A.PENDAHULUAN. Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yang berarti bepergian. Kata mazhab juga digunakan untuk pengertian aliran, doktrin dan ajaran. Kemudian digunakan lebih khusus untuk pengertian faham fikih yang dibangun oleh seorang ulama mujtahid dan berkembang menjadi paham tertentu yang dianut oleh banyak pengikutnya.
Dengan demikian, mazhab Syafi`i berarti paham Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi`i dalam fikih yang menjadi anutan para pengikutnya. Namun, sekarang kata mazhab sudah digunakan orang juga untuk aliran pemikiran, seperti judul buku, Islam bi la Mazahib dan buku Mazhab Ciputat. Biasanya untuk pemikiran atau akidah digunakan firqah yang dalam bahasa Indonesianya “aliran”.
Terlepas dari perkembangan penggunaannya, dalam sejarah di kalangan Ahlusunah dikenal mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi`i, mazhab Hanbali, mazhab Zahiri, mazhab Nakha`i, mazhab Auza`i, mazhab Thabari, dan mazhab Tsauri. Tetapi, mazhab yang besar dan terus berkembang sampai hari ini adalah empat mazhab pertama. Dalam aliran Syiah terdapat mazhab Ja`fariyah, Hadawiyah dan Zaidiyah. Dari aliran Khawarij adalah mazhab Ibadhiyah yang sekarang menjadi mazhab resmi Kesultanan Oman yang pengikutnya terdapat juga di pegunungan Aljazair.
B.Mazhab Syafi`i
Pendiri mazhab Syafi`i adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i al-Muththalibi. Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi saw. pada datuknya Abd Manaf. Imam Syafi`i lahir di Gazzah tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H. Ia suka mengembara mencari ilmu. Ia dibawa ke Makkah dan belajar di sana pada usia 12 tahun. Ia pergi ke Madinah dan belajar kepada Imam Malik. Pada usia 15 tahun ia sudah berkompeten untuk berfatwa. Ia pergi ke Yaman dan berdiaog dengan para ulama Yaman. Ia pergi ke Iraq belajar dan berdiskusi dengan sahabat Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad dan Abu Tsaur mendapat kesempatan mengambil ilmu darinya.
Di sana ia menulis kitabnya, al-Hujjah sebagai kumpulan qaul qadim-nya kemudian ia berangkat ke Mesir dan mengarang kitabnya al-Umm sebagai kumpulan qaul jadid-nya. Ia juga menyusun kitab ar-Risalah sebagai kitab usul fikih pertama, sehingga ia dipandang sebagai pendiri ilmu usul fikih. Waktu di Makkah, ia pergi ke Bani Huzail sebagai kabilah yang paling pasih dari kabilah Arab. Karena itu para ulama sastera Arab mengakui keahlian Imam Syafi`i dalam bahasa Arab.
Seorang Imam sastera Arab di zaman Abbasiyah al-Jahiz berkata “ Saya melihat pada kitab orang-orang genius dan menekuni ilmu, saya tidak melihat orang yang karangannya lebih baik dari al-Muththalibi (Imam Syafi`i), lidahnya telah menyusun permata.”
Imam Syafi`i telah mengambil sastera Arab dari Bani Huzail, mengambil Hadis dari Ahlul Hadis di Madinah, mengambil ra`y (pendapat) dari para sahabat Imam Ahlu ra`y di Baghdad dan mengambil penerapan amal Agama dari ulama Yaman. Karena itu Imam Syafi`i wajar menjadi ahli dibidang hadis, fikih, usul fikih dan bahasa. Hal ini telah disaksikan para ulama. Dalam fikih ialah pendiri mazhab Syafi`i, dalam usul fikih ialah pendirinya, dalam hadis ialah penolongnya (Nashir as-Surah), dan dalam bahasa ialah geniusnya.
