Oleh: Dr. H. Yusnar Yusuf Rangkuti, MS
BANYAK yang terperanjat, terkejut, menyesalkan, mengutuk, marah, sedih, geram dan sebagainya ketika muslim yang sedang Sholat Hari Raya Idul Fitri harus menghentikan sholatnya sebelum menyelesaikan Takbir Intiqal pada Rakaat pertama. Sholat yang dilaksanakan di halaman Koramil Tolikara itu dipaksa bubar karena ada serangan berupa lemparan batu. Jemaah bubar dan sebagian berlindung di kantor Koramil.
Tidak lama berselang kios-kios di dekatnya dibakar dan mengakibatkan sebuah mesjid pun turut terbakar. Satu versi mengatakan dibakar dan yang lain mengatakan terbakar. Peristiwa itu mengingatkan kita kepada penyerangan terhadap umat Islam di Ambon ba’da Subuh 1 Syawal 15 tahun lalu. Ketika itu umat Islam diserang tiba-tiba. Tidak ada aba-aba apatah lagi tanda sebagai peringatan untuk berperang.
Ratusan kalaupun tidak mencapai seribu. Muslim dan muslimah, anak-anak hingga bayi pun menerima nasib yang sama. Begitu luar biasanya tindakan yang dikakukan oleh umat beragama kepada umat Islam. Memang peristiwa 15 tahun yang lalu tidak sebanding dengan Tolikara, namun ia sudah melukai hati Umat Islam di seluruh penjuru tanah air Indonesia. Seolah-olah NKRI tidak memberi makna apa-apa.
Kebebasan menjalankan ibadah yang dijamin undang-undang sepertinya tidak berlaku ketika kebencian sudah merasuk ke dalam jiwa mesin penghancur fondasi toleransi. Semua tokoh, ulama, Ormas, DPR, hingga Wapres dan presiden, semuanya berusaha menenangkan (coolingdown). Aparat keamananpun langsung turun tangan dengan berbagai cara sesuai SOP yang dimiliki.
Tiba tiba pada Kamis siang (23/7) Ketum PB Al Washliyah diundang Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para ulama, pimpinan Ormas Islam, tokoh agama, ketua-ketua Majelis Agama di Istana Presiden.
Sebagai Ketum PB Al Washliyah yang turut hadir dan mengemukakan pendapatnya dalam pertemuan itu, melihat ada hikmah yang besar dari peristiwa di Tolikara. Pertama, Kesungguhan Presiden dan Wapres terhadap kemaslahatan bangsa dan negara, di mana NKRI menjadi tumpuan.
Kedua, terlihat keseriusan Presiden dan Wapres terhadap pembangunan ukhuwah umat dari bahasa tubuh dan raut wajah yang terpancar secara alamiah. Ketiga, ukhuwah antara pimpinan tokoh agama dan ulama kembali terjalin secara serentak.
Keempat, menjunjung tinggi keragaman dan kebhinekaan yang harus diaplikasikan secara nyata. Indonesia yang berkemajuan dengan keharmonian dan kemakmuran umatnya segera terwujud.[]
*Penulis adalah Ketua Umum PB Al Washliyah