BerandaDunia islamMengenal Visi Al Jam’iyatul Washliyah

Mengenal Visi Al Jam’iyatul Washliyah

KAREL A. Steenbrink, seorang ilmuwan Belanda, pernah menyebut bahwa Al Washliyah adalah organisasi terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hampir menjelang 85 tahun (1930-2015), Al Washliyah telah memberikan kontribusi nyata, tidak saja bagi kemajuan Indonesia, tetapi juga kontinuitas tradisi Islam Sunni di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa Al Washliyah berpartisipasi dalam melestarikan mazhab Sunni, bahkan para ulamanya adalah para pewaris mazhab Sunni yang sah, karena sanad keilmuan mereka menyambung sampai kepada para pemuka mazhab tersebut.

Al Washliyah dan Mazhab Sunni

Al Washliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 Nopember 1930 oleh alumni Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan Madrasah Hasaniyah seperti Abdurrahman Syihab, Ismail Banda, Adnan Nur, Muhammad Arsyad Thalib Lubis dan Muhammad Yusuf Ahmad Lubis yang kelak menjadi ulama masyhur. MIT adalah salah satu madrasah tertua, bahkan ternama di Medan selama era kolonial berkat figur ulama seperti Syaikh Muhammad Yunus, Syaikh Ja’far Hasan dan Syaikh Yahya.

Nama “Al Jam’iyatul Washliyah” adalah pemberian Syaikh Muhammad Yunus yang adalah pimpinan MIT dan guru para pendiri Al Washliyah, dan nama ini semakin ‘meroket’ dengan dukungan Syaikh Hasan Maksum yang merupakan Mufti Kerajaan Deli. Sebab itulah, Al Washliyah dipandang sebagai organisasi yang berasal dari ulama dan banyak melahirkan ulama.

Al Jam’iyatul Washliyah yang disingkat dengan Al Washliyah berarti “organisasi yang memperhubungkan dan mempertalikan.” Berdasarkan arti nama tersebut, organisasi Al Washliyah akan mengusahakan untuk 1) memperhubungkan antara anggota dengan anggo-tanya; 2) memperhubungkan antara ranting dengan cabang dan daerahnya; 3) memperhubungkan antara satu perhimpunan dengan perhimpunan lain; 4) memperhubungkan umat Islam dengan agamanya; dan 5) memperhubungkan manusia dengan Tuhannya. Ringkasnya, Al Washliyah hendak menghubungkan segala sesuatu yang harus diperhubungkan menurut perintah Allah (Nukman Sulaiman: 1956, 349).

Dalam hal ini, eksistensi Al Washliyah menjadi ‘benteng’ dan ‘perisai’ bagi tradisi Sunni di Indonesia. Tujuan awal organisasi ini adalah “untuk memajukan, mementingkan dan menambah tersiarnya agama Islam,” lalu tujuan ini diperluas dengan menambah asas organisasi ini sejak tahun 1955 yaitu “melaksanakan tuntutan agama Islam, dalam hukum fikih bermazhab Syâfi‘i, dan dalam iktikad Ahlussunnah Waljamaah.”

Belakangan, asas organisasi ini menjadi “Al Washliyah berasaskan Islam dalam iktikad, dalam hukum fikih bermazhab Ahlussunnah Waljamaah dengan mengutamakan mazhab Syâfi‘i.”

Keputusan Dewan Fatwa Al Washliyah No. 001/Kep/df-aw/1998 memutuskan bahwa metode penetapan fatwa Al Washliyah adalah metode istinbat yang digunakan pada ulama mazhab dari kalangan Ahlus-sunnah Waljamaah. Sejauh ini, Al Washliyah menjadi salah satu organisasi Islam yang bertanggungjawab terhadap kelestarian mazhab Sunni di tanah air.

Al Washliyah menjadikan Islam sebagai asas organisasi sebagai wujud dari komitmen organisasi ini terhadap perintah Allah dalam Q.S. al-Rûm: 43, Q.S. Âli ‘Imrân: 19 dan 83, dan Q.S. al-Mâ’idah: 3. Keempat ayat tersebut menegaskan bahwa 1) Allah memerintahkan umat Islam menegakkan muka untuk agama yang lurus; 2) agama yang lurus pada sisi Allah adalah agama Islam; 3) Allah rida dengan Islam sekaligus telah menyempurnakan agama tersebut; dan 4) amal para pencari agama selain agama Islam tidak akan diterima-Nya, sehingga mereka akan menjadi orang-orang merugi. Keempat alasan tersebut menjadi alasan rasional bagi Al Washliyah untuk menetapkan Islam sebagai asas organisasi.