Karena itu, pengarang buku at-Taqrirat as-Sadidah fi al-Masa’il al-Mufidah, Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, mengatakan bahwa Imam Syafi`i adalah mujaddid abad ke-2 karena ia telah memadukan antara ilmu Hadis dan ra`y, telah menegakkan kaedah-kaedah ilmu usul fikih. Selain wawasannya yang luas atas hadis, riwayatnya, rijalnya, Alquran dan ilmu Alquran, sejarah, syair, sastera, bahasa Arab, juga waraknya, ketakwaannya, zuhudnya terhadap dunia. Demikian juga berbagai pengakuan terhadap Imam Syafi`i sebagaimana diterangkan oleh Dr. Ahmad Nahrawi Abd as-Salam dalam bukunya, al-Imam asy-Syafi`i fi Mazhabaih al-Qadim wa al-Jadid.
Pendapat-pendapat Imam Syafi`i dinukil oleh al-Muzani, al-Buwaithi, ar-Rabi` al-Muradi, ar-Rabi` al-Jizi, Harmalah dan Yunus bin Abd al-A`la. Semuanya wafat pada abad ke-3 H. Setelah mereka, muncul para ulama pendukung mazhab Imam Syafi`i yang antara lain adalah Ibn Suraij, al-Qaffal, al-Isfarayini, al-Istharkhi, al-Marwazi dan Ibn al-Qash. Semuanya wafat pada abad ke-4 H.
Pada abad ke-5 H, muncul al-Mawardi, asy-Syirazi, Abu Muhammad al-Juwaini, al-Baihaqi, al-Haramain, al-Mahamili dan Ibn ash-Shabbagh. Pada abad ke-6 H muncul Imam al-Gazali, asy-Syasi dan al-Bagawi. Pada abad ke-7 H, muncul Ibn ash-Shalah, al-`Izz bin Abd as-Salam, an-Nawawi, ar-Rafi`i dan Ibn Daqiq al-`Id. Pada abad ke-8 H, muncul Ibn ar-Rif`ah, as-Subki, al-Azra`i, al-Bulqini dan az-Zarkasyi. Pada abad ke-9 H, muncul al-`Iraqi, asy-Syihab bin Raslan dan al-Mahalli. Begitulah seterusnya pada setiap masa muncul ulama-ulama Syafi`iah yang membela dan mengembangkan mazhab Syafi`i sampai ke Indonesia. Karena itu mazhab Syafi`i bertebaran di berbagai penjuru dunia dengan ulama-ulama serta kitab-kitabnya di Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapur, Hijaz, Arab Selatan, Bahrein, Afrika Timur dan Asia Tengah.
C. Mazhab Syafi`i di Indonesia
Menurut catatan orang Barat, Islam masuk ke Indoenesia pada abad ke-13 M, menurut HAMKA abad ke-7 H dan menurut KH. Sirajuddin Abbas pada tahun 638 M atau pada tahun 17 H. Raja Sri Maharaja Sarindawannan di Sriwijaya Jambi masuk Islam pada tahun 99 H atau 86 tahun sesudah Nabi saw. wafat. Inilah Raja Islam pertama di Indonesia.
Paham Islam pertama masuk ke Indonesia dalam i`tikad adalah Ahlusunah bukan Syiah karena khalifah-khalifah yang berusaha menyiarkan Islam ke Indonesia pada waktu itu adalah para khalifah Bani Umayyah yang anti Syiah. Dalam masalah furu` (fikih), mazhab Syafi`i selalu bergandengan dengan Ahlusunah. Pada abad ke-3 H, mazhab Syafi`i berkembang di Mesir, Iraq, Persia, Khurasan, Sind, Teluk Persia, Bahrein, Kuwait, Oman, Hadaramaut dan Malabar.
Jadi, daerah-daerah yang menghadap Indonesia adalah daerah-daerah penganut mazhab Syafi`i. Orang-orang yang berlayar ke Timur waktu itu adalah orang-orang Persia, India dan Arab Hadaramaut. Sehubungan dengan ini, KH. Sirajuddin Abbas mengutip buku Zainal Arifin Abbas yang berjudul Peri Hidup Muhammad, yang menjelasakan bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah lewat India. Hal itu terbukti dengan mazhab umat Islam yang pertama-tama di Indonesia adalah mazhab Syafi`i, dan umat Islam di pantai-pantai Koromandel dan Malabar (India) seluruhnya bermazhab Syafi`i.
