MEMBANGUN KA`BAH. Saudaraku … Rumah yang pertama dibangun di muka bumi adalah ka’bah atau baitullah di Mekah yang kini menjadi kiblat umat Islam dalam sholatnya.
Seperti tercantum dalam surat Ali Imran 96 yang berbunyi, “Inilah rumah yang mula dibangun untuk peribadatan di lembah Bakka (Mekkah) yang diberkahi dan jadi petunjuk bagi manusia”.
Menurut Ibnu Abbas ra., sejarah ka’bah bukan dimulai dari zaman Nabi Ibrahim as., tapi sudah berawal dari Nabi Adam as., Allah mengutus malaikat Jibril untuk menjumpai Adam yang sudah diturunkan di bumi. Kemudian, kakek manusia ini disuruh ke lembah yang kini bernama Mekah.
“Dirikan Baitullah dan thawaflah kamu disitu,” kata Jibril. Ka’bah yang dibangun Nabi Adam dengan bantuan malaikat itu berupa yaqut merah yang didalamnya kosong. Lalu Adam thawaf seperti diperintahkan. Adam merupakan manusia pertama yang mengelilingi ka’bah.
Selain Nabi Adam as., malaikat sudah thawaf sejak 2000 tahun sebelum Adam sambil membaca do’a: “Maha Suci Allah segala puji Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Allah yang Maha Besar”. (Subhanallahu, walhamdulillahi walaa-ilaaha illahu wal-llahu akbaru).
Adam juga yang pertama mendapat perintah untuk berhaji. Ketika beliau thawaf, do’a itu disuruh malaikat tambah lagi dengan: “Tiada daya menjauhi larangannya dan tiada kekuatan melaksanakan perintah, kecuali dengan pertolongan Allah”. (wala-khaula walaquqata illah-billahi).
Adam terlempar dari surga ke bumi setelah makan buah terlarang bersama istrinya, Hawa yang tergoda iblis. Kemudian Allah menerima tobat Adam yang waktu itu sedang menunggu (wukuf) di Arafah, bahkan konon sekian lama setelah berpisah lalu bertemu lagi dengan Ibu Hawa di Jabal Rahmah, “Wahai Adam dosamu Kuampunkan sejak selesai kau lakukan,” kata Tuhan.
Dari hadist Rabbani diriwayatkan Dailami dan al-Mundziri bersumber dari Anas ra., menyebutkan Allah mengadakan perjanjian luar biasa dengan Nabi Adam. Nabi Allah ini memohon kepada Allah agar dosa anak cucunya diampunkan. Dan Allah berjanji, keturunan Adam akan beroleh ampunan bila mereka mau beriman kepada Allah, percaya kepada Rasul-rasulnya dan Kitab-Nya.
“Jika nanti anak cucumu datang ke Masjidil Haram ini dan mereka memohon dosa-dosanya diampunkan maka Aku akan mengampuni semua dosa-dosa mereka,” kata Allah kepada Adam.
Maka Adam tak lagi bersedih. Ia tidak menangis mengingat dosanya dan dosa anak-anak serta cucunya. Adam yang tingginya 60 hasta itu terus berkemah di Bakka (Mekah) sampai Allah mencabut roh dan tendanya. Belakangan Nabi Syits membangun rumah dengan tanah dan batu di bekas kemah ayahnya, Nabi Adam. Konon, disinilah asal fondasi ka’bah itu yang kini sudah abadi.
Setelah Nabi Ibrahim al Khalil memerangi berhala kaum Namrud di Babilonia, ia diperintahkan Allah untuk membangun ka’bah baru di Mekah. Ka’bah yang lama sudah rusak. Ibrahim membina Baitullah lagi bersama Ismail, putranya dengan Siti Hajar. Setelah itu, Jibril menyerahkan batu Hajar al-Aswad kepada nabi mulia ini untuk dipasang kembali di Batul Atiq.
IBADAH QURBAN
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(Q.S. Asshaaffaat [37]:102).
SAUDARAKU…..
Memaknai Idul Adha berarti ada 2 peristiwa besar yang menjadi fokus pembicaraan, yaitu haji serta qurban, kedua peristiwa itu hampir tidak bisa dipisahkan bilamana dikaitkan dengan Idul Adha.
Adha bermakna qurban atau udhuliyah, sementara prosesi ibadah haji salah satu diantaranya membicarakan sejarah penyembelihan Ismail yang disimbolkan dengan melontar jamaarat di Mina, selain itu peristiwa Arafah sebagai puncaknya ibadah haji juga rangkaian erat dari Idul Adha itu sendiri.
Ibadah haji adalah satu dari lima ketetapan kewajiban perintah Allah SWT (rukun Islam) dan merupakan suatu ekspresi dari sikap determinan ibadiyah setiap muslim di seluruh dunia.