Makna bahwa Al Washliyah berasaskan Islam adalah segala sesuatu usaha yang dilaksanakan oleh or-ganisasi ini haruslah ditegakkan di atas batas-batas Islam. Seluruh kegiatan para pengurus dan anggota, serta usaha-usaha Al Washliyah harus disesuaikan dengan ketetapan hukum Is-lam (Nukman Sulaiman: 1956, 349-350). Dengan demikian, hukum Islam harus menjadi landasan bagi perencanaan dan pelaksanaan amal usaha Al Washliyah.

Dalam bidang akidah, Al Washliyah menganut dan melestarikan mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah adalah orang berjalan menurut sunnah (jalan Nabi Muhammad Saw.), dan jamâah adalah golongan orang yang banyak. Para ulama menjelaskan bahwa sunnah adalah jalan Nabi Muhammad Saw., sehingga Ahlussunnah adalah “jalan jang menurut jalan Nabi Muhammad Saw. jang telah dijalani oleh orang-orang saleh dahulu- yang beralasan Alquran dan hadis.”

Berdasarkan hadis riwayat Ahmad dan Abû Dâwûd, Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa umat Nabi Muhammad Saw. akan berpecah belah menjadi 73 golongan. Sebanyak 72 golongan akan masuk neraka, dan 1 golongan akan masuk surga. Golongan ahli surga tersebut adalah al-jamâ‘ah (golongan orang banyak). Golongan orang banyak yang disebut al-jama‘ah adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.

Golongan al-jamâ‘ah tersebut akan masuk surga dan selamat dari neraka. Dalam hal ini, Ahlussunnah Waljamaah, sebagai iktikad organisasi Al Washliyah, adalah iktikad yang sesuai dengan jalan Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya (Nukman Sulaiman: 1956, 351-352).

Prof. Ramli Abdul Wahid (2008: 19-23), Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah, menjelaskan bahwa Al Washliyah menganut aliran Ahlussunnah Waljamaah. Aliran ini didirikan oleh Abû Hasan al-Asy‘âri (270-324 H). Paham Al Washliyah dalam bidang akidah dapat dilihat melalui fatwa-fatwa Dewan Fatwa Al Washliyah dan para ulama Al Washliyah. Madrasah-madrasah Al Washliyah mengkaji karya-karya teologi Sunni seperti Kifâyah al-‘Awwâm fî ‘Ilm al-Kalâm karya Syaikh Muhammad al-Fudhaili, Hushûn al-Hamidiyyah li al-Muhafazah ‘ala al-‘Aqâ’id al-Islâmiyah karya Syaikh Husain bin Muhammad al-Jasar al-Tharablûsî, al-Hasyiyah al-Dasûqi ‘ala ‘Umm al-Barâhin.

Pelajaran Iman karya Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, ‘Aqîdah Islâmiyah karya Nukman Sulaiman, Ilmu Tauhid karya Rasyad Yahya, dan Ilmu tauhid karya Ahmad. Kitab-kitab tersebut mengajarkan masalah rukun iman dan sifat 20 (sifat wajib, sifat mustahil dan sifat ja’iz bagi Allah Swt.). Kajian ini menjadi kajian khusus mazhab Asy‘ariyah. Jelas bahwa Al Washliyah menganut mazhab Asy‘ariyah dalam bidang akidah, dan seluruh amal usaha Al Washliyah menjadi sarana pelestarian mazhab Ahlussunnah Waljamaah versi mazhab Asy‘ariyah.

Dalam bidang syariah, Al Washliyah menjadikan dan mengutamakan mazhab Syâfi‘i sebagai rujukan dalam persoalan-persoalan hukum. Mazhab Syâfi‘i adalah mazhab Imam Muhammad bin Idrîs bin ‘Abbâs bin ‘Utsmân bin Syâfi‘i (w. 104 H). Hukum-hukum mazhab Syâfi‘i diambil dari Alquran dan hadis. Sesuai ucapan Imam Syâfi‘i, mazhab Syâfi‘i didasari oleh hadis-hadis yang sah, sehingga orang-orang yang bermazhab Syâfi‘i adalah orang-orang yang bermazhab dengan dasar hadis-hadis yang sah. Arti dari mazhab Syâfi‘i sebagai asas organisasi Al Washliyah adalah “segala sesuatu usaha jang digerakkan atas nama perkumpu-lan ini atau jang ditjampurinja haruslah berlaku dalam batas2 jang diidzinkan hukum fikih menurut madzhab Sjafi‘i; segala sesuatu pertikaian jang terdjadi dalam perkumpulan ini jang mengenai ketentuan2 dalam hukum fikih Syâfi‘i haruslah diputuskan sesuai dengan mazhab Syâfi‘i.”

