25 C
Jakarta
Selasa 5 Desember, 2023

Serial 1: Ulama Sumatera Utara yang Terlupakan

Gubahan Islam: Pelita Ilmu di Kota Kerang

JAKARTA – Syeikh Ismail bin Abdul Wahab Harahap, Bagan Asahan (1897) memperdalam ilmu agama dengan Syeikh Hasyim Tua salah seorang ulama Tanjung Balai. Tanjung Balai sendiri adalah kota pelabuhan dan pusat pendidikan agama Islam Kesultanan Asahan. Kota ini menjadi tujuan pendidikan diantaranya dari Kerajaan Kotapinang dan Kerajaan Pane.

Melengkapi ilmu agamanya, 1925, ulama ini berangkat ke Makah sebagai salah satu pusat intelektual Islam sedunia, selain merupakan Kota Suci tempat berkumpulnya seluruh umat Islam untuk haji. Berlanjut ke Universitas al Azhar di Kairo tahun 1930. Selain dakwah juga aktif dalam politik untuk menentang kolonialisme, menjabat sebagai Ketua Jamiatul Khoiriyah, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir. Memperluas organisasi dan menjadi Ketua Persatuan Indonesia Malaya dan berhasil membangun solidaritas dan nasionalisme di jiwa para pemuda Indonesia dan Malaysia yang belajar di Mesir.

1936, dia kembali ke tanah air. Kedatangannya ke tanah air kemudian dipersulit oleh penjajah Belanda. Kewibaan dan sabar atas tekanan kolonial saat itu membuanya mendirikan sebuah institusi pendidikan Gubahan Islam di Tanjung Balai dibantu beberapa tokoh H. Abdur Rahman Palahan dan H. Abdul Samad.

Pendidikan yang diterapkannya di perguruan tersebut semakin lama semakin meningkat. Beberapa tahap dan level pendidikan didirikan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Level pendidikan umum, dewasa, dan juga pendidikan politik bagi aktivis-aktivis kemerdekaan.

Dia juga terlibat dalam riset dan penelitian demi memajukan sistem sosial masyarakat di Tanjung Balai. Buku Burhan al-Makrifah adalah hasil riset yang dilakukannya. Tulisannya pun banyak dimuat di koran. Beberapa kali Belanda mengeluarkan perintah rahasia untuk membungkamnya. Beberapa aturan dibuat khusus termasuk larangan untuk mengajar. Paska kemerdekaan, dia diangkat menjadi Ketua Nasional Kabupaten Tanjung Balai, untuk menegaskan kemerdekaan.

1946, di Tebing Tinggi, dia menggalang solidaritas ulama se-Sumatera Timur dan merumuskan beberapa fatwa untuk membantu umat dalam menghadapi kesulitan ibadah yang mereka hadapi. Rakyat di Sumater Timur menunjukkan keberaniannya untuk menurunkan bendera Jepang di Kantor Gun Sei Bu di Tanjung Balai. Sesuatu tindakan nekat untuk ukuran zaman penjajahan Jepang yang otoriter.

Pernah menjadi penanggung jawab sekaligus pimpinan redaksi Majalah Islam Merdeka dan menjadi Kepala Baitul Mal Jawatan Agama atas permintaan Gubernur Sumatera Mr T. M. Hasan dan berkedudukan di Pematang Siantar.

Menjadi target agresi militer Belanda pertama 1947, dia memutuskan untuk mengungsi ke Pulau Simardan. Enam hari setelah agresi saat dia menungunjungi rumahnya di Jalan Tapanuli, Lorong Sipirok, Tanjung Balai untuk mengambil perbekalan dia pun ditangkap Belanda. Ditembak mati 24 Agustus 1947 dengan dakwaan sebagai provokatif pemuda Indonesia untuk merdeka. Saat itu usianya 50 tahun, dimakamkan di Simardan Tanjung Balai.

(jul kiev/ar)

About Author

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansSuka
1,230PengikutMengikuti
206PengikutMengikuti
100PelangganBerlangganan

Latest Articles