Pelaksanaan ibadah haji tersebut tidaklah semata-mata pelaksanaan tapak tilas sejarah Nabi Ibrahim AS, sehingga berkonotasi sekedar sebuah “perjalanan pariwisata” dengan bungkus ritualistik dan rutinisasi ubudiyah saja. Tetapi hal penting di dalamnya adalah pesan yang dimaksud dari konsekuensi ibadah itu sendiri, dimana makna yang tersirat dari yang tersurat adalah dengan menyikapi makna ubudiyah tersebut secara multidimensi dan keterpaduannya, ibadii horisontal (muamalat) dan ibadii dalam dimensi vertikal (habluminallah).
Filosofi haji dapat di lihat sebagai tujuan akhir dari ibadah haji antara lain : Pertama, dilihat dari pengorbanan besar yang dilakukan Nabi Ibrahim AS atas perintah Allah SWT untuk meng-“eksekusi” puteranya (Q.S. 2: 124), secara artificial merupakan
pengorbanan jihadiyah di dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Di dalamnya sosok manusia (badaniyah) merupakan bagian dari ketergantungan sosial, dalam arti tidak dapat hidup secara personal individual atau mementingkan diri (raga) sendiri (Lillahi maa fis samawaati wa maa fil ‘ardh).
Kedua, dapat diartikan bahwa haji sebagai reaktualisasi pengorbanan dan jihad, tidak saja mengorbankan harta, pangkat, tahta dan gelar, tetapi juga diperlukan pengorbanan kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Oleh karenanya ada beberapa dalil naqli dalam kitabullah yang menyebut bahwa “istri dan anak-anakmu merupakan ujian bagi kamu”.
Beberapa contoh pengorbanan dalam jihadiyah di sini dapat saja dianalogkan : meninggalkan anak istri untuk berjuang di medan laga (Q.S. 2:261); tidak terlalu mementingkan keluarga (anak/istri) dalam bingkai nepotisme, koneksiisme, dan primordialisme; tidak memberikan kasih sayang kepada anak secara berlebihan, dan lain sebagainya.
Ketiga, dapat diintrepretasikan bahwa kita harus melawan godaan-godaan (syetan) dalam segala bentuk pada saat kita menegakkan kebenaran dan keadilan (perintah Allah) dan menjauhi semua larangannya. Bahkan dalam waktu yang bersamaan kita pun dituntut pula untuk memerangi godaan tersebut (Q.S. An Naas:1-5), dimana manifestasi perilaku syetan dapat saja berupa perilaku manusia destruktif. Dalam memerangi perilaku destruktif ini dapat kita simak dalam simulasi ibadah jumrah di Mina.
Oleh karenanya penekanan pada kata “perjalanan” pada ayat tersebut secara implisit adalah merupakan kata kunci tingkat keberhasilan ubudiyah dalam alur pesan-pesan dialektika historis tadi. “Sabilillah” dimaksudkan tidak terpaku hanya dalam ruang lingkup territorial/kultur tertentu (baca : Arabian) yang melokalisirnya, maupun lingkupan dimensi waktu yang
mensirkulasinya.
Tetapi konteks Sabilillah dimaksud, secara lebih radikal dan universal ialah “jalan Allah” yang bertitik tolak pada penyelamatan kehidupan alam semesta beserta isinya (makhluk) secara komprehensif; dan tidak dilihat dari tahapan-tahapan alur-alur pariwisata internal dengan segala romantiknya.
Kemudian makna keempat, arti filosofis wukuf di Padang Arafah bisa saja dianalogikan sebagai rasa kebersamaan dalam kehidupan dimana antar bangsa/kaum di mata Tuhan yang Maha Esa sama derajatnya. Hal yang membedakan antara satu dengan lainnya hanya keluhuran budi (baca:ketaqwaannya).
Kendati semua orang yang datang ke Padang Arafah berasal dari berbagai bangsa dan negara, akan tetapi rasa persaudaraan dalam garis silaturahmi (nasionalisme dalam “taman sari” internasionalisme) tetap di atas segalanya. Ini di lain pihak juga membawa efek hablum minannaas yang globalistik. Dalam nilai-nilai Pancasila, ini dapat saja tersublim dalam sila kedua.
SAUDARAKU….
Prinsip ajaran qurban itu mengandung tiga kontekstual : konteks ibadah (vertikal), konteks mu’amalah (horisontal), dan konteks rehabilitasi moral (orthogonal) bagi pequrbannya. Dimensi-dimensi ini perlu diaktualisasi ketika qurban dilakukan, agar di satu pihak ibadah tersebut tidak terkondisi dalam rutinitas ritual ansich, dan sekedar ajang bagi-bagi daging, dipihak lain.