Hal ini dikuatkan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya yang berjudul Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi`i dan memang salah satu kitab fikih populer di Indonesia adalah karangan ulama Syafi`i dari Malabar, Zainuddin bin Abd al-`Aziz al-Malibari yang berjudul Fath al-Mu`in. Demikian juga para Sultan di Aceh berpaham Ahlusunah dan bermazhab Syafi`i. Wali Songo juga bermazhab Syafi`i para ulama besar Indonesia juga bermazhab Syafi`i, ormas-ormas Islam seperti NU, Al-Washliyah, Nahthatul Wathan, Persatuan Tarbiyah Islamiah, semuanya bermazhab Syafi`i.
Demikian juga Majelis Ulama Pusat dan daerah di seluruh Indonesia pada dasarnya mengikuti mazhab Syafi`i. Karena itu, bila ada yang menyimpang dari paham Ahlusunah seperti paham Wahdah al-Wujud, maka dijatuhi hukuman berat, bahkan ada yang dihukum mati, seperti Hamzah Pansuri, Syamsuddin Sumaterani, dan Syeikh Siti Jenar.
D.Keutamaan Mazhab Syafi`i
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf menjelaskan dalam bukunya at-Taqritat as-Sadidah fi Masa’il al-Mufidah halaman 45-46 tentang keutamaan mazhab Syafi`i.
1.Pendirinya berpegang kepada dalil Alquran, Sunnah dan Atsar secara konsisten. Demikian juga para pengikutnya banyak yang menjadi penghafal hadis dalam rangka mendukung mazhab dengan nas-nas Alquran dan Hadis sehingga hampir separoh dari Huffaz al-Ummah adalah dari kalangan ulama Syafi`i.
2.Pendirinya berpegang kepada Qiyas dan dasar-dasar penggalian hukum yang diambilnya dari paham Abu Hanifah dan para sahabanya sehingga jadilah ia pengarang pertama dalam ilmu usul fikih. Hal ini berbeda dengan tiga pendiri mazhab fikih lainnya yang usul fikih mereka dirumuskan oleh para pengikut mazhab mereka.
3.Keadaan Mazhab Syafi`i bersifat moderat antara Ahlu ar-ra`y dan Ahlu al-Hadis.
4.Banyaknya para ulama mujtahid yang mendukung, mengembangkan dan menyebarkan mazhab Syafi`i di berbagai tempat termasuk di Indonesia.
5.Banyaknya kitab-kitab yang dikarang para ulama dalam memverifikasi, menegakkan dalil, dan mempermudah ungkapan-ungkapannya bagi penuntut ilmu dalam mazhab Syafi`i.
6.Banyaknya pengikut mazhab Syafi`i bertebaran di berbagai negeri seperti disebutkan di atas.
7.Keadaan mujaddid yang datang pada setiap 100 tahun dari mazhab Syafi’i. Imam Syafi`i adalah mujaddid abad pada abad ke-2 H, Abu al-Abbas bin Suraij mujaddid abad ke-3 H, Abu Thayyib Sahl ash-Sha`luki abad ke-4, Abu Hamid al-Ghazali abad ke-5, al-Fahru al-Razi abad ke-6, Imam an-Nawawi abad ke-7, al-Asnawi abad ke-8, Ibnu Hajar al-`Asqalani abad ke-9, as-Suyuthi abad ke-10. Walaupun terjadi perbedaan pada yang demikian, namun semuanya adalah bermazhab Syafi`i.
Lebih jauh dapat dilihat bahwa Imam Syafi`i adalah orang yang senang pindah-pindah tempat dari satu negeri ke negeri yang lain. Di Makkah ia bergaul dengan seluruh tabi`in, di Madinah bergaul dengan seluruh tabi`in, di Yaman bergaul dengan seluruh tabi`in, di Iraq bergaul dengan seluruh tabi`in, di Persia mengenal pemikiran filsafat yang berkembang, kembali lagi ke Makkah, ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Karena itu, ia lebih banyak mendapat hadis dari tabi`in yang lain melebihi dari yang didapat oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Ia juga mendapat ilmu lebih bervariasi dari kedua imam tersebut karena banyak melihat, banyak mendengar dan banyak bergaul dengan berbagai bangsa.
Memang di antara empat orang imam mujtahid ini terdapat persamaan dan perbedaan. Semuanya sama-sama menjadikan Alquran sebagai dasar hukum. Kalau tidak ditemukan di dalam Alquran, mereka beralih kepada hadis. Namun karena situasi yang berbeda, dimana hadis belum terbukukan secara lengkap maka dalam cara memakai hadis dan menemukan hadis terdapat perbedaan antara mereka.
Menurut Imam Abu Hanifah, hadis yang dipakai menjadi dasar hukum haruslah hadis yang derajatnya sahih dan mutawatir. Kalau tidak ditemukan hadis dengan kualitas itu, maka lebih baik memakai ra`y dan qiyas. Menurut Imam Abu Hanifah ra`y didahulukan atas hadis yang kurang kuat, sehingga ia banyak menggunakan ra`y dalam menetapkan hukum. Karena itu, mazhab Hanafi dikenal dengan sebutan Ahl ra`y.
Pandangan Abu Hanifah seperti ini dapat dimengerti karena Kufah jauh dari sumber hadis, Madinah dan tidak banyak menyimpan para ulama hadis. Lebih dari itu, Kufah termasuk kota yang banyak pertikaian paham di dalamnya sehingga banyak muncul hadis-hadis palsu untuk memperkuat paham masing-masing kelompok yang membuat sulitnya melakukan seleksi hadis sahih.
Abu Hanifah hanya bertemu dengan tujuh orang sahabat. Ibnu Khaldun menyebutkan dalam Muqaddimah-nya bahwa Abu Hanifah hanya menggunakan 17 hadis. Sebagai bagian dari metode ra`y, istihsan juga termasuk metode yang digunakan Abu Hanifah.
Sebagai contoh, diriwayatkan bahwa Nabi melarang wanita yang habis bersetubuh dengan suaminya membaca Alquran. Konsekwensinya bagaimana dengan wanita yang haidh. Ada orang yang berfatwa tidak boleh, karena dikiaskan kepada wanita junub tadi, tetapi Abu Hanifah membolehkannya karena lebih baik dibolehkan. Sebab, masa hadih lama, sedang junub dapat dihilangkan dengan mandi sehingga dapat segera membaca Alquran. Sementara itu, Imam Syafi`i tidak memakai metode istihsan.
Menurut Imam Malik kalau terjadi pertentangan sebuah hadis dengan amalan orang Madinah (`Amal ahli al-Madinah) maka yang didahulukan adalah amal orang Madinah, karena salah satu dasar mazhab Imam Malik adalah amalan orang Madinah. Imam Malik menganggap amalan orang Madinah sama dengan hadis, bahkan lebih tinggi derajatnya dari hadis, karena hadis diriwayatkan dengan perkataan dan juga dengan perbuatan, sedang amalan orang Madinah merupakan periwayatan melalui perbuatan.
Maksudnya, orang Madinah melihat perbuatan Nabi dan menirunya, kemudian menurunkannya kepada perbuatan murid-murid mereka. Sebagai contoh, ada hadis yang menyatakan bahwa Nabi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri Nabi pada dada ketika berdiri salat.