Ketentuan-ketentuan tersebut hanya berlaku dalam perkumpulan dan atas nama perkumpulan, sedangkan anggota-anggota Al Washliyah bebas memperluas dan mengamal-kan paham dan ilmunya (Nukman Sulaiman: 1956, 351).
Menarik dikutip pernyataan Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis tentang alasan menjadikan mazhab Syâfi‘i sebagai asas Al Washliyah:

Al Washlijah telah menetapkan dalam dasarnya bermazhab Syâfi‘i dalam hukum fikih. Perkataan bermazhab bagi Al Washlijah tidak berarti menjingkirkan diri dan memecah persatuan umat. Perkataan itu harus ditafsirkan dengan maksud memperkuat persatuan, menggabungkan tenaga-tenaga yang sefaham agar tersusun dan terikat kuat untuk dibawa berjuang, membangun dan membina supaya segala sesuatu jang mendjadi tuntutan agama Islam jang menjadi kepentingan Al Washlijah dan kepentingan umat Islam seluruhnya dapat terlaksana.

Perkataan bermazhab Syâfi‘i bagi Al Washliyah adalah untuk menunjukkan tempat pendiriannja dalam hukum fikih jang dapat dipertanggungdjawabkannya. Dalam pada itu, Al Washliyah senantiasa dapat menghormati pendapat dan pendirian orang lain sebagaimana ia mengharapkan pendapat dan pendiriannya dapat pula dihormati orang. Kebebasan mengemukakan faham dan pendapat perlu mendapat tempat dalam masyarakat karena sangat penting artinja untuk kemajuan pengetahuan dalam kalangan umat Islam sendiri. Al Washliyah turut merasakan keperluannya asal dilakukan dengan cara yang patut dan penuh rasa kekeluargaan dan persaudaraan (Nukman Sulaiman: 1956, 19).

Dalam melestarikan mazhab Sunni, Al Washliyah memanfaatkan jalur pendidikan, baik madrasah maupun perguruan tinggi. Kurikulum Madrasah al-Qismul ‘Ali, misalnya, menjadi bukti kuat bahwa organisasi ini melestarikan tradisi Sunni melalui pembelajaran kitab kuning dalam fikih Syâfi‘iyah dan teologi Asy‘ariyah. Dalam bidang tauhid, misalnya, diajarkan kitab Kifâyat al-‘Awâm, Hushûn al-Hamidiyah dan al-Dasûqi. Dalam bidang fikih diajarkan kitab Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb, Tuhfah al-Thullâb dan al-Mahalli.

Dalam bidang usul fikih diajarkan kitab Minhâj al-Thâlibîn, Mughni al-Muhtâj, al-Wariqât, al-Luma’, Syarh Jalâl al-Dîn al-Mahalli ‘ala Jam’ al-Jawani, dan al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir. Dalam bidang tafsir diajarkan kitab Tafsîr Jalâlain, dan dalam bidang hadis diajarkan kitab Riyâdh al-Shâlihîn, Jawâhir al-Bukhârî, dan Shahîh Muslim.

Melalui institusi pendidikan agamanya, Al Washliyah memberikan kontribusi bagi kelestarian mazhab Syâfi‘iyah dan mazhab Asy‘ariyah di Indonesia, dan menjadi ‘rahim’ bagi kelahiran tidak saja para pemim-pin bangsa, tetapi juga para ulama panutan umat.

Sanad Keilmuan Ulama-ulama Al Washliyah

Al Washliyah adalah organisasi yang berasal dari ulama dan banyak melahirkan ulama. Mereka adalah pewaris tradisi Sunni yang sah di Indonesia, sebab sanad keilmuan mereka menyambung sampai kepada para pemuka mazhab Syâfi‘iyah dan Asy‘ariyah.

Mereka telah menjadi semacam ‘benteng’ bagi mazhab Sunni lewat peran mereka sebagai pengulas karya-karya muktabar dalam mazhab ini, dan pembendung gerakan Ahmadiyah. Mulai dari Syaikh Hasan Maksum sampai Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, MA, tidak satu pun ulama Al Washliyah yang mengamini keberadaan aliran keagamaan yang bertentangan den-gan mazhab Sunni.

Sejauh ini, para ulama Al Washliyah bisa dibagi menjadi tiga generasi. Generasi pertama adalah guru para pendiri Al Washliyah yaitu Syaikh Hasan Maksum dan Syaikh Muhammad Yunus. Generasi kedua adalah para pendiri Al Washliyah yang merupakan murid dari para ulama Al Washliyah generasi pertama seperti Syaikh Abdurrahman Syihab, Syaikh Ismail Banda, Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Syaikh Muhammad Yusuf Ahmad Lubis, Syaikh Adnan Lubis, Syaikh Bahrun Saleh Nasution, Syaikh Muhammad Arifin Isa, dan Syaikh Bahrum Ahmad.