Konteks vertikal dari qurban, sesuai terminologi qurban jika diambil dari kata qaruba-yaqrubu-qurban-qurbanan, bermakna mendekatkan diri dalam hal ini taqarrub ilallah sebagai proyeksi dari rasa mahabbah dan tho’ah kepada Allah SWT. “Kamu pasti tidak akan sampai kepada ibadah yang sempurna sebelum kamu mampu menginfaqkan sebagian dari harta yang kamu cintai …” (Q.S. Ali Imran:92).
Syari’at qurban sebagai salah satu bentuk ibadah sudah ditanzil (dirujuk) ajarannya sejak Nabi Adam As. Praktisnya ketika dua puteranya, Qabil dan Habil, hendak mempersunting Aqlima sebagai isteri. Allah menerima qurban salah seorang dari mereka (Habil). Sebab domba yang dipersembahkan Habil betul-betul atas dasar mahabbah dan tho’ah serta ikhlas.
Sesuai dari arti namanya, isim fa’il dari kata hablun yang berarti tali. Demi tidak putusnya tali kasih kepada Allah dia rela mengurbankan apa yang paling dicintainya. Dipersembahkannya domba terbaik dari domba-domba yang dimilikinya (Q.S. Al Maidah:27).
Ketika ajaran qurban itu direaktualisasi kurang lebih 6000 tahun kemudian (pada masa Nabi Ibrahim As), penekannannya juga seputar mengurbankan apa yang dicintai, dalam hal ini perintah menyembelih anak kandungnya, Ismail, putera tercinta sibirang tulang belahan jiwa.
Hakikatnya, apakah Ibrahim akan menomorduakan cintanya kepada Allah setelah cintanya kepada anak, isteri dan harta benda miliknya ? Ternyata nabi Allah yang hanif ini, lulus dari ujian berat tersebut. “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan diberikan baginya jalan keluar dari satu kesulitan, dan dikaruniakan jalan rezeki yang tidak disangka-sangka
datangnya” (Q.S. Ath Thalaq:2).
Tamsil yang dicontohkan Ismail AS, tatkala mendengar perintah ayahnya untuk menyembelih dirinya merupakan mujahadah yang sangat besar. Betapa ia lebih mementingkan kepentingan Allah daripada kepentingan dirinya.
Rasul SAW pernah ditanya oleh sahabat, “Wahai Rasul, jihad apa yang paling besar?” Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu”. (HR. Muttafaq Alaih).
Penggalan percakapan tadi mengindikasikan bahwa hawa nafsu adalah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam berqurban, anak Adam diajarkan untuk menundukkan nafsu, lebih melihat saudara yang berada di bawahnya. Di sini bermain antara sikap egois dengan sikap sosial. Sebab itu, tidak sembarang manusia yang mampu untuk
melaksanakan ritual ini.
Untuk itu pula, dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasul menegaskan, “Siapa memiliki kelapangan uang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia datang ke tempat shalat kami.”
Sebaliknya berita gembira bagi mereka yang melaksanakan qurban, Rasul bersabda, “Tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada hari raya Haji selain berkurban. Sesungguhnya orang yang berkurban akan datang pada hari kiamat dengan membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang qurban itu. Dan sesungguhnya darah qurban yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada
Allah daripada (darah itu) jatuh ke bumi. Maka, sucikanlah dirimu dengan berkurban” (HR. Al Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ibrah esensial dari perjalanan Ismail dan Ibrahim AS yang masih sangat relevan untuk kita teladani saat ini adalah sikap sabar, taat, dan ikhlas. Gambaran ketiga sikap ini sangatlah jelas tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan putranya untuk melakukan penyembelihan (lihat QS. 37:103). Tetapi, apa yang terjadi, atas kebesaran Allah, Ismail digantikan dengan hewan sembelihan yang besar. Bahkan, kebaikan keduanya diabadikan dan menjadi pelajaran untuk umat berikutnya.
REHABILITASI MORAL
Saudaraku, Untuk menjadi penyempurna sikap, bahwa kita manusia punya empat peluang dalam berkarakter. Jika dominan nafsu muthmainnahnya dia bisa mendekati sifatnya malaikat.
Jika dominan nafsu shufiyyahnya dia bisa jadi dirinya sendiri. Jadi dominan nafsu lawwamahnya dia bisa jadi berwatak kehewan-hewanan (dalam ilmu tasawuf disebut sifat bahamiyah). Dan, apabila dominan nafsu ammarahnya dia bisa bersosok setan beringas yang sangat menakutkan.
Filosopis ajaran qurban bisa dijadikan event bagi penunaiannya untuk mensterilisasi perilaku kehewanan dalam dirinya. Karena sadar atau tidak, pada keadaan tertentu, manusia telah berkarakter bagai hewan, yang akan membawanya ke jalan dosa semata. Itu makanya Nabi Muhammad SAW pernah menganjurkan ‘Aisyah supaya berdiri di sisi hewan yang dikurbankannya dan menyaksikan saat penyembelihan dilangsungkan, karena tetesan awal darah hewan qurban membasahi tanah merupakan ampunan dosa.
Mafhum mukhalafahnya (feed-backnya); saat itu tidak ada salahnya jika pequrban pasang itikad : “Ya Allah, mati hewan yang kuqurbankan ini nanti, matilah hendaknya sifat-sifat jeleknya yang ada dalam diriku. Atau, jika kita memang sudah steril kian dari sifat bahamiyah dan subu’iyah, bolehlah dirubah itikadnya :
“Ya Allah, dengan matinya hewan ini nanti, maka matilah hendaknya kemungkinan aku bisa mewarisi sifat jeleknya”. Ada faidahnya, bukan ?
SIFAT JELEK HEWAN KURBAN
Saudaraku…..syaratkan dalam berqurban adalah menyembelih hewan-hewan yang masuk dalam al-an’am, yaitu unta, sapi, biri-biri atau kambing. Masing-masing hewan ternak ini mempunyai sifat jelek yang terkadang diwarisi manusia, meski penjelmaannya agak solid. Bagus juga kalau dijelaskan satu-satu karakter jelek hewan qurban itu untuk memudahkan perakitan nilai filosofis ketika udhiyah dilaksanakan di hari nahar.
1. Unta; jeleknya hewan ini baru mau bekerja (aktivitas) setelah dibujuk rayu, misalnya dengan mengelus-elus kepalanya yang ‘nonong’, atau membelai-belai lehernya yang jenjang itu.
Setelah dirayu-rayu begini, barulah dia beraktivitas. Sebaliknya, jika dihardik dan dicambuk, unta malah akan duduk dan merajuk. Konotasinya bagi sifat manusia ialah baru mau beramal apabila disanjung-sanjung terlebih dahulu. Sungguh tepat manusia yang beramal ria berqurban unta, biar mati sifat jelek unta pada dirinya.
2. Sapi/lembu; jeleknya hewan ini ada tiga paling sedikit :
a) Tidak punya pendirian. Sapi kalau sudah dicucuk hidungnya, diajak kemanapun mau. Ke pasar menarik pedati, ke sawah menarik bajak, diajak ke padang rumput apa lagi, bahkan ditarik ke kamar potong pun oke. Ini konotasi bagi manusia yang plin plan tak punya pendirian yang teguh. Tidak mempunyai sikap istiqamah yang malas menjalankan ibadah.
Dan baru beramal ibadah apabila mendapat cobaan dari Allah (guncangan batin).
b) Tidak punya harga diri. Ini konotasi buat manusia yang sudah kehilangan budaya malu.
Rasanya mustahil gerakan disiplin nasional akan terwujud jika warga bangsa ini sudah tidak punya rasa malu lagi.
3. Biri-biri/kambing; hewan ini terkenal paling banyak sifat jeleknya, diantaranya :
a) Takut pada air, konotasinya buat manusia yang takut atau culas dengan air ketika hendak berwudhu di subuh hari.
b) Tidak punya etika, misalnya saat keluar kandang, suka terburu-buru dan berdesak-desakan.
Lihat ketika shalat Jumat usai, banyak juga yang berdesak-desakan di pintu mesjid saling ingin mendahului. Kurang etis, bukan ? Itulah gunanya qurban kambing, agar sifat kekambing-kambingan itu pupus.
c) Mudah terpancing untuk berkelahi, dan biasanya perkelahian itu hanya gara-gara masalah sepele. Inilah konotasi buat sejumlah komunitas manusia yang gemar melakukan adudomba hanya karena persoalan-persoalan sekecil gurem.
d) Gampang emosi, karena darah kambing memang panas. Konotasinya buat manusia yang tidak bisa mengendalikan tensi emosionalnya, seperti dituturkan dalam (Q.S. Ali Imran:134).
e) Suka neko-neko. Meski tujuannya di halau ke tempat tertentu, tapi kawanan kambing suka belok sana sini. Ini konotasi perilaku manusia yang berkedok amal kebajikan tapi caranya sikut sana sini dan menempuh jalan yang tidak halal.
f) Suka berburuk sangka. Jangan coba mengangguk-angguk dihadapan kambing, domba jantan terutama, pasti buruk sangkanya yang muncul, dikiranya kita akan mengajaknya berkelahi, dan dia pun segera pasang kuda-kuda. Ini sering diwataki manusia, padahal
buruk sangka dalam surah Al Hujarat:12, termasuk perbuatan dosa. Bahkan dosa besar menurut Tafsir al-Khazin, dan mewajibkan pelakunya melakukan taubat.
Saudaraku … alangkah baiknya jika kondisi sifat jelek hewan ini dii’tikadkan( diniatkan) supaya mati bersamaan matinya hewan yang disembelih ketika qurban, derajat ibadahnya akan lebih tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surah al-Mujadilah:11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat”.
Oleh karena mereka yang berqurban bukan saja telah memberikan kontribusi sosial dari ibadah qurbannya, melainkan juga ibadah tersebut telah memberi nuansa bagi perbaikan etika dan moralnya bagi kesempurnaan eksisnya sebagai perpanjangan ‘tangan Tuhan’ di muka bumi ini, sebagai simbol akan keluasan jiwa, kematangan sifat ikhlas dan menifestasi dari berbagi akan Rezeqi yang Allah titipkan sbg amanah yang mesti dipelihara dan disalurkan pada yang ditunjuk untuk itu.
Sesudah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail selesai membangun ka’bah, Allah memerintahkan Nabi Khalilullah ini menyeru segenap umat manusia untuk datang melakukan ibadah haji.
Nabi Ibrahim menjawab, “Ya Tuhan. Bagaimana suaraku dapat didengar mereka? Allah berfirman: “Engkau yang menyeru dan Aku yang menyampaikan”.
Lalu Ibrahim naik ke atas bukit Qubais yang terletak diatas Ka’bah Baitulharam dan berseru, “wahai segenap manusia, Allah telah membangun untuk kamu sebuah rumah dan mewajibkan kamu datang berhaji. Maka sambutlah seruan Allah itu”.
Sampai kini ribuan bahkan sampai jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia memenuhi seruan dan panggilan Allah itu setiap tahunnya untuk mengunjungi Baitullah rumah-Nya yang mulia yang terwujud dalam pelaksanaan ibadah haji yang menjadi rukun Islam kelima bagi mukmin yang mampu.
SAUDARAKU….
Betapa bahagianya kita bila kita mendapat kesempatan untuk berhaji, berziarah ke ka’bah, Masjidil Haram, ke makam Rasulullah SAW di Madinah, indah sekali hidup, sempurnalah rukun Islam kita tunaikan, oleh karenanya apabila ada saudara kita yang berangkat, subhanallah rasanya kita begitu rindu, senang dan haru.
Berbagai peristiwa yang akan dilalui dalam berhaji diantaranya thawaf, mengitari ka’bah, sa’i berlari-lari kecil antara shofa – marwah. Ka’bah diartikan dengan meremukkan simbol-simbol maka ketika kita mengitari ka’bah, status sosial kita sudah tidak ada, kita hanyalah hamba Allah yang berbalut kain putih, persis seperti kita lahir di balut dengan gurita berwarna putih dan nanti pun ketika wafat di balut dengan kain putih (kain kafan). Jadi seseorang yang memulai hajinya harus meruntuhkan kesombongan, dan kita sudah berada pada tempat miniatur akhirat.
SAUDARAKU…
Prosesi haji setelah thawaf, sa’i, maka puncaknya adalah wukuf di Arafah. Wukuf di Arafah menjadi inti (core) dari seluruh rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Nabi SAW sendiri pernah menegaskan, ‘Al-Hajj Arafah’, haji adalah Arafah. (HR. Ahmad dan Ashhab al-Sunan).
Pernyataan Nabi ‘Al-Hajj Arafah’ ini, agaknya tidak hanya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya wukuf di Arafah semata, seperti yang umum dipahami oleh para ahli hukum Islam. Namun, kelihatannya terdapat maksud lain yang ingin beliau sampaikan lewat pernyataannya tersebut.
Maksud itu ialah harapan agar kaum Muslimin menyimak dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh ‘Deklarasi Arafah’, yaitu khotbah Nabi SAW yang disampaikan kepada para hujjaj di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriah, dimana Rasulullah SAW berhaji pertama dan terakhir beliau disebut khutbatul wada’.
Khutbatul Wada’ artinya pidato perpisahan. Pidato ini diucapkan Rasulullah di Jabal Rahmah padang Arafah dihadapan sekitar 100.000 umat Islam. Tiga bulan setelah itu beliaupun wafat meninggalkan umatnya.
Rasulullah mengucapkan pidatonya itu dari atas unta yang dikendarainya. Satu hal yang amat berkesan dari pidato itu, Rasulullah senantiasa mengucapkan kata-kata Allahummsyhad Qod Ballaghtu yang artinya “Ya Allah persaksikanlah bahwa aku telah menyampaikan”. Kata- kata itu diulang beberapa kali manakala beliau telah menyampaikan sesuatu materi dalam
pidatonya.
Selesai mengucapkan pidatonya itu Rasulullah meneruskan pelaksanaan ibadah hajinya. Itulah hajinya yang pertama dan terakhir. Isi pidato Rasulullah ini sangat penting diketahui umat Islam karena menyangkut masa depan Islam dan kaum muslimin. Secara ringkas ada 10 hal penting yang diwasiatkan Rasulullah kepada kita melalui pidato tersebut.