Imam Malik melihat tabi`in Madinah melepaskan tangan ke bawah ketika salat. Maka Imam Malik mengambil perbuatan ahli Madinah karena itu dianggapnya berasal dari perbuatan Nabi. Imam Malik juga menggunakan metode mashlahah mursalah. Sebagai contoh, bahwa andaikata orang kafir meletakkan orang Islam di mukanya sebagi tameng dalam perang, jika ditembak maka yang tertembak adalah orang Islam lebih dahulu.
Berdasarkan Mashlahah Mursalah, Imam Malik berpendapat bahwa orang kafir itu harus ditembak sekalipun tamengnya orang Islam karena yang menjadi pertimbangan dalam perang adalah mengalahkan musuh. Sekiranya pun orang Islam itu tertembak, maka ini lebih baik daripada membiarkannya karena gara-gara membiarkannya bisa menimbulkan celaka kepada orang Islam yang lebih banyak. Sementara itu Imam Syafi`i tidak memakai dalil ini.
Bagi Imam Syafi`i hadis tetap lebih utama dari pada ra`y dan amal ahli Madinah. Jika tidak ada hukumnya dalam Alquran dan hadis, barulah berpindah kepada qias dan Ijma` yang harus berstandar Alquran dan Hadis. Namun, hadis yang menjadi dasar hukum haruslah sahih, bukan daif. Menurut mazhab Syafi`i hadis daif bisa dipakai untuk fadhail al-A`mal. Amal sahabat Nabi yang utama bisa menjadi dasar hukum jika Nabi menyuruh umat mengikuti mereka. Menurutnya mengikut amal sahabat Nabi yang utama, berarti mengikuti Sunah Rasul juga.
Karena itu dalam mazhab Syafi`i sunnat salat tarawih 20 rakaat pada malam Ramadan dengan berjamaah karena hal ini diperintahkan Umar ra. Demikian juga sunnat azan pertama pada salat Jumat karena hal itu adalah perintah Utsman bin Affan. Menurutnya barang siapa yang tidak menerima hukum yang diperintahkan Umar dan Utsman, orang itu berarti telah menantang Nabi Muhammad saw. karena Nabi memerintahkan untuk mengikuti sunah mereka.
Imam Ahmad mengecam pendapat Imam Abu Hanifah yang banyak mempergunakan ra`y. Demikian juga ia mengecam Imam Malik yang mempergunakan amal ahli Madinah sebagai dasar hukum. Tetapi Imam Ahmad tidak mengkritik pendapat Imam Syafi`i. Namun, Imam Ahmad agak keterlaluan ketika mengatakan lebih baik memakai hadis yang daif dari pada memakai ra`y dalam penetapan hukum.
Sebab, menurutnya hadis daif tetap hadis hanya periwayatnya yang diragukan. Selanjutnya Imam Ahmad tidak setuju dengan Imam Syafi`i yang tidak memakai hadis daif sebagai dasar hukum, tetapi hanya memakainya dalam fadhail al-A`mal.
Keterangan di atas menunjukkan sikap moderat dari mazhab Syafi`i dibandingkan dengan ketiga mazhab Sunni lainyya. Untuk menambah kejelasannya dapat dikemukakan contoh lain. Rukun wuduk menurut Abu Hanifah hanya empat, yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan, menyapu kepala dan membasuh kedua kaki, sebagaimana tersebut dalam ayat Alquran. Menurut Imam Malik, rukun wuduk ada tujuh, dengan menambah niat, menggosok anggota basuhan (tadlik), dan tartib.
Menurut mazhab Syafi`i hanya enam tanpa tadlik. Menurut mazhab Maliki, bersentuh antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan tanpa syahwat tidak membatalkan wuduk. Menurut mazhab Hanafi, bersentuh laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bahkan tanpa sehelai benang pun dengan penuh syahwat tidak membatalkan wuduk. Sementara itu, menurut mazhab Syafi`i bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah membatalkan wuduk sekalipun tanpa disertai syahwat. Ini mungkin sebagai contoh sikap ihtiyath (kehati-hatian) dalam mazhab Syafi`i.
E.Hubungan Mazhab Syafi`i dan Al Washliyah
Di dalam AD dan ART Al Washliyah disebutkan bahwa Al Washliyah dalam i`tikad menganut paham Ahlusunah dan dalam fikih mengikuti mazhab-mazhab Sunni dengan mengutamakan mazhab Syafi`i. Sejak berdirinya tahun 1930 Al Washliyah menganut fikih mazhab Syafi`i. Akan tetapi, melihat perkembangan dan tuntunan zaman, Al Washliyah menetapkan fikihnya berfikih Sunni dengan mengutamakan mazhab Syafi`i.
Namun, dalam praktiknya, sidang Dewan Fatwa sampai sekarang masih tetap mengikuti metode mazhab Syafi`i. Walaupun dalam kasus-kasus tertentu, fatwa Dewan Fatwa Al Washliyah tidak menetapkan berdasarkan nas kitab-kitab Syafi`iyah, tetapi tetap berpijak kepada metode mazhab Syafi`i.
Misalnya, ketetapan Dewan Fatwa tentang tidak batalnya wuduk ketika bersentuh antara laki-laki dan perempuan ketika tawaf. Fatwa ini tidaklah mengikuti `ibarah kitab Syafi`iyah, tetapi tetap mengikuti metode yang dikemukakan oleh ulamanya seperti Imam as-Suyuthi yang mengatakan bahwa ketika ada kesulitan (ta`azzur dan ta`assur), boleh mengambil pendapat yang lemah (marjuh) dalam mazhab dan bahkan mengambil pendapat di luar mazhab.
Demikian juga ketetapan Dewan Fatwa yang membolehkan orang yang mempunyai qadhaan salat wajib untuk melakukan salat sunnat yang disunnatkan berjamaah. Ketetapan fatwa ini tidak mengikuti nas mazhab Syafi`i yang ada, tetapi mengikuti metode yang dikemukakan Imam as-Suyuthi tersebut di atas karena tidak dibolehkannya seorang Muslim yang mempunyai qadhaan salat fardu untuk melaksanakan salat `Id dan salat tarawih berjamaah misalnya, akan membawa perasaan terpencil bagi orang tersebut yang dapat dipandang sebagai ta`azzur dan ta`assur.
Dewan Fatwa Al Washliyah juga menetapkan haramnya penyedotan pulsa sekalipun dengan imbalan jasa, tanpa rida dari pemiliknya. Meskipun hukum ini tidak didapati dalam kitab-kitab Syafi`iyah, namun penetapannya berdasar metode istinbath mazhab Syafi`i, yaitu adanya gharar.
F.Penutup
Demikianlah fatwa-fatwa Al Washliyah dari masa ke masa senantiasa mengikuti mazhab Syafi`i, baik secara langsung (nashshan) maupun secara tidak langsung (manhajan). Untuk maju dan mengikuti tuntutan zaman, mazhab Syafi`i cukup menjadi pegangan warga Al Washliyah karena para ulamanya terus berkembang di berbagai belahan dunia, kitab-kitabnya semakin kaya, dan metode penggalian hukumnya dapat mengcover seluruh masalah yang timbul dan kasus-kasus yang dihadapi umat Islam.
Sampai batas-batas tertentu, ulama Al Washliyah telah memberikan kontribusi kepada pengembangan mazhab Syafi`i di Indonesia. Warga Al Washliyah hanya dituntut untuk membaca, mempelajari, dan mensosialisasikannya kepada kader dan generasi mudanya sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, Lc, MA
Ketua Dewan Fatwa PB Al Washliyah
– Makalah disampaikan pada acara pelatihan pendalaman wawasan di Al Washliyah yang dilaksanakan Majelis Kaderisasi Al Washliyah Sumatera Utara di gedung Anti Narkoba (GUN), Sibolangit, Sumatera Utara pada hari Sabtu 9 Februari 2013, dengan peserta para dosen Perguruan Tinggi Al-Washliyah.
Ya Allah…berikanlah kesehatan kepada Ulama kami al-Mukarrom Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, Lc, MA.