ISLAM adalah sebuah tuntunan hidup yang dipedomani melalui dua rujukan final yakni Alquran dan Hadis Nabi. Keterangan yang jelas dari dua sumber di atas diamalkan tanpa tanya oleh seluruh penganut Agama Islam sebagai sebuah konkretisasi kepatuhan mutlak seorang hamba terhadap sang Khaliq.
Terkadang terdapat teks nas yang kelihatannya tidak logis, namun karena itu berasal dari Nabi, tetap dilaksanakan. Sikap ber-Agama seperti ini sudah benar. Akan tetapi, sebagai seorang manusia yang diberikan potensi akal untuk berfikir, seyogianya seseorang tidak hanya sebatas meng-amini nas saja secara mutlak, dalam arti dilakukan tanpa tanya dan tanpa ingin tahu mengapa harus begitu.
Contoh kecilnya, dalam hadis riwayat Abu Daud, “Nabi saw. melarang meniup makanan atau minuman.” Ibnu Abbas juga meriwayatkan, “Nabi saw melarang untuk menghirup udara di dalam gelas(ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. Turmuzi). Sikap umat Islam idealis kerap melaksanakan isi teks hadis itu dan tak perlu mencari tahu mengapa Nabi melarang untuk melakukannya.
Secara sederhana, informasi di atas dipandang tidak logis. Karena seharusnya makanan atau minuman yang masih panas lebih baik ditiup supaya cepat dingin untuk memudahkannya dikonsumsi. Akan tetapi, pernyataan Nabi pada ratusan tahun yang lalu itu dilegitimasi oleh ilmu pengetahuan modern saat ini.
Dalam kajian ilmu Biologi, secara struktural air yang dikonsumsi manusia terdiri dari dua buah atom hidrogen dan satu buah atom oksigen, dimana kedua atom tersebut terikat dalam atom oksigen. Itulah mengapa air memiliki nama ilmiah H2O. Ketika manusia bernafas, manusia mengeluarkan karbon dioksida(Co2) dan air(H2O) sehingga akan melahirkan senyawa asam karbonat(H2CO3).
Zat asam inilah yang berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh manusia. Secara filosofis, meniup-niup makanan atau minuman sebelum mengkonsumsinya, sama artinya dengan memakan makanan yang sudah terkontaminasi sebelumnya. Inilah salah satu hikmah mengapa Nabi melarang untuk melakukannya.
(Dr. Tauhid Nur Azhar, Mengapa Banyak Larangan? Hikmah dan Efek Pengharaman…, Solo: Tinta Medina, 2011, hlm. 261-262). Selain itu, membiarkan makanan menjadi dingin dengan sendirinya adalah sebuah terapi untuk melatih diri untuk sabar.
Data lain, larangan makan dengan tangan kiri. Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Muslim mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian makan, hendaklah dia makan dengan tangan kanannya, dan apabila dia minum, maka hendaklah dia minum dengan tangan kanannya. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya.”(HR. Muslim).
Pada prinsipnya, antara tangan kanan dan tangan kiri diciptakan Allah memiliki fungsi yang berbeda, namun saling melengkapi antara satu sama lainnya. Namun demikian, ada nilai tersendiri yang diciptakan dalam pengaturan organ tangan kanan dan kiri. Ketika sedang salat(bersedekap) seseorang meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.
Secara anatomi dan fisiologis tubuh, tangan kanan dan kiri diatur oleh dua otak yang berbeda. Tangan kanan diatur oleh otak kanan dan tangan kiri diatur oleh otak kiri. Otak kiri berhubungan erat dengan analisis otak kognitif yang berkemampuan untuk mempelajari, menganalisis dan membuat kesimpulan. Sementara itu, otak kanan berkaiatan dengan hal-hal yang bersifat acak , arstistik, keindahan, dan imajinasi.
Dari fakta-fakta ini dapat dilihat, bahwa makan bukan hanya mengedepankan unsur rasa saja, akan tetapi juga mementingkan unsur analisis kebutuhan. Semua yang dimakan harus dianalisis baik dan buruk, halal atau tidaknya, apakah makanan itu membawa kebaikan jika dikonsumsi atau malah sebaliknya membawa keburukan. Di sini lah terjadi proses pengendalian diri. Maksudnya, dengan membiasakan diri makan dengan tangan kanan, secara berkesinambungan seseorang dilatih untuk mengendalikan diri dan tidak melampaui batas.
Kenyataan ini berbeda dengan budaya peradaban orang Barat khususnya orang Eropa Kontinental dan Amerika. Mereka mengedepankan aspek estetis dan kenikmatan sehingga yang dominan digunakan adalah tangan kiri dengan medium pisau dan garpu. Kedua benda inilah yang berperan central dalam aktivitas makan, sehingga antara kiri dan kanan menjadi tiada berbeda. Dampak negatifnya, orang yang lebih memprioritaskan pada aspek kenikmatan dan keindahan saja akan mendidik sikap hedonis (cinta dunia) dalam hidupnya.
Orang hedonis adalah orang yang gemar memperturutkan hawa nafsunya, lebih mencintai makanan daripada Tuhan-Nya, lebih mendahulukan kehendak nafsu individualnya daripada aturan Agama. Sementara itu, sifat mengedepankan hawa nafsu adalah ciri khas dari peradaban setan. Inilah mengapa Nabi saw mengatakan, “… Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya”.
Syariat lain yang sering dipertanyakan adalah mengapa babi diharamkan. Pengharaman jenis hewan ini jelas dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 173. Pengharaman atas hewan ini tentu bukan sebatas hanya doktrin Agama yang harus dipatuhi. Melainkan karena pertimbangan kemaslahatan bagi umat Islam itu sendiri. Diterima atau tidak, penelitian medis menunjukkan bahwa DNA babi paling mirip dengan DNA manusia. Karena itu, menurut para pakar, makanan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan kondisi kejiwaan seseorang. Hal ini diungkapkan Dr. Alexis Carrel penulis buku Man The Unknowm.
Di sisi lain, ahli endokrinologi dan gizi Klinik Mayo, Missesota Amerika Serikat, Dr. Wayne Callaway dalam sebuah penelitiannya membuktikan bahwa susunan kimiawi dari makanan dapat mempengaruhi suasana hati seseorang. Menurutnya, selain karena faktor fisik, makanan pun dapat mempengaruhi sistem kerja pusat emosi yang berhubungan dengan hipotalamus di dasar otak. Jadi, ketika hipotalamus dirangsang pada bagian pusat medianya, maka akan terjadi rangsangan untuk makan. Sementara bagian hipotalamus itu berkaitan dengan sistem limbik yang dapat mempengaruhi perilaku serta emosi manusia. Pendeknya, makanan dan minuman dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter jiwa manusia.
Hikmah mengapa babi diharamkan salah satunya adalah karena pada pola hidup babi babi banyak terdapat sifat-sifat keburukan. Di antaranya, kebiasaan menyiram makanannya dengan air seninya sebelum dimakan, rakus, tidak pencemburu, suka memakan bangkai dan kotoran sendiri, pemalas, dan memiliki nafsu seksual yang sangat tinggi. Jadi, secara tidak langsung, orang yang sering mengkonsumsi babi, sifat yang melekat pada babi akan membentuk karakter kepribadiannya.
Selain itu, babi adalah binatang “penampung” terhadap virus-virus berbahaya. Seiring maraknya rekayasa genetika, para ilmuan banyak menemukan virus dan bibit penyakit pada babi seperti cacing pita taenia solium, cacing spiral trichinella spiralis, cacing tambang ancylostoma duodenale, cacing paru paragonimus pulmonaris, bakteri tubercul ossis(TBC), virus cacar(small pox), dan sebagainya.
Berbagai bakteri berbahaya yang dikandung daging babi, akan berdampak negatif jika dikonsumsi manusia. Jadi, pengharaman babi bagi umat Islam bukan tidak beralasan, melainkan karena dampak negatif yang ditimbulkan jika mengkonsumsinya. Tidak baik terhadap fisik dan psikis manusia.
Data di atas hanyalah sebahagian kecil dari berbagai penemuan ilmiah yang terdapat dalam syariat ajaran Agama Islam. Tapi paling tidak semua itu adalah refresentatif dari berbagai fakta yang menunjukkan bahwa ajaran Islam bukan hanya sebatas doktrin yang harus diikuti sebagai bentuk kepatuhan mutlak seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Lebih dari itu, syariat yang dibawa oleh Nabi saw. bertujuan untuk kepentingan umat manusia itu sendiri. Dengan bahasa sederhana disebut “limaslahat an-nas”.
Karena itu, patuh dan taat dalam mengamalkan berbagai perintah dan larangan dalam Agama adalah baik, akan tetapi mencoba untuk mengelaborasi lebih dalam syariat itu dengan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan ilmiah tentu akan menghasilkan sikap cerdas beragama. Pada klimaks-nya, semua penelitian dan pembuktian ilmiah terhadap syariat Agama akan meningkatkan kualitas keimanan akan kebenaran ajaran Agama Islam. Wallahu a’lamu
Irwansyah, M.H.I
Anggota Dewan Fatwa PB Al Washliyah Jakarta
Kader Ulama dan Wasekretaris Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara