BerandaMajelisDakwahPerempuan Usia Minimal 16 Tahun Menikah Tidak Langgar Konstitusi

Perempuan Usia Minimal 16 Tahun Menikah Tidak Langgar Konstitusi

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batasan usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Demikian putusan dengan Nomor 74/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Kamis (18/6), di Ruang Sidang Pleno MK.

“Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief membacakan putusan yang diajukan oleh oleh sejumlah aktivis perempuan, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan Yayasan Kesehatan Perempuan.

Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Mahkamah menilai hahwa perkawinan adalah hak setiap orang yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara karena perkawinan merupakan hak yang bersifat asasi dan naluriah kemanusiaan dan kodrati yang melekat pada diri setiap orang.

Lebih jauh Mahkamah menilai bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek, baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi.

“Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya,” ujarnya.

Jikalau Mahkamah diminta untuk menetapkan batas usia minimal tertentu sebagai batas usia minimal yang dianggap konstitusional, Mahkamah berpendapat justru hal itu akan membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban dari setiap masa atau generasi.

Mahkamah melihat di masa yang akan datang, tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah. Namun bisa saja batasan usia yang ideal tersebut dianggap lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun.

“Pada faktanya pun, sebagaimana didalilkan para Pemohon bahwa di negara-negara lain ada pula yang menetapkan bahwa batas usia minimal bagi wanita untuk kawin adalah 17 (tujuh belas) tahun, 19 (sembilan belas) tahun, maupun 20 (dua puluh) tahun,” terang Patrialis.

Menurut Mahkamah, lanjut Patrialis, jikalau Pemohon memang menghendaki adanya perubahan terhadap batas usia kawin untuk wanita, hal tersebut bisa dilakukan melalui proses legislative review yang berada pada ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan batas usia minimum ideal bagi wanita untuk kawin. “Dengan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan dalil-dalil yang dimohonkan para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum, dan menolak permohonan pemohon,” tegasnya.

PENDAPAT BERBEDA

Dalam putusan itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Maria, berdasarkan perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini, khususnya yang mengatur batas usia anak, seperti dalam beberapa contoh tersebut, terlihat jelas bahwa batas usia wanita untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya anak perempuan.

Maria berpendapat bahwa frasa “umur 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

“Selain itu, dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi; Perkawinan membutuhkan kesiapan fisik, psikis, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, dan spiritual; Perkawinan anak tidak dapat memenuhi syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6, yaitu adanya kemauan bebas dari calon mempelai oleh karena mereka belum dewasa,” terangnya.

Dalam beberapa putusannya, lanjut Maria, termasuk putusan perkara a quo, Mahkamah pada pokoknya menyatakan bahwa penentuan usia merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) yang mengandung konsekuensi bahwa untuk melakukan perubahan hukum, khususnya terhadap penentuan batas usia perkawinan, akan dibutuhkan proses legislative review yang cukup panjang.

Terhadap hal ini, Ia berpendapat bahwa terkait persoalan usia perkawinan sudah waktunya diperlukan perubahan hukum segera yaitu melalui putusan Mahkamah sebagai suatu bentuk hukum melalui sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang dalam perkara a quo akan memberikan dampak pada perubahan berupa penyesuaian dalam pelaksanaan UU Perkawinan yang juga akan berdampak pada upaya perubahan budaya dan tradisi pernikahan anak sebagaimana yang selama ini masih berlaku dalam masyarakat.

“Berdasarkan seluruh alasan tersebut di atas dan untuk tidak memperpanjang ketidakpastian hukum yang berlaku selama ini, saya berpendapat bahwa permohonan para Pemohon agar frasa “umur 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 UU Perkawinan adalah konstitusional jika dimaknai “umur 18 (delapan belas) tahun”, adalah beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon tersebut,” tandasnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon mengungkapkan batas “usia anak” khususnya untuk anak perempuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) secara a contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia.

Ketentuan pasal tersebut, menurut para Pemohon, sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak khususnya anak perempuan, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, maraknya kasus pemaksaan perkawinan anak, mengancam kesehatan reproduksi serta mengancam hak anak atas pendidikan.
(mahkamahkonstitusi/esbeem)

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille