai-nilai filsafat kehidupan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Albaqarah [2] : 269).
Wallahua’lam bis-shawab
KH. Ovied.R
Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020. Sekretaris Majelis Masyaikh Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Taklim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia]. Email: dewanfatwa_alwashliyah@yahoo.com