Pertama, pesan pertama Rasulullah adalah mengenai perlindungan hukum tentang harta dan jiwa. Rasulullah mengingatkan bahwa harga dan jiwa kamu tetap dilindungi, sehingga seseorang tidak dibenarkan mengganggu orang lain. Seseorang tidak dibenarkan mengambil, merampas, atau memiliki harta orang lain. Dan untuk melindungi jiwa seseorang, Islam mensyariatkan
hukuman qishosh dan untuk melindungi harta, Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri.
Memang bagi orang yang dangkal penghayatannya tentang ‘maqoshidut tasyri’ sering menghujat bahwa hukuman qishosh atau potong tangan terlalu sadis. Atau yang sedang trend saat ini orang dapat saja mengatakan bahwa hukuman qishosh atau potong tangan amat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Dalam hal ini Allah sendiri telah menjawab dengan tegas melalui Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 179 bahwa hukuman qishosh itu untuk menjamin hak hidup manusia. Dengan jawaban Allah yang demikian tegas, maka nada-nada sumbang yang sering dilontarkan orang tidak perlu kita perhatikan, karena nada-nada sumbang seperti itu tidak lain sekedar mengungkap tabir kejahilan mereka sendiri.
Kedua, Rasulullah mengingatkan tentang amanah. Rasulullah memesankan bahwa barang siapa yang menerima amanah harus menunaikan amanah itu sebagaimana mestinya. Jangan sekali-sekali berkhianat, oleh karena berkhianat itu merupakan ciri munafik.
Sebagai seorang Rasulullah, beliau diyakini telah memprediksi akan terjadinya penghianatan-penghianatan terhadap amanah ini. Nilai-nilai kejujuran semakin menghilang dari kehidupan manusia sebagaimana kita rasakan sejak beberapa waktu yang lalu.
Dan oleh karena budaya khianat itu telah berurat berakar terlalu dalam, mengakibatkan betapa sulitnya untuk mengembalikan nilai-nilai kejujuran ini kembali di tengah-tengah masyarakat. Bahkan orang yang benar-benar amanah akan dikucilkan karena tidak mampu berkoalisi dengan kaum munafik.
Ketiga, Rasulullah juga mengingatkan tentang riba agar tetap dihindari. Bahkan Allah sendiri telah mengingatkan hal ini melalui Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 yang berbunyi “. . . dan Allah menghalalkan jual beli tetapi Allah juga mengharamkan riba . . .” Pengharaman riba ini tidak pernah dicabut sampai saat ini dan bahkan sampai hari kiamat.
Penekanan Rasulullah agar umat Islam senantiasa menghindarkan diri dari riba, karena Rasulullah telah memperhitungkan betapa banyak umat Islam yang akan terjerumus ke dalam praktek riba di akhir zaman dengan berbagai dalih. Bahkan bukan mustahil mereka yang seharusnya menjadi panutan umat berupaya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat riba ini agar mereka tidak dipandang salah menjerumuskan diri di dalam praktek riba.
Padahal Allah juga mengingatkan siapa pun orangnya yang terlibat riba tak ubahnya bagaikan orang yang disambar syeitan karena kehilangan kesadaran untuk melihat jalan yang benar.
Keempat, Rasulullah juga mengingatkan tentang keharusan membayar dam (denda) bagi pelaku pembunuhan tanpa sengaja. Di dalam hukum jinayat Islam ditentukan bahwa pelaku pembunuhan tanpa sengaja harus membayar 100 ekor unta kepada ahli waris terbunuh. Demikian pula bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja yang beroleh keampunan dari ahli waris korban, ia tetap dibebani membayar 100 ekor unta.
Kelima, Rasulullah mengingatkan tentang nasi-ah, yaitu pengunduran waktu yang mengakibatkan manusia banyak menjadi sesat.
Tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah mereka senantiasa menghormati bulan-bulan haji seperti Zulqaidah, Zulhijah dan Muharram. Pada bulan-bulan tersebut tidak boleh dilakukan peperangan. Akan tetapi karena kadang-kadang peperangan tak dapat dielakkan lagi, maka mereka melanggar aturan yang sudah mereka sepakati turun temurun.
Pelanggaran itu dengan cara mengundurkan bulan yang sedang berjalan. Seperti jika peperangan terpaksa harus dilakukan di bulan Zulqaidah, maka bulan itu tidak mereka hitung sebagai Zulqaidah, tetapi mereka sepakati sebagai bulan Syawal.
Pengunduran-pengunduran yang demikian amat sering mereka lakukan, sehingga akibatnya mengacaukan perhitungan bulan dan membingungkan masyarakat. Bahkan ada sebagian muarih (ahli) pada bulan Zulqaidah yang disangka bulan Zulhijah. Dan barulah
Rasulullah memimpin umat Islam mengerjakan haji pada tahun berikutnya tepat pada bulan Zulhijah.
Dalam kaitan ini Allah memperingatkan melalui Al Qur’an surah Attaubah ayat 37: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu menambah kekafiran, menjadi sesatlah orang-orang kafir karena pengunduran itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun tetapi mengharamkannya pada tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan bulan yang dilarang Allah, akibatnya mereka halalkan apa yang dilarang Allah dan mereka memandang sikap mereka sebagai sikap yang baik, sungguh Allah tidak akan memberikan petunjuk-Nya kepada mereka yang kafir”.
Keenam, Rasulullah juga memesankan tentang wanita agar senantiasa dilindungi hak-haknya, jangan diperkosa hak asasinya. Rasulullah juga mengingatkan agar wanita itu sendiri senantiasa menjaga martabat dan harga dirinya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah mengingatkan bahwa wanita itu adalah tiang negara, jika kaum wanita baik maka akan baiklah masyarakat, tetapi manakala kaum wanitanya telah rusak akan rusak pula masyarakat dan negara.
Islam sebagai agama yang membebaskan wanita dari keterbelengguan di zaman jahiliyah, tidak sekedar membebaskan tetapi sekaligus menempatkan kaum wanita pada posisi-posisi strategis sesuai dengan kodrat kewanitaannya, sampai-sampai penentuan seseorang akan ke surga atau ke neraka lebih banyak ditentukan oleh kaum wanita, karena Rasulullah mengatakan bahwa surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.
Pesan Rasulullah tentang masalah wanita ini paling tidak mampu menyadarkan kita saat ini untuk tidak berkepanjangan melakukan pelecehan-pelecehan kepada kaum wanita. Disamping wanita itu sendiri harus senantiasa ingat untuk tetap mampu menjaga martabat dan harkatnya dengan sungguh-sungguh.
Ketujuh, kemudian Rasulullah juga memesankan agar umat Islam senantiasa memelihara dan bahkan meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Janganlah ukhuwah Islamiyah menjadi rapuh dan sirna sepeninggal Rasulullah.
Penekanan ini disampaikan Rasulullah oleh karena beliau memprediksikan akan terjadinya perpecahan-perpecahan di kalangan kaum muslimin di akhir zaman. Perpecahan-perpecahan ini tentunya selain perbuatan orang-orang yang memang tidak senang terhadap Islam, juga karena didorong kepentingan-kepentingan duniawi yang lebih dominan sebagaimana indikasinya sudah dapat mulai dirasakan saat ini.
Padahal Allah telah menuntut umat Islam untuk tetap menjaga ukhuwah kapan saja dan dimana saja. Rasulullah sendiri berpesan agar umat Islam jangan saling menzalimi, jangan saling mendengki, jangan saling mencari-cari kesalahan antara yang satu dengan yang lain, jadilah kamu hidup penuh persaudaraan.
Kedelapan, pada kesempatan itu Rasulullah juga memesankan agar umat Islam menyampaikan agama ini kepada mereka yang belum mengetahui.
Pesan ini berarti pembebanan tugas dakwah kepada setiap individu muslim tanpa membedakan pangkat dan jabatan. Sebagaimana diketahui bahwa tugas dakwah harus dilaksanakan “bilhikmah” sesuai dengan kondisi, situasi dan kemampuan seseorang. Dengan
demikian tugas dakwah bukan menjadi beban orang perorang tetapi tugas seluruh umat Islam.
Kesembilan, Rasulullah juga mengingatkan tentang masalah warisan yang secara global telah digariskan di dalam Al Qur’an. Pesan ini juga mengandung makna agar umat Islam menguasai ilmu faraidh, karena ilmu faraidh ini termasuk salah satu ilmu yang akan mudah hilang dari penguasaan umat.
Ilmu faraidh termasuk ilmu sosial yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi ia senantiasa berkaitan dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian ia tidak akan terhindar dari pengaruh perkembangan zaman, sehingga tidaklah mengherankan manakala dalam Kompilasi Hukum Islam dikenal adanya Plaatverpooling (ahli waris pengganti) yang dalam pembicaraan faraidh selama ini tidak pernah tersentuh.
Kesepuluh, pada bagian akhir dari Khutbatul Wada’ itu Rasulullah mengingatkan kaum muslimin agar senantiasa menjadi garis nasab (keturunan) secara hukum. Untuk itu Islam menutup pintu serapat-rapatnya tentang perzinaan, sehingga ayat yang melarang perzinaan bukan sekedar melarang melakukan zina, tetapi mendekat-dekati praktek perzinaan saja pun sudah dilarang.
Kekacauan tentang nasab ini akan berpengaruh kepada masalah-masalah munakahat dan kewarisan. Seorang anak yang lahir akibat perzinaan telah jelas tidak akan mempunyai hubungan kewarisan kepada laki-laki yang menikahi ibunya, kalaupun ia akan menikah maka walinya adalah sulthan (hakim).
Tetapi bagaimana jika seorang wanita berzina dengan beberapa orang laki-laki yang mengakibatkan kehamilan, bukankah amat sulit menentukan laki-laki mana yang membuahi wanita itu? Demikian pula jika seseorang wanita hamil karena zina dan kemudian nikah dengan laki-laki lain sebelum anak lahir, anak siapakah yang dikandungnya?
Kalaupun anak itu kelak lahir perempuan siapakah yang menjadi walinya jika akan menikah? Bagaimana pula hubungan kewarisan dengan laki-laki yang menikahi ibunya? Pokoknya akan terjadi kerumitan hukum jika masalah nasab tidak terjaga dengan baik.
SAUDARAKU….
Dalam khotbah ini, Nabi SAW mengajak manusia ke jalan Allah SWT, dan menyeru mereka agar menghormati hak-hak suci sesama manusia baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam pidato ini, Nabi SAW antara lain menegaskan, “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci)ini”. (Kitab Shahih Muslim bi Syarkh al-Nawawi 8:182).
Khotbah Arafah, seperti terlihat di atas, sangat menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini sejalan dengan ajaran dan doktrin Al Qur’an yang menegaskan bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai kemanusiaan sejagat (universal) (Qs. Al-Maidah :27-32).
Pesan-pesan yang disampaikan Nabi dalam khotbah Arafah tersebut, sebagian di antaranya kini dikenal sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, khotbah Arafah dapat disebut sebagai deklarasi mengenai HAM itu sendiri. Sebagai deklarasi, khotbah Arafah, tentu mendahului semua deklarasi tentang HAM yang pernah dikenal di dunia Barat.
Islam, seperti pernah dinyatakan oleh filosof Muslim Prancis, Roger Garaudy, memang memiliki pandangan dan visi yang mengagumkan mengenai HAM. Tapi, sayang, lanjut Garaudy, pandangan ini pernah dirusak oleh berbagai deviasi dan penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam baik dalam bentuk despotisme politik maupun dalam bentuk pemahaman yang rigid dan dangkal terhadap sumber-sumber Islam, terutama Al Qur’an dan Al-Sunnah (Human Rights and Islam, h. 46-60).
Agak ironis memang bila umat Islam yang memiliki ajaran yang begitu memuliakan HAM seperti terlihat dalam Deklarasi Arafah, pada kenyataannya justru diidentifikasi sebagai umat yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM. Kita tampaknya perlu terus
meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai HAM, sebagai bagian tak terpisahkan dari realisasi dan pengalaman ajaran agama.
Barangkali inilah makna dari imbauan Nabi SAW yang diutarakan secara berulang-ulang di sela-sela pidatonya di Padang Arafah itu. Katanya, “Ala Falyuballigh al-Syahidz Minkum al-Ghaib” (ingat, hendaklah orang yang hadir di antara kamu menyampaikan “Deklarasi Arafah” ini kepada yang tidak hadir).
SAUDARAKU…
Alangkah indahnya ajaran Qurban bila kita maknai ,sekarang dikembalikan pada kita bagaimana jiwa berqurban itu menjadi identitas kita, menjadi kebiasaan hidup kita, Kita juga mesti belajar dan mengambil ibrah dari ajaran Haji yang mempersamakan
semua manusia di hadapan Allah, tidak ada kesombongan,dan tidak ada yg harus disombongkan, ketika berhaji mereka berpakaian putih dan bukankah pakaian putih sama seperti ketika kita lahir disambut dengan gurita putih, kita wafatpun nanti dengan kain warna putih, artinya dalam hidup ayolah selalu menjaga kesucian dan kebeningan diri, saling toleransi , tasamuh dan mengedepankan kebersamaan.
Bagi kita persaudaraan atau ukhuwah islamiyah sesuatu yang final, wajib hukumnya untuk menjaganya, demikian pula ukhuwah wathaniyah, menjaga persaudaraan sesama anak bangsa harus menjadi tekad dan kewajiban kita, bukankah Negara ini merdeka, adalah dengan pengorbanan jiwa, darah syuhada, karenanya kita wajib menjaganya, memeliharanya dari para pengkhianat yang berkeinginan agar kita berpecah belah, kita tidak boleh surut dari satu tekad bulat menjaga keutuhan NKRI ,,, Insya Allah
Drs H Masyhuril Khamis SH MM
Sekjen Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah
* Khuthbah Idul Adha di Badan Intelejen Negara (BIN) Jakarta