JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengesahkan pernikahan perbedaan agama. Dengan begitu pernikahan yang sah di Indonesia hanyalah pernikahan antar umat manusia yang memiliki satu keyakinan yang sama sesuai UU NO 1/1974 tentang perkawinan. Apa alasan menolak mengesahkan pernikahan beda agama?
Dalam salinan putusan, para majelis hakim berpendapat pernikahan tidak haruslah memikirkan unsur sosial. Perkawinan
merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hak konstitusional perkawinan tersebut terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional orang lain.
“Oleh karenanya untuk menghindari benturan dalam pelaksanaan hak konstitusional tersebut diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak konstitusional yang dilakukan oleh negara,” tulis pertimbangan majelis hakim dalam salinan putusan yang tertuang di website MK, Jumat (19/6/2015).
Majelis yang diketuai oleh Ketua MK Arief Hidayat, juga menegaskan pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan tidak melawan UUD 1945. Perkawinan, menurut majelis, ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Majelis juga berpendapat, suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
“Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan karena Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 “memaksa” setiap warga negara untuk mematuhi hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dalam bidang perkawinan. Menurut Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala
tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” ucapnya.
Di pertimbangan terakhir, majelis menganggap agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan.
“Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” ucap majelis.
(*/esbeem)