Sedangkan generasi ketiga adalah murid dari para ulama Al Washliyah generasi kedua seperti Prof. Nukman Sulaiman, H. Abdul Majid Siradj, Ustaz Muhammad Nizar Syarif, Ustaz Luqman Yahya, Prof. Muhammad Hasballah Thaib, KH. Ridwan Ibrahim Lubis, Prof. Muslim Nasution, dan Prof. Ramli Abdul Wahid.

Ternyata, para ulama Al Washliyah telah membentuk jaringan intelektual tersendiri, bahkan sanad keilmuan mereka bersambung sampai kepada Imam Syâfi‘i, Imam Abû al-Hasan al-Asy‘âri dan Imam Abû Manshûr al-Maturidî. Mereka tidak hanya sebatas menjadi pengulas berbagai karya terkemuka dalam mazhab Sunni, tetapi juga menghasilkan banyak karya orisinil yang di-dasari paradigma mazhab Sunni. Gagasan ini dapat dilihat secara detail dalam karya saya yang berjudul Biografi Intelektual Ulama-ulama Al Washliyah (Medan: CAS, 2012).

Mayoritas ulama Al Washliyah memiliki hubungan intelektual dengan Syaikh Mu-hammad Yunus dan Syaikh Hasan Maksum. Syaikh Muhammad Yunus pernah belajar di Makkah kepada banyak ulama seperti Syaikh Abdul Kadir al-Mandili. Sedangkan Syaikh Hasan Maksum juga pernah belajar di Makkah lewat asuhan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan juga Syaikh Abdul Kadir al-Mandili.
Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Abdul Kadir adalah murid Syaikh Sayyid Bakri Syatha al-Syâfi‘i al-Makkî (w. 1892) yang merupakan murid terbaik Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1817-1886), seorang mufti terkemuka mazhab Syâfi‘i di Masjidilharam. Dalam buku Syaikh Daud bin Abdullah al-Fathani: Penulis Islam Produktif Asia Tenggara, Wan Muhd. Shaghir Abdullah menyebut bahwa sanad keilmuan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan menyambung sampai kepada Imam Abû al-Hasan al-Asy‘âri yang mendirikan mazhab Asy‘ariyah, Imam Abû al-Manshûr al-Maturidî yang mendirikan mazhab Maturidiyah, bahkan Imam Syâfi‘i yang mendirikan mazhab Syâfi‘iyah.

Dari sinilah diketahui bahwa sanad keilmuan ulama-ulama Al Washliyah juga menyambung sampai kepada para pendiri mazhab Sunni tersebut. Karenanya, para ulama Al Washliyah adalah pewaris tradisi Sunni yang sah di tanah air.

Mengingat peran ulama-ulama Al Washliyah dalam melestarikan mazhab Sunni, kiranya pimpinan organisasi ini dapat memberikan apresiasi kepada mereka, misalnya, dengan cara mendirikan perpustakaan yang khusus menyajikan koleksi ratusan karya dan foto mereka. Selain itu, hendaknya nama mereka diabadikan dengan cara mencantumkan nama-nama mereka sebagai nama belakang perguruan tinggi, gedung perkuliahan, aula atau gedung perpustakaan Al Washliyah.

Madrasah-madrasah Al Washliyah, terutama Madrasah al-Qismul ‘Ali, telah menjadi saluran penting bagi kelestarian mazhab Sunni di Indonesia, karenanya bantuan dan perhatian seluruh pimpinan Al Washliyah dan pemerintah terhadap kualitas dan kuantitas madrasah-madrasah dan perguruan tinggi Al Washliyah harus terus ditingkatkan.

Sejauh ini, Al Washliyah telah melakukan banyak hal demi melestarikan Islam dan tradisi Sunni di Indonesia. Organisasi ini telah memfokuskan lahan usaha dalam bidang pen-didikan, dakwah, amal sosial, dan ekonomi, dan semuanya (idealnya) diarahkan kepada cita-cita Islam dan cita-cita tradisi Sunni.

Organisasi ini memiliki banyak madrasah, sekolah dan perguruan tinggi, sejumlah panti asuhan, menyiarkan Islam ke kawasan minoritas Muslim, dan membangun lembaga-lembaga ekonomi syariah, semuanya dilakukan demi Islam dan untuk umat Islam, sesuai tujuan awal pendirian Al Washliyah.
Penulis,
Dr. Ja‘far, MA
Centre for Al Washliyah Studies,
Dosen UIN Sumatera Utara
[Artikel ini pernah dimuat sebagai Kata Pengantar dalam buku karya Ismed Batubara, Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman (Medan: Perdana Publishing-Centre for Al Washliyah Studies, 2015).]

About Author

RELATED ARTICLES

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille